spot_img
BerandaBudayaDari Hutan Kopi ke Catwalk Wastra

Dari Hutan Kopi ke Catwalk Wastra

Kopi Times – Sumatera Utara sedang mengalami transformasi diam-diam yang sangat penting: pergeseran dari pola ekonomi eksploitatif menuju ekonomi yang lebih lestari. Tapi ini bukan hanya soal kebijakan lingkungan. Ini tentang cara baru anak muda, pelaku UMKM, petani, desainer, hingga komunitas adat membentuk masa depan lewat kekuatan ekonomi hijau.

Siapa sangka, dari hutan kopi yang tumbuh di lereng-lereng Pegunungan Bukit Barisan, hingga helai ulos yang ditenun di pinggir Danau Toba, semua kini menjadi bagian dari arus baru yang menyatukan keberlanjutan, kearifan lokal, dan gaya hidup masa kini.

Kopi Hutan yang Menjaga Alam dan Memberi Harapan

Di daerah seperti Dairi, Simalungun, Humbang Hasundutan, dan Mandailing Natal, petani muda mulai memilih untuk bertani kopi tanpa merusak hutan. Mereka sadar bahwa hutan bukan musuh pertania, hutan adalah sahabat. Melalui praktik agroforestry dan konservasi sumber daya alam, kopi Sumut tidak hanya menghasilkan cita rasa yang mendunia, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Program kopi hutan bukan hanya memperbaiki kualitas hasil panen, tapi juga menciptakan rantai pasok hijau: biji kopi ditanam tanpa bahan kimia berbahaya, diproses dengan metode ramah lingkungan, dan dikemas secara berkelanjutan. Petani mendapatkan nilai tambah, pembeli pun merasa lebih etis.

Bahkan, beberapa brand kopi lokal kini telah menembus pasar internasional dengan membawa narasi ini, bahwa menikmati kopi dari Sumut berarti ikut menjaga hutan tropis Indonesia.

Ulos dan Wastra, dari Tradisi ke Tren Berkelanjutan

Di sisi lain, ulos, wastra khas Batak, juga sedang mengalami kebangkitan. Tapi kali ini bukan sekadar sebagai simbol adat, melainkan ikon fesyen berkelanjutan. Desainer-desainer muda dari Medan, Balige, dan Tarutung mulai menciptakan busana kontemporer berbahan ulos yang memadukan nilai tradisi, keindahan visual, dan prinsip eco-fashion.

Ulos tidak lagi terbatas pada pesta adat atau etalase cenderamata. Kini, ia tampil dalam peragaan busana, festival kreatif, dan kolaborasi internasional. Dan hebatnya, proses tenun yang ramah lingkungan serta penggunaan pewarna alami menjadikan ulos semakin relevan dalam dunia fashion global yang menuntut etika produksi.

Lebih dari itu, revitalisasi ulos juga menciptakan peluang ekonomi baru bagi para penenun perempuan di desa-desa. Mereka tidak hanya menjadi produsen, tetapi juga pemilik cerita, pelaku bisnis, dan pelindung budaya. (Hery Buha Manalu)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini