Oleh : Rita Febriana Simanjuntak, Mahasiswa program pasca sarjana Universitas Prima Indonesia (UNPRI) Medan
Dalam dunia pendidikan kesehatan, khususnya keperawatan dan kebidanan, keberhasilan proses belajar tidak hanya ditentukan oleh teori yang diajarkan di ruang kelas. Lebih dari itu, kompetensi profesional seorang tenaga kesehatan dibangun melalui pengalaman nyata, interaksi langsung dengan pasien, dan refleksi atas praktik yang dijalani. Di sinilah Teaching Learning Perceptor Model hadir sebagai pendekatan penting. Model ini menekankan pembelajaran berbasis praktik, dimana mahasiswa tidak sekadar menerima pengetahuan, tetapi juga menghayati, mempraktikkan, serta menginternalisasi nilai-nilai profesionalisme di lapangan.
Model ini terdiri dari beberapa strategi utama, yaitu Bedside Teaching (BST), Case Based Learning (CBL), Self Directed Learning (SDL), dan Case Presentation. Masing-masing metode memiliki tujuan, keunggulan, dan tantangan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dalam membentuk kompetensi klinis mahasiswa.

Bedside Teaching (BST), Belajar Langsung dari Pasien
BST adalah metode pembelajaran di sisi tempat tidur pasien. Mahasiswa diajak untuk mempelajari kondisi pasien, mengidentifikasi kebutuhan asuhan, serta melatih keterampilan komunikasi dan klinis. Tujuannya tidak hanya membiasakan mahasiswa memahami fasilitas kesehatan yang ada, tetapi juga menumbuhkan sikap profesional dalam menghadapi pasien nyata.
Kelebihan BST terletak pada keaslian pengalaman belajar. Mahasiswa bisa melakukan pengamatan objektif, menguasai keterampilan prosedural, serta mengembangkan komunikasi melalui interaksi langsung dengan pasien dan keluarga. Tidak ada simulasi yang bisa menandingi realitas belajar di sisi pasien.
Namun, kelemahannya juga nyata. Mahasiswa kadang merasa canggung, kurang percaya diri, atau cepat lelah karena situasi belajar berlangsung intens. Selain itu, mereka tidak selalu dapat merujuk pada buku atau materi tertulis saat menghadapi kasus secara langsung. Di sinilah peran perceptor, dosen atau pembimbing klinik—menjadi penting untuk memberikan bimbingan, arahan, dan umpan balik.
Case Based Learning (CBL): Belajar dari Kasus Nyata
CBL adalah metode diskusi kelompok kecil (small group discussion) yang berfokus pada pemecahan masalah. Biasanya terdiri dari 8–10 mahasiswa yang bekerja bersama menganalisis suatu kasus klinis. Tutor berperan sebagai fasilitator, menyediakan modul berisi informasi lengkap, sementara mahasiswa memanfaatkan berbagai referensi untuk mendukung analisis mereka.
Keunggulan CBL adalah suasana belajar yang interaktif, hidup, dan memacu daya pikir kritis. Mahasiswa tidak hanya menjadi pendengar, tetapi juga aktif berargumen, bertanya, dan membangun solusi. Diskusi semacam ini membentuk iklim akademik yang sehat, sekaligus mengajarkan keterampilan kolaborasi tim.
Meski begitu, tantangan CBL muncul bila mahasiswa kurang terlatih berpikir kritis. Mahasiswa yang pasif atau pendiam bisa terpinggirkan, sehingga manfaat diskusi tidak dirasakan secara merata. Karena itu, pembimbing perlu mendorong setiap anggota kelompok agar berpartisipasi aktif dan menemukan perannya.
Self Directed Learning (SDL): Belajar dengan Inisiatif Sendiri
SDL menekankan kemandirian peserta didik dalam mengatur proses belajarnya. Mahasiswa diberi kebebasan untuk menentukan apa, bagaimana, kapan, dan dimana ia akan belajar. Pendekatan ini penting karena seorang tenaga kesehatan harus terbiasa menjadi pembelajar sepanjang hayat, selalu update dengan perkembangan ilmu dan teknologi medis.
Dalam SDL, tanggung jawab pendidik bukan lagi memberi materi secara penuh, melainkan menjadi fasilitator. Pendidik menyediakan sumber belajar, memberi arahan, serta mendorong mahasiswa agar mampu membuat pilihan sesuai tujuan belajarnya. Keberhasilan SDL terletak pada kemampuan mahasiswa untuk disiplin, kritis, dan reflektif terhadap proses belajar yang ia jalani.
Case Presentation, Merangkum dan Menganalisis Pengalaman
Case presentation merupakan metode dimana mahasiswa menyajikan sebuah kasus nyata yang dialami di lapangan. Mereka diminta untuk merangkum masalah, menjelaskan analisis, serta mengemukakan solusi atau rencana asuhan.
Metode ini sangat bermanfaat karena melatih mahasiswa untuk berpikir sistematis, menyampaikan ide dengan runtut, dan berlatih presentasi profesional. Selain itu, mahasiswa juga mendapatkan umpan balik langsung dari dosen, teman sebaya, maupun tenaga kesehatan lain. Dengan begitu, pembelajaran menjadi lebih reflektif sekaligus aplikatif.
Peran Perceptor dalam Pendidikan Klinik
Dalam semua metode di atas, peran perceptor, yakni pembimbing klinik atau dosen lapangan, sangat penting. Perceptor bukan sekadar pengawas, melainkan fasilitator yang membantu mahasiswa menemukan makna dari setiap pengalaman klinis. Ia membimbing, memberi umpan balik, memotivasi, dan memastikan mahasiswa belajar dalam suasana yang etis dan aman.
Melalui Teaching Learning Perceptor Model, mahasiswa kesehatan tidak hanya memperoleh pengetahuan, tetapi juga keterampilan dan sikap profesional. Kombinasi metode ini membantu mereka menjadi tenaga kesehatan yang terampil, mandiri, komunikatif, dan mampu bekerja sama dalam tim.
Teaching Learning Perceptor Model adalah strategi yang mengintegrasikan teori dengan praktik. Bedside Teaching melatih kepekaan langsung di sisi pasien, Case Based Learning mengasah daya pikir kritis dalam diskusi, Self Directed Learning menumbuhkan kemandirian belajar, sementara Case Presentation melatih kemampuan komunikasi profesional.
Ketika semua metode ini dijalankan secara seimbang dengan pendampingan perceptor yang bijak, maka hasilnya adalah tenaga kesehatan yang kompeten, humanis, dan siap menghadapi tantangan dunia medis yang terus berkembang. Inilah inti dari pendidikan klinik modern, membentuk profesional kesehatan yang bukan hanya pintar, tetapi juga peka, tangguh, dan peduli. (Red/*)



