Oleh : Hery Buha Manalu, Materi Soft Skill Keterampilan Berbasis Kearifan Lokal. (Bagian 6)
Pendahuluan
Makna makan memilik arti mendalam. Bagi masyarakat Batak, makan bukanlah sekadar aktivitas biologis untuk mengisi perut. Makan adalah peristiwa sosial, budaya, dan spiritual yang mengandung nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Ia menjadi ruang perjumpaan antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan Tuhan. Dalam setiap hidangan yang disajikan, tersimpan kisah tentang kerja keras, gotong royong, rasa hormat, dan rasa syukur.
Ungkapan Batak, “ Sititi ma sigompa, golang-golang pangarahutna, Otik so sadia sipanganon na hupatupa hami, Ba sai godang ma pinasuna”. Maksudnya, meskipun makanan yang kami berikan tidak seberapa, namun hendaknyalah ini menjadi berkat bagi kita semua. Kemudian ada juga, “Otik sibutong-butong, godang si pirni tondi. Otik sosadia sipanganon on, asa Pamurnas ma tu daging saudara tu bohi, Palomak imbulu paneang holi-holi”. Maksudnya, Kiranya makanan yang kami berikan menguatkan, kekuatan baru bagi tulang sekaligus menyegarkan serta memperlincah badan. Ungkapan yang sering diucapkan orang Batak saat memaknai makan.

Kalimat ini menunjukkan bahwa makan memiliki makna lebih dari sekadar mengenyangkan tubuh, ia menyegarkan jiwa dan menumbuhkan kembali semangat hidup. Karena itu, bagi orang Batak, makna makan adalah simbol keseimbangan hidup antara tubuh, jiwa, dan relasi sosial.
Makna Filosofis Makan dalam Budaya Batak
Dalam pandangan budaya Batak, makna makanan adalah berkat (pasu-pasu) yang diberikan Tuhan melalui hasil bumi dan kerja manusia. Makanan tidak pernah dipandang hanya sebagai barang konsumsi, tetapi sebagai tanda kehidupan dan kasih Tuhan. Setiap butir padi, ikan, atau daging dianggap sebagai hasil berkat yang harus dijaga, dihargai, dan dibagi. Karena itu, membuang makanan, terutama nasi, dianggap tidak sopan bahkan “melukai berkat Tuhan.”
Makna makan juga tampak dalam hubungan dengan alam. Orang Batak memandang bahwa alam (banua) adalah sumber kehidupan yang suci. Pertanian, perikanan, dan peternakan bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi wujud syukur atas berkat ilahi. Dalam konteks ini, makanan menjadi perantara spiritual, manusia menerima hasil bumi dari alam, memakannya dengan rasa hormat, lalu membagikannya kepada sesama sebagai tanda kasih dan solidaritas.
Setiap jenis makanan dalam budaya Batak memiliki nilai simbolik tertentu. Ikan mas arsik melambangkan kelimpahan dan kesejahteraan, napinadar (ayam bakar) melambangkan kehidupan yang utuh, sementara ombus-ombus (kue tradisional yang dihembuskan uap sebelum dimakan) melambangkan kasih dan kehangatan keluarga. Karena itu, dalam setiap acara adat, makanan tidak sekadar disajikan untuk dimakan, tetapi juga untuk menyampaikan doa, harapan, dan nilai-nilai luhur.
Makan Sebagai Peristiwa Sosial
Makan bersama dalam budaya Batak memiliki makna sosial yang sangat kuat. Ia menjadi sarana membangun relasi dan mempererat ikatan kekeluargaan. Ketika keluarga atau komunitas makan bersama, posisi duduk, urutan penyajian, dan cara berbagi makanan menunjukkan nilai-nilai sosial yang dipegang teguh.
Dalam upacara adat seperti mangulosi (pemberian ulos), mangalahat horbo (penyembelihan kerbau untuk pesta besar), atau pesta pernikahan (ulaon unjuk), makan bersama adalah inti dari perayaan. Semua pihak, hula-hula (pihak pemberi perempuan), dongan tubu (kelompok semarga), dan boru (pihak penerima perempuan), duduk bersama menikmati hidangan yang sama. Pembagian daging atau ikan dalam acara seperti itu mengikuti struktur sosial Dalihan Na Tolu, sistem nilai yang mengatur keseimbangan, penghormatan, dan keadilan dalam masyarakat Batak.
Melalui makan bersama, nilai-nilai sosial seperti saling menghargai, berbagi, dan menjaga harmoni dipraktikkan secara konkret. Tidak ada yang dibiarkan makan sendirian, sebab makan bersama menandakan penerimaan dan penghormatan. Bahkan dalam konteks duka, seperti mangandung (berkabung), makanan tetap disediakan untuk menunjukkan kepedulian dan penguatan bagi keluarga yang berduka.
Etika Makan, Menghormati Berkat dan Relasi
Etika makan dalam budaya Batak sangat dijunjung tinggi, karena mencerminkan karakter seseorang dan sikapnya terhadap kehidupan. Beberapa prinsip utama dalam etika makan Batak antara lain:
1. Menerima dengan syukur.
Makanan yang dihidangkan harus diterima dengan hati terbuka, tanpa mencela atau menolak. Menolak makanan berarti menolak berkat dan dianggap tidak sopan kepada tuan rumah. Ungkapan “Sude do ro di hamu, dapot ma roha” (segala yang datang padamu, terimalah dengan hati) menjadi dasar sikap menghormati berkat yang diterima.
2. Mendahulukan yang lebih tua.
Dalam tradisi Batak, orang yang lebih muda tidak boleh makan sebelum orang tua atau tamu kehormatan memulai. Ini bukan sekadar sopan santun, tetapi simbol penghargaan terhadap hierarki dan pengalaman hidup.
3. Mengambil secukupnya.
Makan secukupnya mencerminkan kesadaran diri dan rasa hormat terhadap orang lain. Orang Batak percaya bahwa kerakusan menunjukkan kelemahan moral dan hilangnya rasa syukur.
4. Berbagi kepada yang lain.
Membagikan makanan adalah bentuk kasih dan solidaritas. Dalam keluarga Batak, jika ada tamu datang, tuan rumah akan selalu menawarkan makanan sebagai tanda penerimaan. Tidak berbagi dianggap tidak berbudaya (ndang maradat).
5. Menghormati hasil bumi.
Sisa makanan tidak boleh dibuang sembarangan. Sisa nasi atau ikan harus diletakkan dengan hormat, karena diyakini sebagai hasil kerja keras dan anugerah Tuhan.
Etika makan ini mengandung nilai-nilai soft skill seperti empati, kesopanan, penghargaan, dan kemampuan membangun relasi yang harmonis, semua hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern dan pelayanan sosial.
Makan dan Spiritualitas, Doa yang Dimakan
Dalam kehidupan orang Batak, makan selalu diawali dan diakhiri dengan doa. Doa sebelum makan adalah bentuk pengakuan bahwa rezeki berasal dari Tuhan, sedangkan doa sesudah makan adalah ungkapan syukur atas pemeliharaan-Nya. Makan menjadi semacam ibadah kecil yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta.
Selain itu, tindakan memberi makanan juga dianggap sebagai doa yang diwujudkan dalam tindakan. Ketika orang tua memberi makanan atau hasil bumi kepada anaknya, itu tidak sekadar pemberian fisik, melainkan simbol pasu-pasu (berkat) agar anaknya hidup makmur, sehat, dan penuh kasih.
Dalam konteks spiritual, makan bersama juga dapat memulihkan relasi yang rusak. Dalam budaya Batak, jika ada konflik keluarga, mengadakan pesta marharoan bolon (makan bersama besar) menjadi cara simbolik untuk menyatukan kembali hati yang terpisah. Makan bersama di sini menjadi sarana perdamaian, pengampunan, dan pemulihan hubungan sosial.
Etika Makan dan Pendidikan Soft Skill
Nilai-nilai yang terkandung dalam etika makan Batak sangat relevan dengan pembelajaran soft skill di dunia pendidikan, khususnya di sekolah tinggi teologi. Melalui refleksi atas makna makan, mahasiswa diajak untuk memahami pentingnya sikap menghormati orang lain, mendengar, berbagi, dan bersyukur.
Meja makan dapat menjadi ruang latihan karakter: belajar menunggu giliran, mendahulukan orang lain, dan menghargai apa yang ada. Dalam konteks kepemimpinan, etika makan mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang tahu cara berbagi, bukan hanya mengambil porsi terbesar.
Bagi calon pemimpin gereja dan masyarakat, memahami makna makan berarti memahami bagaimana hidup dalam komunitas yang setara, terbuka, dan saling menghormati. Nilai-nilai seperti marsiadapari (saling membantu) dan marharoan bolon (makan bersama) dapat diadaptasi dalam pembinaan karakter, pelayanan pastoral, dan kerja tim.
Etika Makan dan Kesadaran Ekologis
Budaya makan Batak juga mengajarkan kesadaran ekologis yang tinggi. Alam dianggap bagian dari kehidupan spiritual manusia, sehingga menghormati hasil bumi adalah bentuk penghormatan kepada Tuhan. Dalam tradisi lama, sebelum menanam padi atau menangkap ikan, masyarakat Batak akan memanjatkan doa sebagai bentuk permohonan izin kepada alam.
Makan secukupnya dan tidak menyia-nyiakan makanan adalah wujud tanggung jawab ekologis. Orang Batak percaya bahwa kerakusan bukan hanya mencelakai diri sendiri, tetapi juga merusak keseimbangan alam. Kesadaran ini dapat dijadikan dasar dalam pendidikan lingkungan dan teologi kontekstual yang menghargai bumi sebagai rumah bersama.
Makan Sebagai Jalan Hidup yang Bermakna
Pada akhirnya, makan dalam budaya Batak adalah refleksi dari pandangan hidup yang holistik, menyatukan tubuh, jiwa, sosial, dan spiritual dalam satu tindakan sederhana namun sarat makna. Melalui makan, manusia belajar bersyukur, menghormati sesama, mencintai alam, dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian.
Etika makan mengajarkan bahwa berkat harus diterima dengan rendah hati, dibagi dengan kasih, dan dijaga dengan tanggung jawab. Dalam konteks pendidikan soft skill, nilai-nilai makan Batak menumbuhkan kemampuan berempati, berkomunikasi, bekerja sama, dan hidup sederhana.
Makna makan, bagi orang Batak, bukan sekadar kebutuhan jasmani, melainkan tindakan spiritual yang menghidu@pkan, sebuah doa yang dimakan, simbol kasih yang dibagikan, dan pelajaran abadi tentang bagaimana menjadi manusia yang beretika, bersyukur, dan beriman. (Red/*)





