Oleh : Hery Buha Manalu
Di tengah arus deras globali
sasi dan revolusi digital, manusia kini hidup di persimpangan antara kemajuan dan kehilangan makna. Dalam dunia yang menuhankan efisiensi, manusia sering kali direduksi menjadi “sumber daya” yang bisa diukur dengan angka dan diganti bila tidak produktif. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh filsuf eksistensialis Viktor Frankl, manusia bukanlah makhluk yang didefinisikan oleh kondisi eksternal, tetapi oleh kemampuan menemukan makna di tengah situasi apa pun. Pertanyaan mendasarnya, apakah manusia hanya alat produksi, ataukah pusat nilai dalam seluruh sistem yang kita bangun?
Pertanyaan inilah yang mengantar kita untuk menelusuri kembali makna manusia dan kemanusiaan, dua konsep yang tampak sederhana, namun menjadi fondasi moral dan spiritual bagi seluruh peradaban, termasuk bagi dunia manajemen modern yang kini sedang mencari kembali jiwanya.
1. Manusia, Makhluk Rasional, Relasional, dan Spiritual
Filsafat klasik menyebutnya sebagai zoon logon echon, makhluk yang mampu berpikir dan berbahasa. Aristoteles menegaskan manusia sebagai zoon politikon, makhluk sosial yang hanya dapat hidup bermakna dalam relasi dengan orang lain. Pandangan ini kemudian disempurnakan oleh teologi Kristen, yang menempatkan manusia sebagai Imago Dei, citra Allah yang membawa dimensi moral dan spiritual dalam dirinya.

Artinya, bukan sekadar makhluk biologis, tetapi makhluk rasional, relasional, dan spiritual. Dalam teologi Kristen, manusia memiliki panggilan untuk mencerminkan kasih, keadilan, dan kebijaksanaan Allah dalam kehidupan nyata. Seperti dikatakan oleh Agustinus, “Hati manusia tidak akan tenang sebelum beristirahat dalam Allah.” Di sinilah letak keunikannya, ia hidup karena relasi, dan bermakna karena kasih.
Dalam konteks manajemen, pandangan ini sangat relevan. Peter Drucker, bapak manajemen modern, menulis bahwa “manajemen pada akhirnya adalah tentang manusia.” Artinya, efektivitas organisasi tidak hanya bergantung pada strategi dan sistem, tetapi pada bagaimana dia dipahami, dihargai, dan dikembangkan sebagai pribadi utuh.
2. Kemanusiaan, Kesadaran Etis dan Tanggung Jawab Sosial
Kemanusiaan bukan hanya tentang empati, melainkan kesadaran etis yang menuntun tindakannya agar menghormati martabat sesama. Emmanuel Levinas, filsuf humanis abad ke-20, menegaskan bahwa kemanusiaan lahir dari tanggung jawab terhadap “yang lain”, wajah orang lain memanggil kita untuk peduli, bukan acuh.
Teologi Kristen menegaskan hal yang sama melalui perintah kasih, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Kasih di sini bukan sekadar perasaan, tetapi tindakan nyata untuk memulihkan, melayani, dan membebaskan. Dengan demikian, kemanusiaan menjadi cerminan iman yang hidup, iman yang mengekspresikan diri dalam kepedulian sosial.
Dalam manajemen, nilai-nilai kemanusiaan diterjemahkan dalam etika bisnis, tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), serta pengembangan budaya organisasi yang menghargai martabat pekerja. Dunia kerja yang humanis akan melahirkan loyalitas, kreativitas, dan integritas, tiga hal yang menjadi modal utama bagi keberlanjutan sebuah organisasi.
3. Krisis Kemanusiaan di Era Digital dan Manajerial
Ironisnya, ketika dunia semakin maju secara teknologi, krisis kemanusiaan justru semakin nyata. Teknologi membuat komunikasi lebih cepat, tetapi sering kali membuat hubungan lebih dangkal. Di tempat kerja, sistem yang menuntut hasil instan menimbulkan tekanan psikis, alienasi, dan hilangnya makna kerja. Fenomena seperti burnout dan quiet quitting hanyalah gejala dari sistem yang kehilangan sentuhan manusiawi.
Filsuf Martin Buber pernah menulis bahwa hubungan sejati terjadi ketika bertemu dalam relasi “Aku–Engkau”, bukan “Aku–Itu”. Dunia kerja modern terlalu sering menjadikan manusia sebagai “Itu”, objek produktivitas. Padahal, organisasi yang benar-benar hidup adalah yang mampu menciptakan relasi “Aku–Engkau”: menghargai, mendengarkan, dan memampukan setiap individu berkembang.
Krisis ini sesungguhnya adalah krisis spiritual dan moral. Dunia manajemen membutuhkan pemulihan visi tentangnya, bukan sekadar pekerja, tetapi pribadi yang berharga, ciptaan Allah yang membawa makna dan tujuan.
4. Teologi Kemanusiaan, Manusia sebagai Citra Allah di Dunia Kerja
Dalam teologi Kristen, manusia dipanggil menjadi rekan kerja Allah (co-creator) dalam mengelola dunia. Pekerjaan bukanlah kutukan, melainkan panggilan untuk berkarya bersama Allah dalam mencipta dan memelihara kehidupan. Konsep Imago Dei memberikan dasar teologis yang kuat bagi etika kerja dan manajemen yang berkeadilan.
Setiap orang, baik pimpinan maupun staf, memiliki nilai intrinsik yang tidak bisa ditukar dengan angka produktivitas. Teolog Paul Tillich menulis bahwa martabat manusia bersumber dari keberadaannya di hadapan Allah, bukan dari hasil atau statusnya. Maka, manajemen yang beriman harus memandang pekerja bukan sebagai alat, melainkan sebagai mitra dalam misi kemanusiaan.
Pemimpin yang berlandaskan teologi kemanusiaan tidak hanya mengatur, tetapi melayani. Ia meneladani Kristus, yang berkata, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” (Markus 10:45). Dalam konteks manajemen, inilah yang disebut servant leadership, kepemimpinan yang melayani, bukan menguasai.
5. Budaya Organisasi yang Humanis, Membangun Ekosistem yang Memanusiakan
Budaya organisasi yang sehat lahir dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sini, penghargaan terhadapnya menjadi prinsip utama. Pemimpin yang humanis menumbuhkan lingkungan kerja yang terbuka, partisipatif, dan penuh penghargaan.
Stephen Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People menegaskan pentingnya “win–win paradigm”, cara berpikir yang menghargai semua pihak, karena kemenangan sejati bukan ketika satu pihak menang dan yang lain kalah, tetapi ketika semua berkembang bersama.
Di dunia pendidikan manajemen, hal ini dapat diterapkan melalui pendekatan pembelajaran yang memanusiakan mahasiswa. Dosen bukan sekadar pengajar, tetapi pembimbing yang menumbuhkan karakter dan kepekaan etis mahasiswa. Pendidikan manajemen seharusnya tidak hanya mencetak profesional yang kompeten, tetapi juga pemimpin yang berempati dan beretika.
6. Kepemimpinan yang Memanusiakan
Kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan, tetapi tentang tanggung jawab moral terhadap sesama. John C. Maxwell mengatakan, “Pemimpin besar bukan diukur dari berapa banyak orang yang melayaninya, tetapi dari berapa banyak orang yang ia layani.”
Dalam praktiknya, kepemimpinan yang memanusiakan berarti memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh, mengakui keberhasilan mereka, dan hadir saat mereka lemah. Pemimpin seperti ini tidak hanya mengelola organisasi, tetapi membangun komunitas yang penuh makna.
Dalam terang iman, kepemimpinan semacam ini meneladani Kristus, pemimpin yang memimpin dengan kasih, mengajar dengan keteladanan, dan menguatkan dengan pengharapan. Dunia manajemen membutuhkan lebih banyak pemimpin seperti ini, yang memadukan kecerdasan strategis dengan kepekaan spiritual.
7. Menjaga Api Kemanusiaan di Era Otomatisasi
Kita sedang menyaksikan dunia yang semakin canggih secara teknologi, tetapi sekaligus rapuh secara moral. Kecerdasan buatan dapat menggantikan tenaga manusia, tetapi tidak dapat menggantikan hati manusia. Itulah sebabnya, seperti diingatkan oleh Albert Einstein, “Teknologi membuat hidup lebih mudah, tetapi nilai-nilai moral menentukan apakah hidup itu layak dijalani.”
Tugas kita, sebagai mahasiswa, masyarakat, manajer, dan pelayan, adalah menjaga api kemanusiaan agar tidak padam. Dunia manajemen membutuhkan lebih dari sekadar efisiensi, ia memerlukan keadilan, kasih, dan kebijaksanaan.
Manusia dan kemanusiaan adalah dua sisi dari satu realitas, yang satu berbicara tentang keberadaan, yang lain tentang makna. Tanpa kemanusiaan, dia kehilangan jati dirinya, tetapi dengan kemanusiaan, dia menjadi cermin Sang Pencipta yang penuh kasih dan kebenaran.
Maka, marilah kita membangun dunia kerja, dunia pendidikan, dan dunia sosial yang berpusat pada manusia. Sebab masa depan bukan milik mesin, tetapi milik mereka yang mampu mencintai, melayani, dan memanusiakan sesama. (Red/*)



