spot_img
BerandaOpiniNatal di Negeri Bencana

Natal di Negeri Bencana

Oleh : Hery Buha Manalu

Natal kembali datang di negeri yang akrab dengan bencana. Lilin dinyalakan, lagu damai dikumandangkan, sementara di luar ruang ibadah, daerah-daerah berjuang atas bencana Tapanuli Raya terdampak, masih banjir, longsor, dan pengungsian terus berlangsung. Refleksi Natal dan Dies Natalis ke-62 Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) di Medan, 19 Desember 2025, mengingatkan satu hal mendasar, iman yang kehilangan daya kritis hanya akan menjadi ornamen rohani.

Socrates pernah berkata, hidup tanpa refleksi tak layak dijalani. Indonesia justru hidup sebaliknya, membangun tanpa refleksi. Alam dieksploitasi atas nama investasi, lalu ketika bencana datang, ia disebut musibah. Padahal banyak bencana hari ini adalah produk kebijakan yang sadar, bukan kehendak alam. Sumatera Utara memberi bukti telanjang, sekitar 1,7 juta jiwa terdampak, kerugian mencapai Rp18,9 triliun, dan puluhan ribu orang masih mengungsi.

Empati pun sering jatuh menjadi formalitas. Bantuan dibagi, kamera merekam, lalu masalah dilupakan. Yang dibutuhkan korban bukan sekadar simpati, melainkan kecepatan dan ketegasan negara. Tanggap darurat yang lamban adalah bentuk ketidakadilan. Lebih ironis lagi, izin-izin eksploitasi tetap berjalan seolah bencana tak pernah terjadi.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Akar masalahnya jelas, negara lebih sibuk mengelola dampak ketimbang mencegah sebab. Penanggulangan diprioritaskan, pencegahan diabaikan. Logika ini keliru. Bencana adalah utang ekologis dari pembangunan yang rakus. Kita menunda pencegahan hari ini, lalu membayar dengan nyawa esok hari.

Seruan keadilan ekologis PIKI patut dibaca sebagai kritik moral sekaligus politik. Menolak pembangunan eksploitatif bukan sikap anti-kemajuan, melainkan pembelaan atas kehidupan. Pembangunan yang merusak alam pada dasarnya adalah pembangunan yang gagal.

Dalam iman Kristen, sikap netral tidak dikenal. “Tegakkanlah keadilan, karena keadilan itu adalah Tuhan.” Merusak ciptaan berarti mengkhianati iman itu sendiri. Gereja dan komunitas iman tak bisa lagi berkhotbah tentang kasih sambil berkompromi dengan perusakan lingkungan.

Natal seharusnya menjadi momen pembalikan arah. Allah hadir di palungan, di sisi yang rapuh. Maka iman mesti berpihak pada korban, bukan pada perusak. Tanpa keberanian itu, Natal di negeri bencana hanya akan menjadi ritual damai di atas puing-puing kehidupan. (Red/*)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini