Oleh: Hery Buha Manalu
Hutan Papua kini berada di meja taruhan negara. Atas nama swasembada pangan dan energi, pemerintah kembali mendorong pembukaan lahan berskala besar di wilayah yang selama ini dikenal sebagai benteng terakhir hutan hujan tropis Indonesia. Di Papua Selatan, terutama Merauke dan sekitarnya, ratusan ribu hektare kawasan hutan telah dilepas untuk proyek pertanian, perkebunan tebu, sawit, dan bioenergi. Negara tampak yakin, membuka hutan adalah harga yang layak dibayar demi ketahanan nasional.
Namun sejarah pembangunan Indonesia menunjukkan satu pelajaran penting, ketika hutan dijadikan jaminan kebijakan, kerugian ekologis dan sosial hampir selalu lebih besar daripada manfaat ekonomi yang dijanjikan.
Papua bukan ruang kosong yang menunggu diisi proyek. Ia adalah rumah bagi ratusan komunitas adat, sekaligus salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Hutan Papua menyimpan cadangan karbon besar, menjaga keseimbangan iklim, dan menopang sistem pangan lokal berbasis sagu, umbi-umbian, serta pengetahuan ekologis turun-temurun. Ketika hutan dibuka, yang hilang bukan sekadar tutupan pohon, melainkan sistem kehidupan yang kompleks dan rapuh.

Narasi negara tentang lapangan kerja dan kesejahteraan terdengar familier. Logika yang sama pernah dipakai dalam pembukaan hutan di Sumatra dan Kalimantan. Kini, dua wilayah itu menanggung warisan deforestasi, konflik agraria berkepanjangan, bencana ekologis, serta ketimpangan struktural. Pertanyaannya sederhana, mengapa negara kembali bertaruh dengan kartu yang sama di Papua?

Dalam praktik di lapangan, pembukaan hutan hampir selalu diikuti masuknya korporasi besar dengan modal dan teknologi industri. Masyarakat adat berada pada posisi paling rentan. Janji kemitraan dan kesejahteraan sering kali berhenti di atas kertas. Ketika konflik muncul, negara datang sebagai penengah, bukan sebagai pihak yang sejak awal memastikan keadilan.
Masalah ini semakin serius ketika hak masyarakat adat dikesampingkan. Banyak proyek strategis nasional berjalan tanpa memastikan prinsip Free, Prior and Informed Consent. Persetujuan administratif dianggap cukup, sementara proses musyawarah adat diabaikan. Padahal konstitusi secara tegas mengakui hak masyarakat adat atas tanah ulayat. Menaruh hutan adat di meja taruhan demi target produksi nasional adalah pembangunan yang timpang, negara mengambil keputusan, masyarakat menanggung risiko.
Sebagai penentang pembalakan hutan, saya melihat kebijakan ini bukan sekadar persoalan teknis tata ruang, melainkan kekeliruan paradigma. Hutan Papua dipandang sebagai cadangan lahan, bukan sebagai fondasi kehidupan. Ketahanan nasional diukur dari luas lahan yang dibuka, bukan dari daya dukung ekologis yang dijaga.
Ironisnya, atas nama ketahanan, negara justru menggerus fondasi ketahanan itu sendiri. Ketika hutan rusak, krisis air dan pangan lokal mengintai. Ketika konflik agraria meningkat, stabilitas sosial terganggu. Taruhan yang diambil hari ini dapat berubah menjadi beban ekologis dan sosial yang mahal di masa depan.
Papua sebenarnya tidak kekurangan alternatif pembangunan. Pertanian berbasis komunitas, penguatan ekonomi lokal, pengelolaan hutan adat, serta perlindungan ekosistem menawarkan jalan yang lebih adil dan berkelanjutan. Namun pilihan-pilihan ini menuntut keberanian politik, sesuatu yang kerap kalah oleh ambisi target jangka pendek.
Menaruh hutan Papua di meja taruhan negara adalah keputusan politik. Dan setiap keputusan politik selalu memiliki konsekuensi. Jika taruhan ini kalah, yang hilang bukan hanya hutan, melainkan masa depan ekologis dan kemanusiaan Papua. Penyesalan, seperti hutan yang telah ditebang, tak pernah bisa ditanam kembali. (Red/*)



