spot_img
BerandaBerita/DaerahPenggiat Lingkungan di Medan Menolak RUU Omnibus Law

Penggiat Lingkungan di Medan Menolak RUU Omnibus Law

IMG 20200305 081515
Gambar Ilustrasi
Foto : ist

Kopi-times.com | Medan :
Adanya pembahasan Pemerintah dan DPR terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja telah menuai banyak kritik dari kelompok gerakan rakyat.

RUU ini dinilai, masyarakat dan organisasi penggiat lingkungkan diabaikan dan tidak melibatkan peran masyarakat secara partisipatif, terkait proses uji dan tidak akan ada lagi mekanisme proses gugatan terhadap izin lingkungan yang bisa dilakukan oleh warga ataupun organisasi pengiat lingkungan.

RUU yang sering disebut RUU Cilaka atau Cika tersebut disinyalir akan berpeluang besar terhadap pembungkaman demokrasi, memasifkan pelanggaran lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, semakin mengeksploitasi, melanggar hak-hak buruh, dan menjadi payung bagi praktek penindasan terhadap buruh.

Hal ini disampaikan Ryan Purba, penggiat lingkungan, menyerukan Tolak Omnibus Law RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dalam Relisnya, kepada Kopi-times.com Kamis (5/3/2020) di Medan.

Disebut sebut Ryan, Omnibus Law Cilaka sebagai payung bagi investasi yang berpeluang merampas hak-hak petani, buruh, buruh tani, nelayan, masyarakat adat dan Rakyat secara menyeluruh.

Dia juga menyebutkan, Omnibus Law yang disebut sebagai RUU sapu jagat tersebut akan meringkus pasal-pasal dari sekitar
80-an UU (Undang-Undang) yang mencakup 11 klaster seperti penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek Pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus.

Menurutnya, penyusunan RUU tersebut bersifat tertutup tanpa partisipasi masyarakat, karena sejak awal disinyalir bahwa subtansi pembahasan dan menuju disahkannya merujuk pada diakomodirnya kepentingan bisnis dan investor, akan menyengsarakan kaum buruh, petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan dan kelompok marjinal lainnya.

RUU tersebut akan berpeluang melangar HAM dan pembungkaman demokrasi serta tidak menaruh ruang perlindungan pada hak Warga Negara atas lingkungan hidup dan sehat.

“Adapun RUU tersebut akan berpeluang besar memasifkan perampasan dan penghancuran ruang hidup, kriminalisasi, represi, dan kekerasan terhadap Rakyat, melebarkan celah korupsi, pelanggaran HAM dan pembungkaman demokrasi serta tidak menaruh ruang perlindungan pada hak Warga Negara atas lingkungan hidup dan sehat.”, sebut Ryan.

Dalam draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tertanggal 12 Febuari 2020 lalu, secara umum, ada beberapa hal sangat krusial karena RUU Cilaka atau Cika tersebut merujuk pada perubahan atas banyak Undang-Undang yang akan menjadi payung bagi penindasan terhadap Rakyat, Eksploitasi sumber daya alam atau sumber-sumber agraria, dan memberangus serta menghapuskan segala bentuk perlindungan hukum terhadap Rakyat yang kata Pemerintah untuk mempermudah dan memuluskan iklim investasi demi pertumbuhan ekonomi.

Riandi juga menyebut seperti di sektor lingkungan, KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) merupakan Kementerian yang paling banyak mengobral aturan demi kemudahan investasi.

Seperti dalam hal perizinan, lingkungan hidup, penataan ruang, pertambangan Mineral dan Batubara, kehutanan, pertanian, kelautan dan perikanan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, keanekaragaman hayati, ketenagalistrikan, dan administrasi pemerintahan.

“Parahnya, beberapa aturan penting dalam penegakan lingkungan dan sumberdaya alam dan agraria dihapus total seperti amdal yang dihapuskan, izin lingkungan hidup dan kehutanan yang dipermudah, kemudaan pengadaan lahan dan penggunaan kawasan hutan, serta
kemudahan proyek pemerintah. Dan kewenangannya hanya akan diatur dengan peraturan pemerintah”, paparnya.

Semua perizinan tidak lagi melibatkan peran masyarakat secara partisipatif, termasuk dalam pemberian atau perpanjangan izin perkebunan atau pertambangan.

“Hal tersebut diperparah lagi bahwa semua perizinan tidak lagi melibatkan peran masyarakat secara partisipatif, termasuk dalam pemberian atau perpanjangan izin perkebunan atau pertambangan yang kewenangannya hanya ada di tangan pemerintah pusat, kemudian terkait proses uji dan tidak akan ada lagi mekanisme proses gugatan terhadap izin lingkungan yang bisa dilakukan oleh warga ataupun organisasi pengiat lingkungan”. sebut Ryan Purba kepada Kopi-times. (Red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini