Medan | Kopi Times :
Satu tahun telah berlalu sejak tanggal18/2/2024 hingga kita 22/2/205 berpulangnya Pater Dr. Chrisostomos Manalu, M.Th., MM, pendiri Sekolah Tinggi Teologi Paulus Medan, ke Rumah Bapa di Sorga. Namun, warisan ilmu, nilai, dan perjuangan yang beliau tinggalkan tetap hidup dan terus menginspirasi. Dalam tradisi Batak, ada sebuah filosofi mendalam yang menggambarkan siklus kehidupan dan regenerasi:
“Bagot Namadungdung tu Pilopilo na Marajar, Tading ma Nalungun ro ma na Jagar.” Ungkapan ini mengajarkan bahwa setiap kehidupan memiliki siklusnya. Mereka yang telah menyelesaikan tugasnya di dunia ini akan berpulang, tetapi generasi penerus harus siap melanjutkan perjuangan dengan semangat belajar dan berkembang.
Bagot Namadungdung, Tokoh dan Pemimpin Beregenerasi
Dalam filosofi Batak, bagot (pohon enau) adalah simbol kebermanfaatan. Bagot adalah pohon tinggi yang memberikan perlindungan dan menghasilkan banyak hal berharga bagi masyarakat, seperti nira, tuak, dan gula aren.
Seorang tokoh adalah disimbolkan seperti sebuah pohon Bagot (Enau), demikian dengan kepemimpiman. Beliau bukan hanya seorang pendidik dan pemimpin, tetapi juga seorang pelindung dan pembimbing bagi banyak generasi teolog. Kehadirannya membawa ilmu, kebijaksanaan, dan arah bagi mereka yang ingin mendalami firman Tuhan.
Namun, segala sesuatu ada masanya, setiap Bagot memiliki waktunya. Ada saatnya ia harus beregenerasi dengan masa “madungdung”, seorang pemimpin yang telah menyelesaikan tugasnya dan saatnya menyerahkan tongkat estafet kepada generasi berikutnya. Tokoh yang menginspirasi banyak orang, dan telah menyelesaikan perjalanan hidupnya dengan penuh dedikasi dan pengabdian, dan kini tugas kita adalah memastikan bahwa semangat dan visi yang beliau bawa tetap hidup.
Pilopilo na Marajar dan Generasi Penerus yang Meneruskan Perjuangan
Ketika satu Bagot telah selesai, maka pilopilo, sebagai tunas- tunas muda harus siap tumbuh dan belajar (marajar). Ini adalah simbol regenerasi dan kesinambungan. Dalam konteks ini , pilopilo adalah para mahasiswa, dosen, dan komunitas akademik yang harus melanjutkan jejak perjuangan sang tokoh atau pemimpin.
Beliau telah menanamkan nilai-nilai teologi yang kuat, pemikiran yang mendalam, dan semangat pelayanan yang tulus. Kini, semua sebagai pilopilo harus berproses, belajar, dan bertumbuh agar dapat meneruskan visi yang telah beliau rintis.
Pilopilo bukan sekadar penerus, tetapi juga pembelajar. Mereka harus “marajar” (berproses) atau ditempa., menyerap nilai-nilai luhur, memahami panggilan Tuhan, dan membangun masa depan dengan tetap berpegang pada fondasi yang telah diwariskan. Dengan demikian, tidak ada kesepian, kesedihan atau kehampaan (nalungun), dan segala sesuatu haruslah dipastikan agar tetap terjaga, semangat hidup kembali dan bangkit (jagar).
Mengenang kepergian sang tokoh dan pendiri STT Paulus Medan bukan sekadar mengenang jasa-jasanya, tetapi juga mengambil bagian dalam melanjutkan perjuangan beliau. Semua dipanggil untuk menjadi pilopilo na marajar sebagai tunas-tunas muda yang belajar dan bertumbuh untuk menjadi Bagot yang baru di masa depan.
Warisan yang ditinggalkan harus terus hidup. Dalam semangat pendidikan yang membangun teologi yang relevan bagi masyarakat, dedikasi pelayanan yang penuh kasih dan pengabdian, dan dalam komitmen terhadap kebenaran dan kebijaksanaan, sebagaimana beliau selalu ajarkan.
Jika kita menjalankan ini dengan sungguh-sungguh, maka tidak akan ada kehampaan. Generasi baru akan terus tumbuh, visi akan tetap berlanjut, dan STT Paulus Medan akan tetap menjadi tempat yang menghasilkan pemimpin rohani yang berintegritas.
Sebagaimana pepatah mengatakan:
“Patah tumbuh, hilang berganti,…
Tunas-tunas muda bersemi. Teruskan visi dan misi, Allah Tritunggal pasti memberkati.”
Selamat jalan Guru, warisanmu akan terus hidup dalam setiap generasi yang kau tinggalkan, kekallah kenanganmu. (Red/***)