Oleh : Risa Anjeli Defani, Mahasiswi Komunikasi Digital dan Media di Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor
Penerapan kurikulum dalam bidang pendidikan merupakan landasan penting dalam proses pembelajaran yang efektif dan berkualitas. Kurikulum mencakup rencana pembelajaran, materi pelajaran, metode pengajaran, dan penilaian hasil belajar. Dengan mengikuti kurikulum yang baik, sebuah lembaga pendidikan dapat memastikan bahwa siswa mendapatkan pendidikan yang komprehensif dan relevan. Tak heran, jika kurikulum yang diterapkan dalam sistem pendidikan harus berkembang mengikuti perubahan zaman. Seperti kurikulum merdeka yang diterapkan pemerintah Indonesia. Kurikulum merdeka adalah kurikulum baru yang mengacu pada pendekatan minat dan bakat siswa.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia memperkenalkan Kurikulum Merdeka pada Februari 2022 sebagai pengganti kurtilas (Kurikulum 2013) yang akhirnya diterapkan secara nasional pada tahun 2024. Ketika Kurikulum Merdeka pertama kali diperkenalkan, harapan besar menyertainya. Pemerintah mengklaim bahwa kurikulum ini akan menjadi angin segar bagi sistem pendidikan Indonesia yang selama ini dianggap terlalu kaku dan membebani siswa dan digadang-gadang sebagai jawaban atas berbagai tantangan pendidikan di Indonesia. Terdapat tiga karakteristik utama dari kurikulum baru yang diterapkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim ini, yaitu pengembangan soft skill dan karakter, fokus materi esensial, dan pembelajaran yang fleksibel. Dengan konsep tersebut, kurikulum ini bertujuan untuk memberikan kebebasan bagi sekolah dan siswa dalam menentukan jalannya pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi masing-masing.
Kurikulum Merdeka diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang lebih menyenangkan dan relevan dengan kebutuhan zaman. Namun, apakah realita sesuai dengan harapannya? Nyatanya, Kurikulum Merdeka menghadapi berbagai kendala yang membuat implementasinya jauh dari harapan, Kurikulum Merdeka justru menghadapi kritik serius terkait implementasinya yang dinilai kurang efektif dan tidak memadai bahkan berpotensi merugikan masa depan pendidikan nasional.
Mengapa demikian? Jika kita bandingkan kemampuan kompetensi siswa sekarang dengan kemampuan kompetensi siswa di era sebelum penerapan Kurikulum Merdeka dahulu, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara keduanya. Fokus Kurikulum Merdeka yang menekankan fleksibilitas dan proyek berbasis pembelajaran (PBL) menuai kritik. Banyak yang menilai bahwa pendekatan ini justru mengorbankan aspek fundamental dalam pendidikan, seperti penguasaan keterampilan dasar dalam literasi dan numerasi. Banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami konsep matematika sederhana seperti perkalian dan pembagian. Bagaimana siswa akan berkembang jika fondasi utama (dalam konteks ini adalah pemahaman dasar) justru terabaikan? Dikhawatirkan kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depannya akan semakin tertinggal.
Kurikulum Merdeka juga mengimplementasikan kebijakan penghapusan pekerjaan rumah (PR) bagi siswa. Seiring dengan Penghapusan PR, Kurikulum Merdeka turut menghapus Ujian Nasional yang sebelumnya menjadi tolak ukur utama untuk menilai pencapaian akademis di akhir jenjang pendidikan. Meskipun kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi tekanan akademis siswa yang terlalu berat, namun hal tersebut justru menghilangkan budaya disiplin dan tanggung jawab dalam belajar. Tanpa adanya sistem evaluasi, tidak ada rasa kompetitif dan jiwa bersaing yang tertanam di dalam diri siswa yang mengakibatkan siswa cenderung kehilangan motivasi untuk belajar dengan serius. Selain itu, penghapusan Ujian Nasional juga membuat tolak ukur keberhasilan pendidikan menjadi kurang jelas, sehingga sulit bagi sekolah dan pemerintah untuk mengukur sejauh mana efektivitas sistem pendidikan yang diterapkan.
Di sisi lain, kebijakan penghapusan jurusan di SMA yang dianggap sebagai langkah maju justru menimbulkan kebingungan di kalangan siswa. Sebelumnya, mereka tinggal memilih antara IPA, IPS, atau Bahasa. Kini, mereka harus menentukan sendiri mata pelajaran yang ingin diambil berdasarkan minat dan bakat. Namun, tidak semua siswa memiliki kejelasan tentang apa yang ingin mereka pelajari atau jalur karier yang ingin mereka tempuh. Lebih buruk lagi, tidak semua sekolah memiliki cukup tenaga pengajar untuk menyediakan berbagai mata pelajaran pilihan. Akibatnya, siswa tetap terbatas pada pilihan yang ada. Guru juga memiliki peran penting dalam kebijakan ini untuk membimbing mata pelajaran yang ingin diambil murid. Sebab, jika murid tidak dibimbing dengan baik memilih mata pelajaran yang tepat, maka akan terjadi asal pilih. Masalah lainnya, kebijakan ini berpotensi menelurkan mata pelajaran yang sepi peminat. Imbasnya, guru mata pelajaran tersebut jadi tidak dapat memenuhi ketentuan jam mengajar minimal sebagai syarat penilaian kinerja dan sertifikasi guru.
Situasi ini diperparah dengan kurangnya kesiapan guru dalam menerapkan Kurikulum Merdeka. Banyak guru merasa kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan metode pembelajaran baru yang lebih fleksibel. Mereka tidak hanya dituntut untuk lebih kreatif dalam mengajar, tetapi juga harus mampu merancang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa tanpa pedoman yang jelas. Tidak ada lagi buku panduan, tidak ada sistem evaluasi yang seragam, dan tidak ada lagi struktur kurikulum yang ketat. Sebagai gantinya, guru harus merancang metode pembelajaran sendiri dan menyesuaikannya dengan kebutuhan siswa. Tetapi masalahnya, tidak semua guru memiliki kompetensi sesuai tuntutan Kurikulum Merdeka.
Ketidaksiapan guru hanyalah satu dari sekian banyak tantangan yang muncul. Hal ini juga berkaitan dengan infrastruktur, yang menjadi salah satu hambatan besar. Kurikulum Merdeka mengandalkan teknologi digital sebagai salah satu sarana utama pembelajarannya. Namun, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang bahkan tidak memiliki akses internet yang stabil? Sementara siswa di kota-kota besar bisa mengakses materi pembelajaran dari berbagai sumber digital, siswa di daerah terpencil masih harus berjuang dengan fasilitas yang minim. Tidak jarang, pembelajaran berbasis proyek yang seharusnya menarik malah menjadi beban karena keterbatasan sarana dan prasarana.
Kurikulum Merdeka seolah menjadi eksperimen besar di dunia pendidikan Indonesia. Niatnya memang baik, tetapi eksekusinya jauh dari sempurna. Tanpa persiapan yang matang, pelatihan yang merata, serta infrastruktur yang mendukung, kurikulum ini justru berpotensi memperlebar kesenjangan pendidikan. Guru kebingungan, siswa kehilangan arah, dan sistem pendidikan yang seharusnya lebih baik justru menjadi semakin tidak menentu.
Mungkin sudah saatnya pemerintah berhenti terburu-buru dalam menerapkan kebijakan Pendidikan tanpa landasan yang kuat. Kurikulum Merdeka bukanlah sekadar konsep di atas kertas, tetapi juga harus mampu diterapkan dengan baik di dunia nyata. Jika tidak, maka yang terjadi hanyalah sebuah perubahan yang tampak progresif dipermukaan, tetapi gagal membawa dampak positif bagi masa depan pendidikan Indonesia. Maka dari itu, diperlukan evaluasi secara menyeluruh agar konsep Merdeka Belajar diterapkan secara efektif dan benarbenar dapat membawa perubahan positif bagi dunia pendidikan di Indonesia. (Red/Hery Buha Manalu)