Oleh : Yohannes Hutabalian
Setiap 26 Juni, dunia memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional. Bagi kita, mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT), momen ini bukan sekadar seremoni HAM, tetapi panggilan iman yang dalam. Penyiksaan, apa pun bentuknya, fisik, mental, struktural, bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga penghinaan terhadap martabat ilahi manusia, ciptaan Allah. Lebih tragis lagi, praktik ini terjadi di tengah konflik agraria di Sumatera Utara, melibatkan aparat negara melawan warga miskin, petani, dan masyarakat adat yang mempertahankan tanah dan kehidupan mereka. Berikut beberapa catatan saya merespon moment ini.
1. Penyiksaan dan Pencemaran Gambar Allah (Imago Dei)
Dalam Kejadian 1:27 dikatakan:
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”
Refleksi Hari anti penyiksaan berarti setiap manusia, tanpa kecuali, membawa citra Allah. Ketika seseorang disiksa, seperti yang dialami Pandu Brata yang tewas setelah dianiaya aparat, maka itu bukan hanya tubuh manusia yang disakiti, tetapi citra Allah dalam diri manusia yang diinjak-injak.
Penyiksaan terhadap warga yang memperjuangkan tanahnya berarti mengkhianati rancangan Allah tentang kemanusiaan. Itu adalah bentuk kekafiran sosial. Tubuh manusia bukan benda yang boleh dipukul, disetrum, atau dilukai demi kekuasaan. Tubuh adalah “bait Roh Kudus” (1 Korintus 6:19). Maka, menyiksa berarti menghancurkan bait kudus Tuhan sendiri.
2. Ketika Tanah Dirampas dan Hak Direnggut
Dalam Imamat 25:23 Tuhan dengan jelas menyatakan: “Tanah itu jangan dijual mutlak, karena tanah itu milik-Ku, dan kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku.”
Tanah bukan sekadar aset ekonomi. Dalam konteks agraris seperti Sumatera Utara, tanah adalah identitas, warisan, sumber kehidupan. Ketika perusahaan besar, baik negara maupun swasta, bersekongkol dengan aparat untuk merebut tanah rakyat, mereka bukan hanya melanggar hukum manusia, tetapi melawan kehendak Allah sendiri.
Momentum Hari Anti Penyiksaan dan Konflik agraria, memberikan potret yang berujung pada penyiksaan menunjukkan bahwa sistem kita menukar keadilan dengan keuntungan. Ini menandakan keberdosaan struktural yang menyerang tatanan ciptaan Allah. Dalam Mikha 2:2, Tuhan mengecam mereka yang “mengambil ladang-ladang orang lain dan merampas rumah-rumah.” Ini bukan hanya teks nubuat kuno, tetapi relevan dengan situasi petani di Simalungun, Langkat, atau Tapanuli Selatan hari ini.
3. Yesus Kristus: Allah yang Disiksa Bersama Korban
Yesus tidak asing dengan penyiksaan. Dalam Yesaya 53:5, dikatakan:
“Tetapi Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita…”
Yesus disiksa, dipukul, dicambuk oleh aparat negara (tentara Romawi), sebagai lambang solidaritas Allah terhadap mereka yang menderita karena ketidakadilan. Maka ketika seorang petani diseret dari ladangnya, dipukuli karena mempertahankan haknya, Yesus hadir di situ, dalam tubuh yang memar, dalam tangisan yang tak didengar.
Iman Kristen bukan sekadar soal surga, tetapi soal kehadiran Allah di dunia yang berdarah-darah ini. Kita dipanggil, sebagai mahasiswa teologi, untuk menjadi murid Yesus yang bukan hanya tahu dogma, tetapi juga ikut memikul salib bersama mereka yang tersiksa.
4. Mengutuk Penyiksaan, Membangun Keadilan
Nabi Amos berseru dalam Amos 5:24:
“Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air, dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”
Panggilan kita sebagai calon pemimpin gereja bukan hanya berkhotbah di mimbar, tetapi juga berseru di tengah masyarakat, menolak kekerasan, dan memperjuangkan keadilan. Dalam konflik agraria, suara gereja tidak boleh netral. Netralitas dalam ketidakadilan adalah keberpihakan pada penindas.
Kita dipanggil menjadi suara kenabian yang bukan hanya mengkritik dari jauh, tetapi hadir dalam penderitaan korban, mengadvokasi mereka, menyuarakan keadilan, dan menghadirkan harapan. Inilah misi gereja, hadir sebagai garam dan terang di tengah luka bangsa.
5.Iman yang Hidup di Tengah Luka Sosial
Hari Anti Penyiksaan bukan hanya agenda HAM, tetapi momen pertobatan iman. Kita diajak untuk tidak buta dan bisu. Tubuh-tubuh yang disiksa karena memperjuangkan tanah mereka bukan hanya korban kekuasaan, tetapi juga lambang salib zaman ini. Kita harus berkata: “Cukup! Ini bukan kehendak Allah!”
Sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi di Sumatera Utara, mari kita belajar teologi yang membumi, yang peka, peduli, dan berani. Gereja bukan tempat aman yang sunyi, tetapi medan perjuangan iman di mana suara Kristus menggema melalui jeritan korban. Di sinilah teologi menjadi nyata, di ladang-ladang rakyat, di tubuh-tubuh yang luka, dan di setiap upaya kita menegakkan keadilan dan martabat manusia.
“Yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40).
Penulis : PEMA (Pemerintahan Mahasiswa) STT Paulus Medan, dan Pusaka (Pusat Study Alam, Budaya dan Kebangsaan untuk Indonesia)