Oleh: Hery Buha Manalu
Pertemuan BRICS 2025 di Rio de Janeiro menjadi lebih dari sekadar pertemuan puncak tahunan antarnegara berkembang. Ia mencerminkan perubahan arah dan semangat baru dalam percaturan ekonomi global. Dalam Leaders’ Declaration yang dihasilkan, BRICS menyuarakan urgensi reformasi tata kelola global (global governance) yang lebih adil, inklusif, dan mencerminkan kepentingan nyata negara-negara Global South, sebuah istilah yang selama ini kerap merujuk pada negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang kerap termarginalkan dalam pengambilan keputusan global.
Indonesia, sebagai anggota baru BRICS dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memanfaatkan momen ini untuk memperkuat posisinya sebagai kekuatan strategis dalam tatanan dunia yang sedang berubah. Presiden Prabowo Subianto secara tegas menyatakan dukungan terhadap visi progresif BRICS yang ingin membangun sistem dunia yang lebih seimbang, baik dari sisi politik, keamanan, maupun ekonomi.
Multilateralisme sebagai Jalan Tengah Dunia
Selama beberapa dekade, tata ekonomi global dikendalikan oleh sistem Bretton Woods yang melahirkan institusi seperti IMF dan Bank Dunia, yang peran dominannya sering kali mencerminkan kepentingan negara-negara maju. Namun dengan meningkatnya ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem ini, semakin banyak negara berkembang yang merasa suaranya tidak didengar.

BRICS hadir sebagai kekuatan tandingan yang menawarkan pendekatan berbasis multilateralisme, di mana keputusan global tidak lagi dimonopoli oleh segelintir negara besar, melainkan menjadi hasil konsensus yang lebih luas dan demokratis. Indonesia melihat peluang besar dalam format ini. Bagi Indonesia, multilateralisme bukan hanya wacana diplomasi, tetapi jalan konkret menuju pemulihan ekonomi, stabilitas kawasan, dan pembangunan berkelanjutan.
Seperti disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dorongan reformasi global governance bukan semata tuntutan mendapatkan kursi di meja perundingan internasional, tetapi lebih pada keinginan agar kebijakan dan keputusan global merepresentasikan realitas ekonomi dan sosial yang lebih luas. Saat ini, kekuatan ekonomi dunia telah berubah: Asia, Afrika, dan Amerika Latin tumbuh pesat, namun pengaruh mereka dalam lembaga-lembaga global masih sangat terbatas.
Indonesia dan negara-negara BRICS lainnya ingin mengubah itu. Reformasi tata kelola global juga berarti menghapus standar ganda dalam perdagangan, keuangan, dan lingkungan hidup yang seringkali merugikan negara-negara berkembang. Inilah bentuk konkret perjuangan menuju ekonomi global yang lebih setara.
Perluasan Pasar dan Ketahanan Nasional
Poin penting lain dalam Leaders’ Declaration adalah pendalaman kerja sama ekonomi. Di tengah ketidakpastian ekonomi global—dari konflik geopolitik hingga krisis pangan dan energi—BRICS muncul sebagai pasar alternatif yang menjanjikan. Dengan total populasi lebih dari 3 miliar jiwa dan kontribusi ekonomi yang terus meningkat, BRICS dapat menjadi kekuatan ekonomi kolektif yang memperkuat ketahanan dan daya saing nasional.
Bagi Indonesia, ini peluang besar. Produk-produk Indonesia seperti hasil pertanian, tekstil, komoditas mineral, hingga teknologi berbasis digital bisa lebih mudah menembus pasar negara anggota BRICS. Terbukanya akses ini berpotensi mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang kini tengah mengalami perlambatan ekonomi.
Transisi Energi dan Pembangunan Hijau yang Adil
Isu perubahan iklim juga menjadi sorotan utama. Negara-negara BRICS sepakat bahwa transisi energi menuju ekonomi rendah karbon tidak boleh menambah beban negara berkembang. Indonesia menegaskan bahwa pembangunan hijau harus dilakukan secara adil (fair) dan inklusif, tanpa menghambat proses pembangunan nasional.
Dengan potensi energi terbarukan yang melimpah—seperti tenaga surya, air, dan panas bumi—Indonesia berperan penting dalam inisiatif transisi energi BRICS. Kerja sama ini bisa membuka peluang investasi hijau, transfer teknologi, serta pendanaan inovatif untuk proyek-proyek ramah lingkungan.
Investasi pada Manusia dan Budaya
Tidak hanya soal ekonomi makro, BRICS juga mendorong kemitraan dalam pengembangan manusia, sosial, dan kebudayaan. Ini merupakan pengakuan bahwa kekuatan sejati bangsa tidak hanya terletak pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada kualitas hidup rakyatnya.
Bagi Indonesia, kerja sama ini berarti peluang dalam peningkatan kualitas pendidikan, pertukaran budaya, teknologi kesehatan, hingga penguatan ekonomi kreatif berbasis lokal. Dengan begitu, pembangunan menjadi lebih menyeluruh dan berdampak langsung bagi masyarakat.
BRICS 2025 adalah titik balik. Ia membawa angin segar bagi ekonomi dunia yang selama ini stagnan dalam ketimpangan. Indonesia tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut aktif merumuskan arah baru dunia yang lebih adil dan seimbang. Dalam konteks ekonomi global, inilah saatnya kita membuka lembaran baru menuju tata dunia yang tidak hanya kuat dalam angka, tetapi juga hangat dalam rasa keadilan dan kemanusiaan.
Sudah saatnya suara Global South menjadi penentu, bukan sekadar pengikut. BRICS adalah jalannya, dan Indonesia berada di jantung pergerakan itu.



