Oleh : Hery Buha Manalu
Kopi, meski pahit tetap diicari, cerita Rileks pelari di Medan Run 2025. Pagi itu, Lapangan Merdeka Medan sudah dipenuhi ribuan orang. Suasana riuh penuh semangat menyelimuti kota, saat Medan Run 2025 resmi dimulai. Tak hanya pelari profesional dan komunitas olahraga, para pencinta gaya hidup sehat dan keluarga muda juga ikut menyemarakkan ajang lari tahunan yang kini semakin ikonik di Sumatera Utara. Namun, di tengah hiruk-pikuk peserta yang berkeringat dan bersemangat menyelesaikan garis finish, ada satu pemandangan menarik yang tak bisa dilewatkan, antrean panjang di depan sebuah stand kopi lokal.
Mereka berdiri rapi, beberapa dengan napas masih tersengal, wajah merah padam, namun tetap antusias menanti secangkir kopi panas. “Kopi biar pahit, tapi bikin rileks,” kata seorang pelari muda yang kami wawancarai singkat usai lomba. Kalimat sederhana itu seperti menampar lembut kesadaran kita, bukan sekadar minuman, tapi bagian dari kehidupan, bahkan di momen paling melelahkan sekalipun.
Aroma yang Mengundang, Cerita yang Menenangkan
Bayangkan, setelah menempuh jarak 10 kilometer, tubuh letih, kaki pegal, dan keringat membasahi kaos, namun begitu mencium aromanya yang diseduh langsung, semangat itu seperti hidup kembali. Tidak sedikit peserta Medan Run yang menjadikannya sebagai “reward kecil” untuk diri sendiri. “Ini bukan cuma kopi,” ujar Dedi, seorang pelari dari komunitas lari di Medan. “Ini bentuk kasih saya ke tubuh saya yang sudah berjuang pagi ini. Minuman itu pelukan hangat buat jiwa.”
Minuman ini memang memiliki kekuatan magis. Ia bisa menyatukan orang dalam percakapan, menjadi alasan untuk jeda sejenak, atau memberi energi baru untuk kembali melangkah. Bahkan, di tengah event olahraga sekalipun, tetap relevan dan dicari. Hal ini menunjukkan bahwa ini telah melampaui batasnya sebagai minuman, dan menjadi bagian dari kultur relaksasi di tengah tekanan kehidupan urban.
Mengantri Demi Rasa dan Rasa Damai
Mungkin di tengah kecepatan zaman, kita lupa bahwa mengantri itu juga seni bersabar. Di stand kopi Medan Run, orang-orang dengan sabar berdiri, menunggu giliran, seolah waktu melambat sejenak. Mereka yang biasanya terburu-buru, kini membiarkan dirinya bersandar pada aroma robusta dan arabika khas Tanah Karo atau Mandailing.
“Gak masalah mengantri, toh ini juga bagian dari healing,” ujar Tia, seorang mahasiswi yang ikut kategori 5K. “Kopi itu semacam sinyal ke otak kita buat istirahat. Buat bilang: kamu pantas dapat jeda.” Kata-kata Tia mewakili banyak suara hati anak muda masa kini, yang mulai sadar akan pentingnya memperlambat ritme, bahkan di momen secepat lomba lari.
Yang lebih menarik, stand kopi yang diserbu peserta Medan Run bukanlah brand internasional dengan nama besar, tapi justru warung kopi lokal, dikelola barista muda dari Medan, menyajikan biji kopi hasil petani Sumatera Utara. Ini adalah bukti nyata bahwa kopi lokal punya tempat terhormat di hati masyarakat. Bahkan, bisa menjadi medium untuk membangun kebanggaan akan identitas daerah.
Ketika para pelari dari berbagai kota dan bahkan negara lain mencicipinya, mereka tidak hanya merasakan nikmatnya, tapi juga mendapat pengalaman budaya yang otentik. Di sinilah memainkan peran strategis dalam diplomasi rasa dan identitas. Tidak perlu pidato panjang. Cukup secangkir saja.
Kopi, bagi banyak orang, adalah simbol keberanian menerima hidup apa adanya. Rasa pahitnya bukan untuk ditolak, tapi untuk dirangkul, karena justru dari sanalah kita belajar arti keseimbangan. Seperti hidup yang tak melulu manis, tapi bisa tetap dinikmati. Itulah mungkin mengapa pelari di Medan Run tadi dengan tegas berkata, “Kopi biar pahit, tapi bikin rileks.”
Kalimat itu bukan sekadar ucapan, tapi refleksi dari generasi yang sadar bahwa kelelahan perlu ditenangkan, bukan dilawan. Bahwa hidup tak bisa terus dikejar, tapi sesekali harus dinikmati perlahan. Dan kopi, dengan segala pahit-manisnya, adalah teman terbaik untuk itu.
Acara Medan Run 2025 tak hanya merayakan ketahanan fisik, tapi juga ketahanan mental, dan minuman ini hadir sebagai penyeimbang sempurna. Ia tidak menghakimi siapa yang menang atau kalah. Ia hanya duduk diam dalam cangkirnya, mengajak kita untuk diam sejenak, menghela napas, dan menikmati hidup yang sederhana.
Mungkin itulah kenapa, di balik peluh dan kecepatan lomba, kopi tetap jadi tempat kembali. Karena kadang, untuk merasa hidup, kita hanya butuh secangkir yang pahit… tapi menenangkan.