Oleh: Hery Buha Manalu
Net Zero Sekarang
Net Zero Summit 2025 dan krisis iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan. Ia telah menjelma menjadi krisis eksistensial umat manusia. Dari banjir yang tak lagi musiman, gelombang panas yang membakar kehidupan urban, hingga ketahanan pangan yang terancam, semuanya adalah alarm bahwa bumi sedang sakit, dan kita ikut menderita.
Dalam konteks inilah, saya melihat Indonesia tengah mengambil langkah berani dalam penyelamatan iklim. Dalam perhelatan Indonesia Net Zero Summit 2025 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), saya menyaksikan pergeseran penting: dari sekadar berbicara tentang komitmen, kini Indonesia mulai menunjukkan arah aksi. Inilah momen penting. Kita tidak bisa terus menunggu. Kita harus bergerak.
Net Zero Bukan Sekadar Target, Tapi Tanggung Jawab
Net Zero Emission bukan slogan kosong. Ia adalah kompas moral dan ilmiah agar suhu bumi tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celsius, ambang batas yang jika dilewati, bisa membawa konsekuensi bencana tak terbayangkan. Dan Indonesia, sebagai negara dengan ekosistem hutan tropis luas dan sumber daya alam yang besar, memegang peran krusial dalam peta iklim dunia.

Pernyataan Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, dalam forum tersebut menggarisbawahi bahwa kita tak bisa lagi hanya jadi pengikut. “Indonesia adalah aktor utama dalam mendorong solusi iklim global,” katanya. Dan saya sepakat. Dunia tidak butuh janji baru. Dunia butuh tindakan nyata. Dunia butuh kepemimpinan.
Diplomasi Iklim yang Lebih Progresif
Yang menarik, Indonesia kini memainkan diplomasi iklim yang lebih progresif. Bukan hanya bergantung pada forum PBB, tetapi juga aktif mendorong peran forum seperti BRICS dalam mendukung pendanaan transisi energi dan riset perubahan iklim. Ini penting, sebab negara-negara berkembang seperti Indonesia memerlukan dukungan finansial dan teknologi untuk menjalankan lompatan menuju energi bersih.
Presiden Prabowo, lewat arah kebijakan barunya, mulai menggeser narasi bahwa kebijakan iklim adalah beban ekonomi. Ia memosisikan transisi energi sebagai peluang strategis, untuk menciptakan lapangan kerja hijau, memperkuat kedaulatan energi, dan membuka investasi masa depan. Jika ini benar-benar dijalankan, maka Indonesia bukan hanya menjadi pelaku, tapi juga inspirasi.
Transisi Energi = Transisi Sosial
Namun kita tak bisa bicara Net Zero hanya dari sisi teknokratik. Transisi energi bukan cuma soal mengganti batu bara dengan panel surya. Ini tentang bagaimana memastikan petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, hingga anak muda tidak tertinggal. Inilah tantangan sosial yang sangat besar, memastikan transisi energi ini adil dan inklusif.
Saya percaya bahwa masa depan tanpa emisi harus dibangun bersama. Generasi muda, akademisi, pelaku usaha, komunitas adat, semuanya harus dilibatkan. Dan kita perlu memulai dari hal paling dasar, literasi iklim, pendidikan hijau, dan penguatan komunitas lokal sebagai garda depan pelindung alam.
Indonesia Bisa, Jika Berani
Simon Stiell dari UNFCCC memberi pujian bahwa target Indonesia untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun adalah sinyal kuat. Tapi saya ingin menekankan: target tanpa keberanian politik, birokrasi yang gesit, dan transparansi dalam pelaksanaan, akan kembali menjadi janji kosong.
Kita harus membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya ingin berubah, tapi mampu berubah. Kita harus berani memangkas subsidi energi fosil, berinvestasi pada riset dan inovasi energi bersih, dan, yang paling penting, membuat transisi ini dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di level akar rumput.
Masa Depan Dimulai Sekarang
Net Zero bukan akhir perjalanan, melainkan titik tolak menuju cara hidup baru. Hidup yang lebih bersahabat dengan alam. Lebih adil dalam distribusi sumber daya. Lebih bijak dalam memanfaatkan energi. Dan lebih bijak dalam memandang pembangunan, bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi dari keberlanjutan hidup.
Saya percaya Indonesia bisa menjadi pionir di antara negara berkembang. Tapi hanya jika kita tidak menjadikan krisis ini sebagai komoditas politik semata. Hanya jika kita melihat krisis iklim sebagai persoalan moral, bukan hanya teknis.
Saatnya kita bicara lewat aksi. Dunia sedang memperhatikan. Dan anak cucu kita, kelak, akan bertanya, saat bumi terbakar, apa yang kita lakukan?
Opini ini ditulis sebagai bagian dari panggilan hati dan suara nurani untuk Indonesia yang lebih hijau, lebih adil, dan tanpa emisi.



