Oleh : Karen Natalia Manalu, Pusaka (Pusat Study Alam, Kebudayaan dan Kebangsaan untuk Indonesia)
Di balik dinding rumah-rumah sederhana di gang-gang kota Medan, terdapat kekuatan ekonomi yang selama ini tersembunyi, para ibu rumah tangga. Mereka bukan hanya pengatur keuangan keluarga, tetapi juga penjaga stabilitas pangan dan kesejahteraan harian.
Di tengah tingginya harga kebutuhan pokok, keterbatasan akses pekerjaan, dan tekanan ekonomi keluarga, banyak ibu rumah tangga mencari cara untuk mandiri secara finansial tanpa harus meninggalkan rumah. Dalam konteks inilah, urban farming hadir sebagai peluang ekonomi hijau mikro yang menjanjikan, praktis, produktif, dan berbasis rumah.
Urban farming tidak memerlukan lahan luas. Dengan memanfaatkan halaman sempit, pot bekas, ember, atau dinding vertikal, para ibu dapat menanam sayur seperti bayam, kangkung, sawi, tomat, atau cabai yang cepat tumbuh dan memiliki nilai jual tinggi.

Bahkan, beberapa dari mereka mulai beternak ikan lele dalam ember (budikdamber), atau memelihara ayam dan bebek secara skala kecil. Dengan pengetahuan dasar dan semangat yang kuat, urban farming bisa menjadi sumber pangan sekaligus penghasilan tambahan.
Misalnya berbagai sudut Kota Medan, punya potensi, seperti Medan Marelan, Medan Labuhan, dan Medan Denai, berpeluang demikian daerah lainnya, menumbuhkan komunitas ibu-ibu yang menginisiasi kebun rumah tangga kolektif.
Menanam bersama, belajar bersama, dan menjual hasil panen secara lokal. Hasilnya tak hanya mengurangi belanja dapur, tetapi juga memberi peluang untuk menghasilkan uang dari rumah, misalnya menjual sayur organik segar ke tetangga, produk olahan seperti sambal, jus herbal, hingga menjual bibit tanaman dan pupuk organik.
Model ini dikenal sebagai ekonomi hijau mikro, sebuah bentuk kewirausahaan kecil berbasis lingkungan yang mengintegrasikan aspek keberlanjutan, pemberdayaan, dan kemandirian. Dalam praktiknya, urban farming tidak memerlukan modal besar.
Dengan Rp100.000–Rp300.000 saja, ibu rumah tangga bisa memulai kebun sederhana menggunakan alat-alat daur ulang yang murah dan mudah ditemukan. Ditambah pelatihan dasar mengenai teknik tanam, kompos, dan pemasaran digital, potensi ekonominya bisa berkembang pesat.
Urban farming juga membuka peluang usaha turunan yang bernilai tambah. Misalnya, sisa tanaman bisa diolah menjadi kompos dan dijual sebagai pupuk organik rumahan. Daun herbal seperti mint, serai, dan kemangi bisa dikemas menjadi teh kering atau minyak atsiri.
Bahkan, dengan bantuan anak-anak muda, ibu-ibu bisa menjual produknya lewat media sosial atau platform e-commerce lokal. Inilah bentuk transformasi peran domestik menjadi peran produktif tanpa meninggalkan rumah.
Selain aspek ekonomi, urban farming juga berdampak besar pada ketahanan keluarga. Ketika kebutuhan pangan sebagian besar tersedia dari kebun sendiri, keluarga menjadi lebih mandiri dan tahan terhadap fluktuasi harga pasar.
Anak-anak pun lebih mudah dikenalkan pada pola makan sehat, dan ibu sebagai pusat edukasi keluarga memiliki peran strategis dalam membentuk gaya hidup ramah lingkungan.
Namun, untuk memperluas dampak urban farming di kalangan ibu rumah tangga, dibutuhkan dukungan lintas sektor. Pemerintah kota dapat memberikan pelatihan gratis, membentuk koperasi pertanian rumah tangga, serta menyediakan akses permodalan mikro berbunga rendah.
Organisasi perempuan, PKK, dan lembaga keagamaan juga bisa menjadi motor penggerak edukasi dan penguatan jaringan. Di sisi lain, media digital dan kampus-kampus di Medan dapat berperan aktif mendampingi ibu-ibu dalam promosi produk, pemasaran daring, dan pengembangan usaha berbasis komunitas.
Selain itu, pendekatan kolektif dan berbasis komunitas dapat mempercepat pengaruh urban farming. Ketika para ibu tidak bergerak sendiri, tetapi membentuk kelompok tanam bersama di tingkat RT atau kelurahan, rasa solidaritas dan gotong royong akan menguat.
Bersama-sama mereka bisa mengatur rotasi tanam, berbagi hasil panen, hingga membuka pasar kecil setiap akhir pekan untuk menjual produk segar langsung ke masyarakat sekitar.
Urban farming juga memberi ruang ekspresi dan keberdayaan bagi perempuan yang selama ini terpinggirkan dalam urusan ekonomi. Dari kebun kecil di sudut rumah, mereka tidak hanya menanam tanaman, tetapi juga menanam harapan, harapan untuk hidup lebih mandiri, sehat, dan berdaya.
Ini adalah bentuk perlawanan terhadap keterbatasan, dengan modal sederhana namun penuh makna, tanah, air, matahari, dan tekad yang tumbuh dari dalam rumah.
Semangat ini harus ditumbuhkan, terus bergerak dan membangun, urban farming menjadi pengingat bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ruang kecil. Di tangan ibu rumah tangga, kebun rumah menjadi lebih dari sekadar ladang sayur, ia menjadi ladang ekonomi, ladang solidaritas, dan ladang kehidupan. Mereka tidak sekadar memanen tomat atau cabai, tetapi memanen harga diri, kemandirian, dan masa depan yang hijau dan bermartabat. (Hery Buha Manalu)



