Oleh : Agus Rama Jaya Zebua
Di dunia yang semakin gaduh ini, kita sering kewalahan oleh bising pikiran sendiri. Segala notifikasi di ponsel, tuntutan pekerjaan yang terus mengejar, atau bahkan kekhawatiran yang tak selesai-selesai membuat kepala kita seperti tak pernah diam.
Tapi ada satu momen kecil yang selalu saya tunggu tiap pagi, duduk diam dengan secangkir kopi hangat, tanpa suara, tanpa terburu-buru. Hanya saya dan kopi. Itu sudah cukup.
Bagi saya, kopi bukan hanya soal rasa. Ia adalah ritual sunyi yang menenangkan. Saat aromanya menyeruak, perlahan napas saya teratur. Pikiran yang semula berserakan mulai kembali ke satu titik.
Ada semacam grounding yang terjadi, seperti tubuh dan jiwa sedang diberi aba-aba, “Tenanglah, kamu masih ada. Masih hidup. Masih bisa merasakan hangat.” Ini bukan tentang kafein. Ini tentang ruang. Tentang jeda yang kita beri untuk diri sendiri.
Di tengah krisis mental yang makin nyata, depresi, kecemasan, burnout, kita sering lupa bahwa kita butuh momen-momen kecil untuk pulih. Dan bagi saya, itu adalah medium itu. Ia tidak menyembuhkan, memang. Tapi ia menemani. Diam-diam, setia, dan tak pernah menghakimi.
Bahkan ketika saya sedang tak ingin bicara dengan siapa pun, dia tetap hadir di meja, seperti teman lama yang tahu batas. Tidak mengintervensi, tapi cukup untuk membuat saya merasa tidak sendirian.
Menariknya, banyak orang yang menganggapnya sebagai stimulan. Tapi bagi saya, dia justru penenang. Ketika saya menyeduhnya sendiri di rumah, ada ketenangan dalam proses itu.
Menggiling bijinya dengan tangan, menyeduh perlahan, dan menunggu tetesan demi tetesan jatuh ke dalam cangkir, semuanya membuat saya terhubung dengan detik. Proses itu seakan berkata: “Tidak semua harus cepat. Tidak semua harus dikejar.”
Saya percaya, tiap orang punya caranya sendiri untuk merawat kesehatan mental. Ada yang menulis jurnal, ada yang meditasi, ada yang jalan-jalan ke alam.
Bagi saya, itu semua bisa terjadi lewat ritual kopi. Menulis, merenung, atau hanya diam di balkon sambil memegang cangkir, itu cukup untuk merapikan kekusutan batin.
Di dunia yang terus menuntut kita untuk bergerak, dia telah mengajari kita untuk berhenti sejenak. Memberi ruang pada diri. Memeluk luka yang belum selesai.
Dan mungkin, dalam setiap tegukan, kita tidak hanya sedang menikmati minuman, tapi juga sedang menyapa diri sendiri, “Apa kabar, aku hari ini?”
Dan kalau kamu juga merasa lelah dengan dunia, cobalah duduk, ambil yang favoritmu, dan dengarkan hening. Kadang, kita tak butuh solusi, hanya butuh ruang untuk bernapas, dan kopi tahu betul cara menghadirkannya. (Hery Buha Manalu)