Oleh : Hery Buha Manalu
Dari setiap jengkal perjalanan menyusuri desa-desa di sekitar Danau Toba yang Indah, saya sadar bahwa Tanah Batak bukanlah destinasi wisata biasa. Ia bukan tempat yang menjual keindahan semata untuk memuaskan lensa kamera.
Ia seperti seorang tua yang membuka cerita lama kepada siapa pun yang sudi mendengar dengan hati. Toba yang indah tidak sedang memamerkan dirinya, ia sedang membuka dirinya. Pelan, tenang, dan penuh wibawa.
Ia membuka dirinya kepada kita, para pelancong yang datang dengan langkah ringan tapi hati penuh pertanyaan. Tentang kita yang sudah jauh dari keindahan hidup dalam keseimbangan ataubmakna hidup, tentang alam yang semakin rusak, tentang manusia yang makin jauh dari akar.

Di Toba, kita menemukan bahwa desa bukan sekadar tempat yang tertinggal, tetapi tempat di mana hidup justru sedang disusun ulang dengan cara yang lebih jujur dan membumi. Di desa-desa kecil yang indah itulah kita belajar kembali tentang kesederhanaan yang memberi, bukan mengambil.
Toba juga membuka dirinya kepada anak-anaknya yang lama pergi. Mereka yang dulu meninggalkan kampungnya yang indah karena mengejar hidup di kota, kini mulai pulang, bukan sekadar untuk berlibur, tapi untuk membangun, menanam, dan menjaga.
Ada rasa haru saat melihat pemuda-pemudi Batak pulang untuk membuka homestay, mengajar tenun, merintis usaha kopi lokal, hingga membuat kanal digital yang menceritakan keindahan dan nilai-nilai leluhur. Toba mengingatkan mereka siapa mereka sesungguhnya, bukan sekadar warga negara, tapi pewaris tanah yang mengandung makna.
Bagi dunia yang kehilangan keindahan dalam arah, Toba adalah kompas yang sunyi. Di tengah hiruk pikuk globalisasi dan konsumsi berlebih, danau ini hadir sebagai ruang hening yang menyimpan hikmah. Ia mengajarkan bahwa hidup bisa dijalani dengan irama yang lebih pelan, lebih sadar, lebih menghargai.
Bahwa wisata bukan hanya tentang datang dan bersenang-senang, tetapi tentang pulang dengan sesuatu yang lebih dari sekadar oleh-oleh, pulang dengan kesadaran baru. Inilah keindahan yang harus dikembalikan.
Gondang yang berdentum dari sopo-sopo tua di desa Batak tak sekadar musik tradisi. Ia seperti suara ibu yang memanggil anak-anaknya pulang. Suara yang merapal doa, yang indah merawat ingatan, dan mengajak kita menjaga yang tersisa.
Ketika kita duduk di antara warga yang menari, atau hanya menyaksikan tenunan ulos dikerjakan tanpa tergesa, kita sebenarnya sedang diundang masuk ke ruang yang sakral, ruang yang penuh pelajaran hidup.
Toba tidak sekadar indah. Ia mengajarkan makna yang dalam, bahwa manusia dan alam bukan dua entitas terpisah, melainkan satu kesatuan yang hidup berdampingan. Di tepian danau yang sunyi, masyarakat Batak belajar mencintai alam bukan karena perintah undang-undang, melainkan karena warisan nilai yang diturunkan leluhur.
Hutan dijaga bukan demi proyek hijau, melainkan karena diyakini sebagai bagian dari bonapasogit, tanah asal yang suci. Begitu juga dengan budaya, manortor, mangandung, hingga gondang sabangunan, bukan sekadar hiburan atau tontonan wisata, melainkan perwujudan dari nilai-nilai hidup, penghormatan terhadap sesama, alam, dan Sang Pencipta.
Toba mengajarkan kita bahwa kearifan lokal adalah kekayaan yang menjawab kegelisahan modernitas, bagaimana hidup selaras, bermakna, dan penuh hormat terhadap kehidupan dalam segala bentuknya.
Dan benar, Toba tidak sekadar indah. Ia mengajarkan makna. Tentang menjaga alam bukan karena tuntutan kebijakan, tetapi karena cinta. Tentang budaya yang bukan sekadar hiburan, tetapi jalan hidup.
Tentang kebersamaan yang bukan hanya slogan, tapi realitas yang dijalani setiap hari oleh masyarakat desa, dalam gotong royong, dalam manortor, dalam makan bersama, dalam saling menjaga satu sama lain. Semua itu terasa sederhana, tapi menyentuh inti dari apa artinya menjadi manusia.
Mari kita jaga napas Toba, sebelum ia benar-benar lelah. Sebab Toba bukan hanya danau terbesar di Asia Tenggara. Ia adalah cermin besar yang memantulkan wajah kita sendiri, apakah kita masih sanggup hidup selaras dengan alam, saling menghargai, dan berjalan dengan hati?
Toba telah memberi lebih dari sekadar keindahan; ia menghadirkan jiwa, nilai, dan kearifan yang membentuk identitas. Kini, giliran kita membalas bukan dengan langkah seremonial, tetapi dengan kesadaran mendalam sebagai bagian darinya.
Kita bukan lagi tamu yang singgah, melainkan sahabat yang memahami denyut nadinya, pewaris yang menghargai warisan leluhur, dan penjaga yang merawat nilai-nilai budaya serta kelestarian alamnya. Menjaga Toba berarti merawat kehidupan itu sendiri, airnya, hutannya, budayanya, dan roh spiritual yang hidup di dalamnya. Ini bukan sekadar tanggung jawab, tetapi panggilan jiwa yang tak bisa diabaikan.
Kini giliran kita untuk menjaga, bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai sahabat, pewaris, dan penjaga makna itu sendiri. (Red)



