spot_img
BerandaAkademikaAgama sebagai Substansi Kebudayaan dalam Kaitan Memproklamasikan Injil

Agama sebagai Substansi Kebudayaan dalam Kaitan Memproklamasikan Injil

Screenshot 20210409 105733

 

Oleh : 

Esem Fawer Panjaitan

Kopi Times,  Agama dan budaya memiliki beberapa persamaaan atau kemiripan yakni keduanya sama-sama merupakan menjadi dasar bagi kelompok orang berperilaku. Artinya ada orang berperilaku tertentu karena ajaran agama kelompoknya dan ada yang berperilaku karena ajaran kebudayaan kelompoknya. Menjadi pertanyaannya adalah, Apakah budaya bias menggantikan agama sebagai saluran spirtualitas (ibadah) manusia kepada Tuhan? Menurut C. Joe Arun, seorang antropolog agama dari India, Dalam sejarahnya, budaya tidak pernah menghasilkan agama, tetapi sebaliknya agama dapat menghasilkan budaya. Dengan demikian agama dapat menjadi saluran kelahiran budaya terutama dalam memproklamirkan Injil, dengan kata lain agama sebagai substansi kebudayaan.

 

Teologi sebagai substansi kebudayaan. Tugas memproklamirkan injil harus menjadi misi setiap orang percaya sebagai gereja Tuhan. Bahkan pemberitaan Injil harus menjadi budaya setiap orang Percaya karena tugas ini telah diberikan kepada setiap orang percaya untuk menjadi saksi Kristus di Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi. Hal ini menjadi sangat penting bahkan menjadi keharusan karena Yesus sendiri telah memberi amanat ini sebelum Ia naik ke sorga. (Kisah Para Rasul 1:8, Matius 28:19-20)

 

Injil Menjadi Sebuah Kebutuhan Spritual yang Hakiki

Dalam suratnya kepada Jemaat di Roma, pada pasal pertama ayat yang ke 16 dan 17, Paulus berkata: Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis, Orang benar akan hidup oleh iman.

 

Oleh karena itu, ketika kita mulai memproklamirkan kebenaran Injil kepada kelompok masyarakat tersebut kita tidak perlu ragu akan apa yang akan kita katakan, sebab Roh Kudus akan memimpin kita untuk menyampaikan kebenaran-Nya dengan cara yang Ilahi dengan pendekatan budaya kelompok masyarakat tersebut. Teologi menjadi substansi kebudayaan.

 

Paulus dalam tujuannya memproklamirkan Injil kepada orang-orang Atena misalnya, dalam Kisah Para Rasul 17:16-34 dikatakan demikian. Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala. Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ.

 

Dan juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa bersoal jawab dengan dia dan ada yang berkata: “Apakah yang hendak dikatakan si peleter ini?” Tetapi yang lain berkata: “Rupa-rupanya ia adalah pemberita ajaran dewa-dewa asing.” Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan tentang kebangkitan-Nya. Lalu mereka membawanya menghadap sidang Areopagus dan mengatakan: “Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang kauajarkan ini? Sebab engkau memperdengarkan kepada kami perkara-perkara yang aneh. Karena itu kami ingin tahu, apakah artinya semua itu.” Adapun orang-orang Atena dan orang-orang asing yang tinggal di situ tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru.

 

Paulus pergi berdiri di atas Areopagus dan berkata: “Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu. Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Teolofi substansi kebudayaan. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga. Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia. Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat. Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati.”

 

Ketika mereka mendengar tentang kebangkitan orang mati, maka ada yang mengejek, dan yang lain berkata: “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu.” Lalu Paulus pergi meninggalkan mereka. Tetapi beberapa orang laki-laki menggabungkan diri dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya juga Dionisius, anggota majelis Areopagus, dan seorang perempuan bernama Damaris, dan juga orang-orang lain bersama-sama dengan mereka.

 

Kita melihat dari pengalaman seorang pemberita Injil kelas dunia yaitu Rasul Paulus ini, ia berhasil memproklamirkan Injil di tengah-tengah kebudayaan dan religi yang sudah ada di Atena pada saat itu. Demikian juga kita pada masa kini harus bersedia dan Tuhan yang sama yang memakai Rasul Paulus dan Para Rasul lainnya akan memamampukan kita dalam memproklamirkan Injil di tengah-tengah kebudayaan local yang sudah ada.

 

Kebudayaan Lokal menjadi Pintu Gerbang Masuknya Injil

Sebagaimana kita ketahui bahwa sekelompok manusia atau masyarakat yang menetap dalam waktu yang lama dalam wilayah tertentu, akan membentuk identitas kultural religius tertentu. Masing-masing kelompok masyarakat itu akan membentuk dan mengembangkan kebudayaannya dan religi yang khas. Teologi.substansi kebudayaan, ekspresi budaya maupun religi mereka tampak dalam bahasa, adat kebiasaan, bentuk-bentuk kekerabatan atau institusi sosial, dan nilai-nilai yang diperjuangkan serta dilestarikan dari generasi ke generasi. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat memuat simbol-simbol yang sangat kaya. Di dalam simbol-simbol kemanusiaan tersebut terungkap kedekatan relasi, rasa kemanusiaan yang mendalam, penghormatan terhadap sesama sebagai ciptaan Tuhan, sikap solider dan setiakawan, sikap menghargai hidup, dan nilai-nilai sosial serta religius tertentu.

 

Sebagai seorang pemberita Injil, sudah sepatutnya memiliki hubungan yang intim dengan Allah sehinggan Roh Kudus akan selalu memberikan hikmat dan dan menuntun sehingga kita tahu dan bijaksana akan apa yang seharusnya kita lakukan. Tetap menjadikan teologi substansi kebudayaan, diantaranya adalah pendekatan Lintas budaya. Seperti misalnya yang dilakukan oleh seorang misionaris bernama Kiai Sadrach dalam mewartakan injil di pulau Jawa.Guillot menyebutnya sebagai misionari pribumi dengan cara khas Jawa yang menggunakan bahasa dan tradisi-tradisi dalam menjembatani injil dengan budaya. 

 

Melalui pendekatannya itu, Sadrach telah mampu membawa banyak orang Jawa kepada Kristus. Bahkan pernah dicatat pengikutnya mencapai 7552 orang, jumlah ini melebihi para pengikut misionari yang tidak pernah mencapai angka 2000 meskipun telah bekerja selama lima puluh tahun. Namun dibalik keberhasilannya itu,  tidak sedikit Sadrach menghadapi ketegangan dalam pewartaan injil dengan cara khas Jawa itu. Singgih menyebut salah satu ketegangan yang muncul adalah adanya tuduhan bahwa saat Sadrach sinkritisme dengan menggabungkan ajaran Kristen dengan Hidhu, Budha dan Islam. Diantara tetap teologi substansi kebudayaan.

 

Tantangan dan ketegangan akan selalu ada dalam memproklamirkan Injil. Hal itu dialami oleh Para nabi dan Para Rasul. Akan tetapi, selama kita memiliki kerinduan akan suatu Mahkota keabadian, maka semua gejolak yang ada akan dapat kita terima sebagai suatu kehormatan seperti yang dialami oleh rasul Petrus dalam Kisah Para Rasul 5:40-41 dan 2 Korintus 4:16-18 berikut: Mereka memanggil rasul-rasul itu, lalu menyesah mereka dan melarang mereka mengajar dalam nama Yesus. Sesudah itu mereka dilepaskan. Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus.

 

Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.

 

Kesimpulan

Agama dan kebudayaan merupakan sebuah  identitas kelompok masyarakat tertentu. Dan sebagai kelompok masyarakat yang Beragama dan memiliki kebudayaan lokal tentu bukan hal mudah untuk memproklamirkan Injil kepada mereka terutama yang memiliki kepercayaan dan kebudayaan yang tidak memiliki relevansi dengan Injil. Maka untuk kita dapat memproklamirkan Injil kita harus memiliki setidaknya tiga hal: 

 

Kita harus memiliki kemauan atau kerelaan dan kesediaan untuk menjadi alat dalam memproklamirkan Injil tersebut. (Yeremia 1:6-7). Maka aku menjawab: “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.” Tetapi TUHAN berfirman kepadaku: “Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apa pun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan. Kita harus mengandalkan kekuatan dan kuasa Roh Kudus (Kisah Para Rasul 1:8). Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi. “Kita harus memiliki strategi seperti penginjilan lintas budaya atau penginjilan kontekstual. (1 Korintus 9:20-22).

 

Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. (Red/Hery Buha Manalu)

 

Esem Fawer Panjaitan, Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia (STT) Paulus Medan, Materi ini merupakan hasil diskusi bersama Dr.  Hery Buha Manalu pada Mata Kuliah Hubungan Teologia dan Budaya

 

 

 

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini