Zaman K. Mendrofa, MH Penasehat Kesatuan Mahasiswa Nias (KMN) Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia (UPMI) Medan foto : Ist |
Editor : Hery B Manalu
Kopi-time.com-Martabat dan nama baik seorang perempuan seolah direndahkan karena memperlihatkan bagian tubuhnya yang tidak patut dikonsumsi publik.
Tanggapan negatif sebagian masyarakat timbul karena busana tersebut telah melukai cita rasa budaya masyarakat. Martabat dan nama baik seorang perempuan seolah direndahkan karena memperlihatkan bagian tubuhnya yang tidak patut dikonsumsi publik, seperti belahan roknya terlalu tinggi, dada dan ketiak tidak tertutup dengan sempurna. Apalagi ada embel-embelnya Putri Pariwisa Nias Barat, apakah busana tersebut representatif budaya Nias Barat?
Seorang perempuan Nias sangat dijunjung tinggi martabatnya. Penghargaan terhadap perempuan, salah satunya, ditunjukkan pada saat menikah dengan Mahar yang tinggi bahkan di beberapa daerah di Nias, pengantin Perempuan ditandu (Nias : Lafahea, Lafazawa, Tebai ihundragӧ danӧ) ketika berangkat dari rumah orangtuanya menuju rumah suaminya.
Sebaliknya, perempuan yang kurang terhormat karena telah merendahkan martabatnya (cacad moral) tak pantas ditandu, seperti sabeto (hamil di luar nikah), soloi (kawin lari), nira’u (terculik). Upacara ini menyimbolkan bahwa perempuan ‘dimuliakan’, ditinggikan, dan dihormati.
Di sisi lain, perempuan menjadi simbol harga diri dan kehormatan dari keluarga. Menyakiti atau mempermalukan perempuan sama dengan menyakiti atau mempermalukan keluarganya, terutama saudara laki-lakinya. Oleh karena itu, perempuan selalu dijaga dan dilindungi kehormatan serta nama baiknya oleh keluarga.
Untuk menjaga dan melindungi nama baik seorang perempuan, ada beberapa aturan adat yang menegaskan penghargaan terhadap perempuan itu. Aturan adat itu menjamin bahwa perempuan harus terjaga dan terlindungi nama baiknya oleh perempuan itu sendiri maupun orang lain; misalnya Aturan Bertutur (tebai falele : seorang perempuan tak boleh memaki, apalagi dimaki orang lain), Aturan Berperilaku dalam Pergaulan (tebai fao wofanӧ ba ndra matua sitenga dongania : tak boleh pergi bersama laki-laki yang bukan suaminya), Aturan Berbusana.
Pada zaman dahulu, aturan berpakaian tidak terlalu penting dan tidak jelas karena pada awalnya nenek moyang kita hanya memakai kulit kayu bahkan dedaunan untuk menutupi bagian kelamin saja yang disebut Saombӧ (cawat). Kemudian berkembang lagi, Bulu Ladari dan Uli Goholu (jenis daun dan kulit kayu) mulai dianyam untuk menutupi tubuh, selain bagian kelamin dada ditutup.
Adapun prinsip utama dalam berbusana bagi perempuan adalah Bӧi oroma zafusi nӧsi (tabu memperlihatkan bagian tubuh yang lebih putih). Tubuh yang lebih putih adalah bagian tubuh yang sehari-harinya ditutupi pakaian, sehingga bagian tubuh lain lebih belang karena langsung kena sinar matahari. Untuk memperjelas hal itu, ada beberapa bagian tubuh yang disebut secara khusus :
a. Bӧi oroma narӧ waha / so bagi moyo (tabu memperlihatkan paha bagian dalam) – pada umumnya rok panjangnya di bawah lutut.
b. Bӧi orama dӧtӧ’a ( tabu memperlihatkan dada, apalagi belahan dada) – kerah baju tinggi sehingga dada tertutup.
c. Bӧi oroma narӧ galogo (tabu memperlihatkan ketiak) – baju harus berlengan.
d. Boi oroma wusӧ ba lafoyo (tabu memperlihatkan pusar dan pinggang kiri dan kanan) – kaki baju harus menutupi pinggang.
e. Bӧi amawa mbisiu ( tidak memajang betis seperti barang jualan) – di daerah tertentu rok harus menutupi betis bahkan sampai mata kaki.
Bila seorang perempuan Nias tidak mengindahkan kaidah berbusana tadi, maka diberi teguran dan sanksi secara langsung maupun tak langsung, misalnya La’otu’ӧ (dinasihati secara keras di depan umum) dan Lafotӧi (diberi ‘gelar’ berupa sindiran). Beberapa istilah yang diberikan kepada perempuan yang tidak peduli busana yang dikenakan : a) Si lӧ mangila huku (tidak tahu hukum/adat), b) Si lӧ ngaroro (tak berguna, karena telah merendahkan harga diri dan nama baik dirinya dan keluarganya), c) mbayu (perempuan murahan – disamakan dengan pelacur yang mengubar kemolekan tubuhnya untuk menarik simpatik calon pelanggan).
Saya berpendapat bahwa kreatifias menciptakan busana trendy seperti ini patut dihargai, tetapi tidaklah patut dikenakan oleh seorang yang bergelar Putri Putri Pariwisata Nias Barat, karena busana tersebut bertentangan dengan kearifan lokal Budaya Nias Barat yang menghargai martabat dan nama baik seorang perempuan Nias Barat. Busana tersebut sangat baik dipergunakan untuk fashion show dimana kreatifitas dan seni menjadi prioritas.
Selanjutnya, saya sarankan kepada Pemda Nias Barat dalam hal ini Dinas Pariwisata supaya lebih arif dan selektif dalam memilih busana para Putri Pariwasata Nias Barat supaya sungguh-sungguh menjadi representatif budaya dan tidak melukai cita rasa budaya masyarakat Nias Barat. (***)