![]() |
Gambar : Ist |
Kopi-times.com | Medan :
Juniaty Aritonang Koordinator Divisi Studi dan Advokasi BAKUMSU (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara) menilai pengesahan Undang-Undang Minerba melukai hati rakyat, sebab isi, proses dan keberpihakannya belum menjawab persoalan pertambangan yang ada di Indonesia saat ini.
“Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) telah resmi disahkan pada 12 Mei 2020, Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Pertambangan (Minerba) ini merupakan salah satu paket Rancangan Undang-Undang yang sempat ditolak oleh publik pada akhir periode DPR 2014-2019 dan me. Dikarenakan isi, proses dan keberpihakannya dinilai belum menjawab persoalan pertambangan yang ada di Indonesia saat ini yang melukai hati rakyat.”, sebut Juniaty Aritonang melalui pers rilisnya kepada Kopi-times.com, Kamis (14/5/2020) di Medan.
Menurutnya pengesahan RUU Minerba terkesan terburu-buru. Disaat krisis akibat pandemi Covid-19 seperti saat ini dinilai tidaklah tepat, meskipun akan ada klaim yang menyebutkan salah satu alasan disahkannya RUU Minerba ini adalah persiapan untuk perbaikan ekonomi nasional pasca krisis akibat pandemi.
BAKUMSU juga menilai seharusnya pengesahan RUU ini memperhatikan permasalahan – permasalahan yang selama ini terjadi di wilayah sekitar pertambangan, seperti pengrusakan lingkungan dan perijinan yang belum adil serta belum terjaminnya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.
Juniarty Aritonang juga memaparkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), ada mencatat 140 orang yang didominasi anak-anak telah menjadi korban lubang tambang selama 2014-2018. Lubang bekas tambang yang belum direklamasi memakan korban di 12 provinsi dengan jumlah terbanyak ada di Bangka Belitung dengan 57 orang disusul Kalimantan Timur 32 orang.
Pada periode 2014-2019 terdapat 71 konflik di sektor pertambangan. Konflik itu terjadi antara masyarakat yang menolak izin usaha pertambangan melawan perusahaan dan pemerintah. Konflik itu terjadi pada lahan seluas 925.748 hektar.
Menurutnya, konflik paling banyak terjadi di provinsi Kalimantan Timur (14 kasus); diikuti Jawa Timur (8 kasus); dan Sulawesi Tengah (9 kasus). Konflik itu terkait keberadaan tambang emas (23 kasus), batubara (23 kasus), dan pasir besi (11 kasus).
Selanjutnya, sebutnya BAKUMSU menilai atas kajian terhadap naskah revisi UU Minerba yang kami dapatkan, isi dari revisi UU Minerba ini belum menunjukkan upaya yang serius untuk mempersempit ruang pengerukan sumber daya alam, memperbaiki sistem perizinan pertambangan serta menjamin perlindungan HAM bagi masyarakat yang hidup di sekitar wilayah pertambangan tetapi justru akan menjadi legalitas bagi penyalahgunaan kewenangan yang lebih lagi.
Dalam keterangan pers ini, Juniaty Aritonang menegaskan BAKUMSU mendorong untuk dibatalkannya pengesahan revisi UU Minerba.
“Oleh karena itu, kami dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) mendorong untuk dibatalkannya pengesahan revisi UU Minerba ini karena melukai hati rakyat. Karena pengesahan Revisi UU ini tidak hanya akan melukai perasaan rakyat yang hidup di wilayah pertambangan tapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Terlebih lagi disaat semua perhatian kita sedang berfokus untuk menyelamatkan kehidupan dan republik ini dari virus pandemi Covid-19. Bakumsu menilai undang-undang ini sarat dengan kepentingan perluasan investasi dan pengusahaan pertambangan”, tutupnya. (Red/ Hery B Manalu)