spot_img
BerandaAkademikaBanjir, Izin Tambang, dan Jejak Kebijakan yang Disapu Air

Banjir, Izin Tambang, dan Jejak Kebijakan yang Disapu Air

Oleh : Hery Buha Manalu

Banjir bandang yang berulang di Sumatera bukan semata persoalan cuaca ekstrem. Ia adalah jejak panjang dari kebijakan kehutanan dan pertambangan yang sejak awal dirancang longgar, diawasi setengah hati, dan ditegakkan tanpa ketegasan. Air hanya datang untuk membuka apa yang selama ini ditutup oleh dokumen perizinan.

Di hulu daerah aliran sungai, hutan yang seharusnya menjadi benteng ekolekologis telah beralih fungsi menjadi konsesi. Izin usaha pertambangan, perkebunan skala besar, serta pembukaan kawasan produksi telah menggerus tutupan hutan secara masif. Dalam banyak kasus, izin diterbitkan di wilayah rawan longsor, daerah resapan air, bahkan di sekitar badan sungai. Tata ruang kalah oleh kepentingan investasi.

Masalahnya bukan pada ketiadaan hukum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dengan jelas mewajibkan perlindungan lingkungan berbasis daya dukung dan daya tampung. Analisis mengenai dampak lingkungan menjadi prasyarat mutlak. Dalam doktrinnya bahkan dikenal prinsip tanggung jawab mutlak dan pertanggungjawaban pidana korporasi. Tetapi dalam praktik, AMDAL sering berubah menjadi formalitas, bukan alat kontrol.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Di banyak wilayah, izin terbit lebih dulu, bencana menyusul kemudian. Ketika banjir melanda, yang disorot adalah curah hujan, bukan peta konsesi. Sungai yang seharusnya dilindungi justru dipotong jalan hauling. Lereng yang seharusnya diperkuat vegetasi dibuka untuk tambang. Sedimen masuk ke sungai, kapasitas alir menyempit, banjir pun menjadi keniscayaan.

Yang jarang disentuh adalah aktor kebijakan di balik semua itu. Siapa yang menandatangani izin di kawasan rawan? Siapa yang melonggarkan syarat lingkungan? Siapa yang membiarkan konsesi tetap beroperasi meski daya dukung telah terlampaui? Pertanyaan-pertanyaan ini nyaris tak pernah menjadi bagian dari narasi kebencanaan resmi.

Negara melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sesungguhnya memegang kunci pengawasan. Tetapi pengawasan sering kalah cepat dibanding ekspansi industri. Sanksi administratif lebih sering dipilih ketimbang pidana. Pencabutan izin menjadi opsi terakhir yang hampir tak pernah ditempuh secara konsisten. Akibatnya, pelanggaran ekologis diperlakukan sebagai risiko usaha, bukan kejahatan publik.

Di titik ini, banjir bandang tidak bisa lagi dibaca sebagai musibah alam. Ia adalah produk kebijakan. Ia lahir dari relasi antara kuasa, modal, dan lemahnya penegakan hukum. Ketika air datang membawa lumpur, yang sesungguhnya sedang ditampakkan adalah jejak keputusan politik yang salah arah.

Lebih ironis lagi, saat warga membangun kembali rumah mereka dari puing, aktivitas tambang di hulu kerap tetap berjalan. Tidak ada moratorium, tidak ada audit terbuka, tidak ada jeda eksploitasi. Negara bergerak cepat di hilir melalui bantuan, tetapi tetap ragu di hulu untuk menyentuh sumber masalah.

Sumatera hari ini sedang memperlihatkan wajah telanjang paradoks pembangunan di Indonesia yakini sumber daya dieksploitasi, bencana disosialisasikan, tetapi pelaku kerusakan tetap dilindungi oleh rumitnya jejaring izin dan kekuasaan.

Jika banjir hanya dijawab dengan normalisasi sungai tanpa menyentuh kebijakan kehutanan dan tambang, maka negara sedang menipu dirinya sendiri. Air akan terus datang. Dan setiap kali ia datang, ia membawa pesan yang sama, masalahnya bukan di langit, tetapi di meja-meja pengambil keputusan. (Red/*)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini