Oleh : Hery Buha Manalu
Keberagaman suku dan budaya di Indonesia selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan. Di tengah segala perbedaan yang ada, satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah pentingnya rasa persaudaraan yang mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat. Salah satu contoh menarik dari keberagaman yang justru memperlihatkan kedalaman persaudaraan adalah masyarakat Batak.
Batak, yang terdiri dari berbagai sub-etnis, seperti Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Angkola, sering kali disorot dalam konteks perbedaan, namun di balik itu semua terdapat ikatan kuat yang disebut sebagai Tali Persaudaraan.
Masyarakat Batak memiliki prinsip Dalihan Na Tolu yang menjadi dasar dalam kehidupan sosial mereka. Konsep ini mengajarkan pentingnya saling menghargai dan menjaga harmoni dalam hubungan antar individu dan kelompok, meskipun ada perbedaan dalam adat dan budaya. Menariknya, meski sub-etnis Batak, seperti Toba dan Karo, seringkali terlihat terpisah karena perbedaan budaya yang cukup mencolok, Dalihan Na Tolu justru memberikan ruang bagi persatuan yang tidak terpisahkan. Di situlah letak kekuatan masyarakat Batak Batak dengan keberagaman yang ada bukanlah hal yang memecah belah, melainkan sesuatu yang saling melengkapi dan memperkuat.
Namun, belakangan ini, isu mengenai “Karo Bukan Batak” mencuat di tengah masyarakat. Isu ini sempat menimbulkan ketegangan antara kelompok Batak Toba dan Karo, seakan keberagaman ini justru menjadi jurang pemisah. Pada titik inilah, pentingnya untuk melihat kembali prinsip Dalihan Na Tolu sebagai landasan untuk merajut kembali hubungan persaudaraan yang mulai renggang. Bukankah pada akhirnya, kita semua berasal dari satu akar budaya yang sama? Apakah tidak lebih bijaksana jika kita menganggap perbedaan sebagai kekuatan, bukan sebagai pemisah?
Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa Batak sebagai sebuah identitas tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja. Keberagaman di dalamnya justru menjadi kekayaan yang memberikan makna lebih dalam pada kehidupan bersama. Meskipun Toba dan Karo memiliki tradisi yang berbeda, keduanya tetap dapat saling mengisi dan memperkaya satu sama lain.
Menyebut “Karo Bukan Batak” tidak hanya melukai perasaan, tetapi juga mengabaikan kenyataan bahwa identitas Batak itu sendiri bersifat plural. Dari sinilah pentingnya untuk memaknai Batak bukan hanya sebagai sebuah kelompok etnis, tetapi sebagai sebuah rumah besar yang menampung segala perbedaan.
Lebih jauh lagi, dalam kajian sosiologi dan kebudayaan, penting untuk menekankan bahwa persatuan bukanlah homogenisasi, tetapi sebuah kekuatan yang terbangun dari keragaman. Setiap sub-etnis Batak memiliki karakteristik dan keunikan yang patut dihargai. Namun, persatuan tercipta ketika setiap elemen dalam masyarakat bisa saling menghormati dan saling mendukung, bukan untuk menyeragamkan.
Batak, dengan segala perbedaan yang ada, bisa menjadi contoh bagi Indonesia yang multikultural ini. Bukankah Indonesia sendiri dibangun dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika, yang mengajarkan bahwa meskipun berbeda, kita tetap satu?
Tali persaudaraan yang terbentuk dalam masyarakat Batak adalah bukti bahwa identitas yang kuat tidak perlu mengesampingkan perbedaan. Sebaliknya, identitas yang kokoh justru dapat mengakomodasi keberagaman dan membentuk jalinan yang lebih erat antar sesama.
Dalam masyarakat Batak, perbedaan tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai bagian dari kesatuan yang harus dijaga dan diperkuat. Tali persaudaraan ini adalah modal sosial yang sangat penting untuk menjaga keharmonisan, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dalam konteks yang lebih luas.
Pada akhirnya, Batak sebagai rumah bersama mengajarkan kita tentang pentingnya merajut persaudaraan dalam keberagaman. Jika masyarakat Batak bisa menjaga tali persaudaraan ini dengan baik, bukan tidak mungkin jika konsep ini bisa diadopsi oleh banyak komunitas lainnya di Indonesia. Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, persaudaraan yang didasari oleh rasa saling menghormati dan mendukung adalah kunci untuk menciptakan harmoni sosial yang sesungguhnya.
Keberagaman tidak hanya mengajarkan kita tentang perbedaan, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa hidup berdampingan dalam suasana yang penuh saling pengertian dan kebijaksanaan. Batak, dengan semua sub-etnisnya, dapat menjadi contoh terbaik tentang bagaimana keberagaman yang dikelola dengan baik bisa menjadi kekuatan besar.
Jadi, saat kita menghadapi tantangan tentang identitas dan keberagaman, mari kita renungkan kembali prinsip Dalihan Na Tolu dan ingatlah bahwa rumah bersama adalah tempat di mana setiap perbedaan bisa dipersatukan dalam harmoni yang indah. Dalihan Na Tolu bukan hanya sebuah konsep adat, melainkan sebuah panggilan bagi kita semua untuk merajut persaudaraan yang kuat di tengah keberagaman. (Red/*)