spot_img
BerandaOpiniBatu Berkisah, Danau Bercerita, Geopark Toba dan Kebangkitan Kesadaran Ekologis Masyarakat Batak

Batu Berkisah, Danau Bercerita, Geopark Toba dan Kebangkitan Kesadaran Ekologis Masyarakat Batak

 

Oleh : Hery Buha Manalu

Di balik pemandangan memesona Geopark Kaldera Toba, yang membentang dari lembah danau purba hingga perbukitan vulkanik yang menjulang, tersimpan pesan-pesan ekologis yang sangat dalam. Namun pesan itu tidak selalu terucap dalam bahasa sains atau regulasi modern, melainkan dalam narasi adat, simbol batu, dan ritus budaya yang hidup dalam masyarakat Batak. Kesadaran ekologis, yang kini menjadi isu global, sesungguhnya telah lama hadir dalam kearifan lokal Batak. Hanya saja, ia berbicara dengan bahasa leluhur.

Dalam konteks masyarakat Batak, menjaga alam bukan semata tindakan ekologis, melainkan bagian dari menjaga habonaran (kebenaran), hamoraon (kemakmuran), dan hasangapon (kehormatan). Alam adalah bagian dari struktur moral dan spiritual. Danau Toba disebut sebagai tao na marsihaholongan, air dan danau yang menghidupi. Manifestasi keakraban saling menghargai dan memeluk dalam dekapan cinta kasih sayang antara manusia, alam dan Sang Pencipta. Hutan disebut parlindungan, tempat perlindungan dan pemurnian. Batu dianggap sebagai tempat bermukimnya arwah leluhur atau simbol kehadiran roh pelindung. Inilah ekologi dalam bahasa lokal: bukan “pelestarian” dalam arti teknokratis, melainkan pangurup, menolong dalam kehidupan manusia dan cara hidup yang menghormati tanah sebagai pemberi hidup.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Simbol seperti batu hobon atau tugu marga bukan hanya benda sakral, tetapi wahana transmisi kesadaran ekologis. Mereka mengajarkan generasi muda untuk “mengingat” leluhur, dan dengan itu, menghargai tanah tempat leluhur itu berpijak. Tugu tidak dibangun sembarangan. Ia didirikan berdasarkan perhitungan spiritual, mengikuti aliran angin, menghadap danau atau gunung, dan ditanam di tanah yang dianggap bermakna dan punya nilai khusus dalam.sebuah komunitas, sakral, historis dan diyakini suci. Ini adalah bagian dari relasi ekologis yang mendalam antara manusia, ruang, dan waktu.

Sayangnya, dalam arus modernisasi dan pariwisata yang kian masif, banyak nilai lokal itu tergerus. Batu menjadi sekadar objek wisata, danau menjadi latar swafoto, dan tugu dilihat hanya sebagai artefak budaya. Padahal, di balik itu semua, terdapat sistem pengetahuan yang bisa menjadi fondasi bagi kesadaran ekologis yang kontekstual dan tahan krisis.

Maka, membangun kesadaran ekologis dalam masyarakat Batak tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan luar, seperti kampanye plastik atau peraturan pemerintah. Perlu pendekatan dalihan na tolu, menghidupkan kembali sistem nilai kekeluargaan, di mana hubungan dengan sesama (dongan tubu), dengan tanah (tanah tumpuan), dan dengan leluhur (sahala) dan kharisma menjadi utuh kembali.

Sosialisasi ekologi bisa dimulai dari ritus adat, saat mangalahat horbo, berbicara tentang keseimbangan alam. Saat marsialap ari, berbicara tentang peralihan musim dan siklus tanah. Bahkan dalam ungkap budaya seperti “Tano do hamoraon ni hasangapon” (Tanah adalah sumber kemakmuran dan kehormatan), sudah terkandung ajaran pelestarian lingkungan yang sangat kuat.

Masyarakat Batak tidak bisa dipisahkan dari simbol. Maka, simbol itulah yang harus digunakan untuk menghidupkan kembali kesadaran ekologis. Jangan mengajarkan pelestarian lingkungan dalam bahasa asing, ajarkan lewat tugu, lewat batu, lewat ritual adat, karena di sanalah mereka merasa memiliki.

Geopark Kaldera Toba, dalam hal ini, bisa menjadi jembatan antara dunia modern dan dunia simbolik masyarakat Batak. Ia bisa menjadi ruang dialog, tempat generasi muda belajar geologi dan spiritualitas sekaligus. Ketika batu tak lagi hanya dilihat sebagai benda mati, tapi sebagai pewarta nilai, dan ketika danau dipahami bukan hanya sebagai air, tapi tao na marsahala, maka kesadaran ekologis akan tumbuh bukan karena instruksi, tapi karena keyakinan.

Geopark Toba harus menjadi ruang edukasi ekologis yang hidup, di mana cerita, nyanyian, dan simbol budaya Batak menjadi metode pendidikan yang menyatu. Kesadaran ekologis yang sejati tidak tumbuh dari larangan, tapi dari penghayatan. Di tanah Batak, penghayatan itu telah lama hidup. Kini saatnya membacanya kembali, dengan bahasa yang dimengerti masyarakatnya sendiri: bahasa batu, bahasa tugu, bahasa danau.

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini