Oleh : Hery Buha Manalu,
Pendidikan Kebencanaan Mendesak
Belajar dari angin dan air, Pendidikan Kebencanaan adalah hal yang mendesak. Sumatera Utara dikenal dengan keindahan alamnya, dari pegunungan Bukit Barisan, Danau Toba, hingga garis pantai yang panjang. Namun di balik kekayaan itu, Sumatera Utara juga menyimpan risiko bencana yang tinggi. Banjir, longsor, gempa bumi, kebakaran hutan, hingga cuaca ekstrem hampir setiap tahun menyapa wilayah ini. Kota besar seperti Medan pun tak luput dari ancaman banjir dan angin kencang akibat hujan ekstrem.
Belajar dari ancaman ini yang semakin kompleks seiring perubahan iklim. Musim menjadi tidak menentu, curah hujan semakin ekstrem, dan kejadian bencana makin sulit diprediksi. Sayangnya, tingkat kesiapsiagaan masyarakat belum sebanding dengan besarnya ancaman tersebut.
Peringatan Ada, Kesiapan Masih Rendah
Setiap kali potensi hujan lebat dan cuaca ekstrem meningkat, BMKG rutin mengeluarkan peringatan dini. Pemerintah daerah, termasuk melalui BPBD Medan, juga menyampaikan imbauan kewaspadaan. Namun di tingkat akar rumput, masih banyak warga yang belum benar-benar paham apa yang harus dilakukan saat bencana datang.

Banyak orang masih bereaksi secara spontan dan panik. Listrik tetap menyala saat banjir, jalur evakuasi tidak diketahui, dokumen penting tidak disiapkan, dan anak-anak dibiarkan kebingungan. Ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukan semata kurangnya informasi, tetapi lemahnya pendidikan kebencanaan yang sistematis dan berkelanjutan.
Makna Pendidikan Kebencanaan yang Sesungguhnya
Belajar dengan Pendidikan kebencanaan bukan sekadar pelajaran tentang jenis-jenis bencana. Ia adalah proses membentuk cara berpikir siaga dan sikap hidup waspada. Di dalamnya terdapat pengetahuan tentang, mengenali tanda-tanda awal bencana, menentukan jalur evakuasi dan titik kumpul, melakukan pertolongan pertama sederhana, mengamankan rumah dan lingkungan, mengelola kepanikan dan membangun solidaritas.
Dengan pendidikan kebencanaan, masyarakat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada bantuan, tetapi mampu menjadi penyelamat bagi dirinya sendiri dan orang lain dalam detik-detik krisis.
Sekolah dan Kampus sebagai Pusat Kesiapsiagaan
Sekolah adalah ruang paling strategis untuk menanamkan kesadaran kebencanaan sejak dini. Simulasi evakuasi, latihan pertolongan pertama, pengenalan peta rawan bencana, dan kebiasaan hidup bersih bisa menjadi bagian dari pembelajaran sehari-hari. Anak-anak yang terlatih tidak mudah panik, dan justru bisa menjadi pengingat bagi keluarganya di rumah.
Kampus memiliki peran yang tak kalah penting. Mahasiswa, terutama dari komunitas pecinta alam, relawan lingkungan, dan bidang ilmu kebumian, dapat menjadi motor edukasi kebencanaan di masyarakat. Melalui pengabdian kepada masyarakat, riset terapan, dan program sosial, kampus bisa mempertemukan ilmu pengetahuan dengan kebutuhan nyata warga.
Pendidikan Kebencanaan dan Kesadaran Lingkungan
Belajar dari bencana di Sumatera Utara, sangat berkaitan erat dengan degradasi lingkungan. Banjir dipicu oleh sungai yang tersumbat sampah dan rusaknya daerah resapan. Longsor dipercepat oleh penggundulan hutan dan pembangunan di lereng curam. Artinya, pendidikan kebencanaan harus berjalan seiring dengan pendidikan ekologis.
Masyarakat perlu belajar lagi, memahami bahwa membuang sampah sembarangan, menebang pohon tanpa kendali, dan mengabaikan tata ruang adalah bagian dari proses menghadirkan bencana. Dengan pendekatan ini, warga bukan hanya belajar “menyelamatkan diri”, tetapi juga “mencegah petaka”.
Pendidikan Kebencanaan Menjadi Gerakan Bersama
Pemuda adalah penggerak perubahan. Energi, idealisme, dan kreativitas mereka sangat dibutuhkan dalam menyebarluaskan literasi kebencanaan. Edukasi bisa dilakukan lewat pelatihan kampung, simulasi terbuka, diskusi publik, hingga gerakan sosial berbasis lingkungan.
Media juga memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran publik. Pemberitaan bencana seharusnya tidak hanya menyorot korban dan kerugian, tetapi juga mengedukasi masyarakat tentang sebab-musabab bencana, langkah pencegahan, dan panduan keselamatan. Ketika media menjalankan fungsi edukatif ini secara konsisten, literasi kebencanaan akan tumbuh lebih cepat.
Sumatera Utara tidak kekurangan potensi. Ia memiliki budaya gotong royong yang kuat, jaringan komunitas yang hidup, perguruan tinggi yang aktif, serta generasi muda yang kritis. Jika seluruh potensi ini disatukan dalam satu agenda besar pendidikan kebencanaan, maka ketangguhan wilayah ini bukanlah mimpi.
Pendidikan kebencanaan harus menjadi gerakan bersama, lintas sekolah, kampus, pemerintah, komunitas, dan media. Ia harus berjalan terus, bukan hanya saat bencana datang.
Bencana mungkin tak selalu bisa dicegah. Hujan akan tetap turun, angin akan tetap bertiup, dan bumi akan tetap bergerak. Namun yang bisa kita tentukan adalah seberapa siap kita menghadapinya. Pendidikan kebencanaan adalah investasi kemanusiaan jangka panjang. Ia tidak selalu terlihat hasilnya hari ini, tetapi kelak ia menentukan siapa yang selamat dan siapa yang menjadi korban.
Di sinilah Sumatera Utara sedang diuji, apakah kita akan terus menjadi wilayah yang reaktif terhadap bencana, atau bertransformasi menjadi masyarakat yang cerdas, siaga, dan tangguh menghadapi risiko. Pilihan itu ada pada kita semua, dan pendidikan adalah kuncinya. (Red/*)



