spot_img
BerandaKopiBukan Sekadar Minuman, Kopi Itu Bahasa Kehidupan

Bukan Sekadar Minuman, Kopi Itu Bahasa Kehidupan

Oleh: Septian Ado Hutahaean

Saya bukan barista. Saya juga bukan ahli cupping yang bisa menebak asal biji kopi dari satu tegukan. Tapi saya pencinta kopi, yang selalu merasa hidup jadi lebih manusiawi ketika menyeruput secangkir hangat di pagi hari. Bagi saya, bukan sekadar minuman. Ia adalah bahasa kehidupan yang sederhana, tapi dalam. Kadang pahit, kadang manis, tapi selalu jujur.

Setiap cangkir kopi menyimpan kisah panjang, dari tangan petani di lereng bukit, hingga pertemuan-pertemuan tak terduga di warung atau kafe kota. Ada peluh yang mengucur di ladang, ada aroma tanah basah dan embun pagi, ada harapan dalam setiap panen.

Tapi sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa kopi yang mereka minum pagi ini, adalah hasil kerja keras banyak tangan, yang seringkali tak dikenal dan tak dihargai.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Banyak orang memujanya sebagai tren gaya hidup, tapi lupa bahwa kopi juga bicara soal keadilan. Petaninya di pelosok negeri sering menerima harga paling kecil dari rantai bisnis yang begitu panjang.

Mereka yang menanam dan merawat pohon dengan cinta, justru kerap mendapat bagian paling pahit. Ironis, bukan?

Tapi di balik semua itu, minuman tetap menyatukan kita. Di tengah percakapan politik yang gaduh, perbedaan agama, atau perdebatan identitas yang melelahkan, secangkir saja sering jadi jembatan. Ia menghadirkan ruang pertemuan.

Di warung-warung pinggir jalan, orang bisa tertawa meski beda pilihan. Di kafe-kafe kecil, banyak ide besar lahir. Bahkan dalam kesendirian, tetap setia menemani, menjadi teman sunyi yang hangat, menjadi pengingat bahwa hidup harus terus dijalani meski terasa pahit.

Kopi adalah cermin. Ia mengajarkan kita menikmati hidup apa adanya. Tidak semua harus manis. Ada kepahitan yang justru menyadarkan, ada kehangatan yang tak bisa dibeli, hanya bisa dirasa.

Dan mungkin itu sebabnya, saya selalu kembali. Bukan karena kafeinnya, tapi karena kejujurannya.

Jadi, lain kali saat kamu duduk dengan secangkirnya, cobalah perlambat waktu. Hirup aromanya. Rasakan getirnya. Dan pikirkan, siapa yang menanam biji ini?

Apa yang sudah dilalui sebelum ini tiba di tanganmu? Dari sana, kamu mungkin akan menemukan bahwa minuman ini tak hanya menghilangkan kantuk, tapi juga membangunkan nurani. (Hery Buha Manalu)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini