spot_img
BerandaAkademikaCatatan untuk Banjir Bandang Parapat

Catatan untuk Banjir Bandang Parapat

Oleh : Hery Buha Manalu

Bencana banjir bandang yang melanda Parapat pada Minggu (16/3/2025) menjadi peringatan serius bagi keberlangsungan ekosistem Danau Toba. Kota wisata yang biasanya menjadi destinasi utama wisatawan kini lumpuh, tertutup lumpur dan puing-puing akibat luapan Sungai Batu Gaga. Hujan deras selama empat jam menyebabkan air sungai meluap, membawa material lumpur dan bebatuan yang menghantam rumah warga, toko, hingga fasilitas umum seperti RSUD Parapat dan Polsek Parapat.

Dampak yang ditimbulkan tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga mengguncang psikologis masyarakat. Sebanyak 140 kepala keluarga terdampak, dengan 12 rumah mengalami kerusakan berat. Kota yang biasanya ramai dengan wisatawan berubah menjadi kawasan penuh lumpur dan reruntuhan. Tidak hanya itu, jalur transportasi terputus, aktivitas ekonomi lumpuh, dan warga terpaksa mengungsi dalam kondisi darurat.

Dalam konferensi pers yang digelar di HKBP Parapat sehari setelah kejadian, Ephorus HKBP, Victor Tinambunan, menegaskan bahwa bencana ini bukan sekadar fenomena alam biasa. “Banjir ini bukan yang pertama, tapi salah satu yang terparah dalam sejarah Parapat. Ini bukan ujian Tuhan, tetapi akibat ulah manusia yang merusak lingkungan,” ujarnya tegas.

Pernyataan ini seharusnya menggugah kesadaran semua pihak bahwa krisis lingkungan di Danau Toba sudah berada di titik yang mengkhawatirkan. Banjir bandang ini bukanlah kejadian acak, tetapi akumulasi dari praktik eksploitasi alam yang terus berlangsung tanpa kontrol.

Salah satu penyebab utama banjir bandang ini adalah perubahan drastis pada kondisi hutan di sekitar Danau Toba. Dulu, kawasan ini dikenal memiliki tutupan hutan yang lebat, berfungsi sebagai penyangga ekosistem yang melindungi daerah sekitarnya dari risiko bencana alam. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, perambahan hutan semakin tidak terkendali.

Kondisi hutan kita sudah sangat jauh berbeda. Perambahan terjadi di mana-mana, eksploitasi terus berlangsung tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan, penebangan kayu ilegal, hingga proyek pembangunan yang tidak berbasis lingkungan telah merusak keseimbangan ekologi kawasan Danau Toba.

Ketika pohon-pohon ditebang tanpa reboisasi yang memadai, tanah kehilangan daya serapnya. Hujan yang seharusnya terserap oleh akar-akar pohon kini langsung mengalir deras ke sungai, membawa serta tanah, lumpur, dan batu.

Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh warga Parapat. Jika kerusakan lingkungan ini terus berlangsung, maka seluruh kawasan Danau Toba berisiko mengalami bencana serupa di masa mendatang.

Air danau akan semakin tercemar oleh sedimentasi yang berlebihan, ekosistem perairan akan terganggu, dan potensi wisata yang menjadi andalan daerah ini bisa hancur dalam waktu singkat.

HKBP dan Gerakan Keadilan Ekologis

Sebagai institusi keagamaan yang memiliki peran besar di tengah masyarakat Batak, HKBP menyadari bahwa tanggung jawab gereja tidak hanya sebatas pada aspek spiritual, tetapi juga dalam perjuangan sosial dan ekologis. Gereja harus menjadi suara profetik yang memperjuangkan keadilan ekologis bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Victor Tinambunan menyebutkan HKBP tidak hanya berbicara soal spiritualitas, tetapi juga tentang kehidupan yang lebih luas, termasuk lingkungan. Jika alam rusak, manusia akan menderita.

HKBP berencana melakukan riset dan pengumpulan data terkait dampak perusakan lingkungan di kawasan Danau Toba. Data ini akan menjadi dasar bagi upaya advokasi yang lebih luas, mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk mengambil tindakan nyata dalam menjaga ekosistem kawasan ini.

Selain itu, HKBP juga menyoroti empat ancaman besar yang harus diperangi bersama, yaitu narkoba, judi, perdagangan manusia, dan bencana ekologis akibat perusakan alam. Keempat isu ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dalam memengaruhi kehidupan sosial masyarakat Batak.

Seruan untuk Aksi Nyata

Banjir bandang di Parapat bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Bencana ini adalah bagian dari pola krisis ekologis yang semakin nyata di kawasan Danau Toba. Jika tidak ada tindakan konkret untuk menyelamatkan lingkungan, bencana serupa akan terus berulang dengan skala yang semakin besar.

Oleh karena itu, semua pihak harus berperan aktif dalam mengembalikan keseimbangan ekologis kawasan ini. Beberapa langkah strategis yang harus segera dilakukan meliputi:

1. Rehabilitasi Hutan
Kawasan yang telah mengalami deforestasi harus segera direboisasi. Program penghijauan harus menjadi prioritas, melibatkan komunitas lokal, lembaga agama, dan pemerintah.

2. Penegakan Hukum terhadap Perusakan Lingkungan
Pemerintah harus tegas dalam menindak perambahan hutan ilegal dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Regulasi lingkungan harus ditegakkan tanpa kompromi.

3. Pendidikan dan Kesadaran Ekologis
Masyarakat harus diberi pemahaman yang lebih luas mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Pendidikan ekologi harus masuk ke dalam kurikulum sekolah dan menjadi bagian dari pembelajaran di komunitas keagamaan.

4. Kebijakan Pembangunan Berbasis Lingkungan
Semua proyek pembangunan di sekitar Danau Toba harus memperhitungkan aspek lingkungan. Analisis dampak lingkungan harus menjadi syarat utama sebelum proyek dimulai.

Kita berharap bersama HKBP,  dan seluruh gereja di kawasan pinggiran Danau Toba, bahwa bencana ini menjadi momentum kebangkitan kesadaran ekologis di tengah masyarakat. Menyelamatkan Danau Toba bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi kewajiban bersama demi masa depan yang lebih baik.

Jangan biarkan kita menjadi generasi yang mewariskan kehancuran. Saatnya kita bertindak. Banjir Parapat adalah peringatan keras. Jika kita tidak berubah, bencana yang lebih besar sedang menunggu di depan mata.

Penulis adalah Anggota Luar Biasa Mahatala HKBP Nommensen Medan

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini