Kopi Times – Krisis iklim adalah masalah global, tetapi solusi bisa dimulai dari hal paling lokal. Menenun ulos dengan bahan alami atau menanam kopi tanpa merusak hutan adalah bentuk kontribusi nyata untuk bumi. Ketika ribuan pelaku lokal melakukan praktik hijau secara konsisten, dampaknya bukan hanya ekonomi, tetapi juga ekologis dan sosial.
Inilah yang disebut ekonomi hijau berbasis budaya: sebuah pendekatan yang menyatukan pelestarian lingkungan, penguatan ekonomi lokal, dan penghormatan terhadap identitas.
Bank Indonesia, sebagai institusi yang turut mendorong ekonomi kreatif dan UMKM berkelanjutan, telah berperan melalui berbagai program seperti pelatihan digitalisasi, fasilitasi promosi produk hijau dalam pameran nasional (KKSU), serta riset potensi ekonomi hijau berbasis lokalitas.
Tantangan dan Peluang, Jalan Hijau yang Perlu Diratakan
Tentu, jalan menuju hal ini tidak bebas hambatan. Tantangannya meliputi rendahnya literasi keberlanjutan, keterbatasan akses teknologi hijau, hingga mindset pasar yang masih belum sepenuhnya peduli pada keberlanjutan. Namun, peluang jauh lebih besar.
Dengan dukungan kolaboratif antara pemerintah daerah, lembaga keuangan, perguruan tinggi, komunitas kreatif, dan media, Sumatera Utara bisa menjadi role model provinsi dengan pertumbuhan yang tidak merusak lingkungan dan justru memperkuat warisan budaya.
Menutup Benang, Membuka Harapan
Ulos dan kopi, dua identitas Sumut yang selama ini dikenal dalam ranah tradisional, kini punya makna baru: sebagai simbol transisi hijau yang berakar pada lokalitas. Ketika generasi muda menyambut warisan ini dengan semangat inovasi dan kepedulian lingkungan, masa depan ekonomi Sumut menjadi lebih cerah dan berkelanjutan.
Mari terus dorong, dukung, dan beri ruang bagi para penenun ulos muda, para petani kopi muda, dan semua pelaku kreatif hijau Sumatera Utara. Karena menyelamatkan bumi tidak selalu harus dimulai dari pabrik besar, kadang cukup dari secangkir kopi hangat dan selembar ulos yang ditenun dengan hati. (Hery Buha Manalu)