Oleh: Hery Buha Manalu
Di tengah derasnya arus globalisasi, generasi muda Batak menghadapi dilema identitas. Di satu sisi mereka terhubung dengan dunia melalui teknologi dan budaya populer global, di sisi lain mereka mewarisi satu kebudayaan yang kaya, luhur, dan penuh makna. Pertanyaannya, apakah mereka cukup punya ruang, motivasi, dan keberanian untuk merawat dan menghidupi warisan budaya Batak?
Pertanyaan ini menjadi pokok pembahasan dalam forum Ngobrol Budaya untuk Pariwisata yang diadakan di Huta Art Space, Siborongborong, pada Sabtu, 5 April 2025. Dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dari tiga kabupaten sekitar Danau Toba Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, dan Toba), forum ini menjadi ruang reflektif dan dialog lintas generasi. Salah satu keresahan yang muncul adalah kenyataan bahwa generasi muda Batak makin menjauh dari akar budayanya.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Di banyak tempat, nilai-nilai Batak yang dulu dijunjung tinggi seperti Dalihan Na Tolu, marsirimpa, hingga ritual manortor semakin terpinggirkan oleh gaya hidup serba cepat dan individualistik. Bahasa Batak mulai jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Upacara adat makin sering disederhanakan, bahkan diabaikan. Ironisnya, ini sering terjadi justru di tengah upaya memajukan pariwisata berbasis budaya.
Generasi muda, terutama yang lahir dan besar di kota, kerap kali merasa asing dengan identitas Bataknya sendiri. Banyak dari mereka lebih fasih bicara tentang budaya Korea atau Barat dibanding sejarah nenek moyangnya. Ini bukan salah mereka semata. Ketidakhadiran ruang yang ramah dan kreatif bagi anak muda untuk mengenal, mencintai, dan menghidupi budayanya menjadi salah satu penyebab utamanya.
Huta Art Space menjadi oase di tengah kekeringan tersebut. Dalam forum tersebut, para peserta sepakat bahwa upaya merawat budaya Batak tidak bisa hanya bertumpu pada nostalgia atau pelestarian simbolik. Budaya harus dihidupi, dipraktikkan, dan dimaknai ulang oleh generasi yang hidup hari ini. Dan generasi muda harus menjadi pelaku utamanya, bukan sekadar penonton atau pewaris pasif.
Edward Tigor Siahaan, pendiri Piltik Coffee dan penggagas Huta Art Space, menyampaikan pandangannya bahwa generasi muda Batak harus diberi ruang yang kontekstual ruang di mana mereka bisa berekspresi, belajar, dan menciptakan hal baru dengan tetap berakar pada nilai Batak. “Kalau kita ingin anak muda mencintai budayanya, kita harus undang mereka ke meja dialog, bukan hanya suruh ikut ritual,” ujarnya.
Di forum tersebut, muncul ide-ide konkret untuk menghidupkan kembali semangat budaya di kalangan muda. Misalnya, menyelenggarakan workshop musik tradisi, pelatihan manortor kreatif, diskusi sastra Batak kontemporer, atau residensi seni untuk pelajar dan mahasiswa. Semua itu diarahkan agar generasi muda tidak hanya “menonton” budaya, tetapi menjadi bagian aktif di dalamnya.
Deni Sihombing, Wakil Bupati Tapanuli Utara, juga menekankan pentingnya kemitraan antara pemerintah daerah, komunitas budaya, dan dunia pendidikan. Menurutnya, revitalisasi budaya tidak bisa berhasil tanpa dukungan kebijakan yang berpihak pada penguatan identitas lokal. Ia mengajak seluruh elemen, termasuk para pendidik dan rohaniwan, untuk bersama-sama mendorong kesadaran budaya di tengah masyarakat.
Penulis sependapat bahwa keterlibatan generasi muda dalam budaya bukan hanya persoalan pewarisan, tetapi juga spiritualitas. Dalam budaya Batak, kehidupan bukan sekadar dijalani, tapi dirayakan. Nilai-nilai seperti masipature hutana, marsiamin amin, dan mangaranto mengajarkan keterhubungan yang mendalam antara manusia, alam, leluhur, dan Tuhan.
Warisan Batak adalah warisan kebijaksanaan. Ia bukan sekadar kumpulan upacara dan simbol, tetapi cara hidup yang menghormati martabat manusia dan kesucian relasi sosial. Mengajarkan budaya Batak pada generasi muda adalah juga mengajarkan mereka untuk menjadi manusia utuh yang tahu dari mana mereka berasal, dan ke mana mereka hendak berjalan.
Kini tantangannya adalah bagaimana merumuskan ulang narasi budaya Batak agar dapat dipahami, diterima, dan dihidupi oleh anak muda. Narasi itu harus bersifat dialogis dan relevan dengan konteks kekinian tidak kaku, tidak menggurui, dan tidak eksklusif. Sebaliknya, ia harus menyapa, merangkul, dan menginspirasi.
Huta Art Space memberi kita contoh bahwa merawat warisan bukan soal memfosilkan masa lalu, tetapi membuka kemungkinan baru untuk masa depan. Dengan pendekatan kreatif dan kolaboratif, warisan Batak dapat menjadi fondasi kuat untuk membangun identitas generasi muda yang bangga, terbuka, dan berdaya.
Dari gerakan seperti inilah semuanya bisa dimulai dari satu gerakan kecil, dari satu percakapan hangat, dari satu ruang yang percaya bahwa warisan Batak masih sangat layak dihidupi. Dan generasi muda adalah harapan terbaik untuk itu.