Oleh : Hery Buha Manalu, Materi Mata Kuliah Soft Skill Kemampuan Berkomunikasi di Sekolah dan Soft Skill Keterampilan Berbasis Kearifan Lokal. (Bagian 8)
Gereja tidak boleh jauh dari jemaat, aksi damai ribuan pendeta, pastor, rohaniawan, dan masyarakat adat yang memenuhi halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara baru-baru ini menjadi momen penting dalam sejarah moral gereja di Tanah Batak. Mereka datang membawa doa, ulos, seruan keadilan, dan jeritan ekologis yang selama puluhan tahun menggema namun sering tak terdengar.
Tuntutan penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) bukan semata tuntutan politis, tetapi seruan dari hati terdalam sebuah komunitas yang tanahnya digerus, hutannya ditebang, dan Danau Toba, ikon spiritual dan ekologis Batak, terus terancam.
Di sinilah menunjukkan wajah aslinya, gereja yang tidak berjarak dari umat, dan turut merasakan penderitaan masyarakat, dan gereja yang berani turun ke jalan demi kebenaran. Tradisi Kristen sejak awal tidak pernah memisahkan iman dari realitas penderitaan manusia.

Yesus sendiri hadir di tengah orang miskin, tertindas, dan tersingkir. Maka ketika tanah adat dilukai dan kehidupan masyarakat terancam, tidak punya pilihan lain kecuali hadir, bersuara, dan berdiri bersama umat.
Budaya Batak menempatkan tanah sebagai bagian dari identitas. Tano bukan sekadar lahan, tetapi simbol eksistensi generasi, tempat kehidupan terikat dengan leluhur dan Allah. Kerusakan tanah berarti kerusakan sosial dan spiritual.
Ketika tanah dieksploitasi, budaya dilukai, ketika budaya dilukai, martabat manusia ikut hancur. Karena itu keterlibatan rohaniawan dalam aksi damai bukanlah tindakan politis semata, tetapi tindakan budaya dan teologis yang sangat mendasar melindungi kehidupan.
Namun, aksi ini juga menyodorkan pertanyaan menyerempet, Apakah selama ini sudah cukup mendengar penderitaan umat? Atau justru terlalu nyaman di balik tembok gedung ibadah?
Hanya sibuk mengurus liturgi dan doktrin tanpa menyentuh realitas ekologis dan sosial umatnya adalah yang kehilangan suaranya. Harus mengingat bahwa keheningan di hadapan ketidakadilan adalah bentuk lain dari kekerasan.
Di tengah krisis ekologi kawasan Danau Toba, supaya dipanggil kembali kepada peran profetisnya, menegur, mengingatkan, dan menyuarakan kebenaran.
Maka tidak boleh tunduk pada tekanan politik maupun ekonomi. Keberpihakan gereja harus jelas, kepada kehidupan, kepada bumi, kepada masyarakat yang tertindas.
Di sinilah Pendidikan Agama Kristen (PAK) memainkan peran strategis. PAK tidak boleh hanya mengajarkan ayat Alkitab secara teoritis, tetapi juga menanamkan kepekaan terhadap tanah leluhur, kearifan lokal, dan penderitaan ekologis yang terjadi.
Mahasiswa teologi harus diajar memandang tanah sebagai anugerah dan tanggung jawab, bukan sebagai objek eksploitasi. Mereka harus memahami bahwa iman bukan hanya soal doa, tetapi juga tindakan, bukan hanya menyentuh langit, tetapi juga menyentuh tanah.
Aksi damai para rohaniawan di Sumatera Utara menegaskan bahwa pada masa kini harus menjadi gereja yang terlibat. Berdiri bersama masyarakat adat yang kehilangan ruang hidupnya, bersama petani yang kehilangan tanahnya, bersama Danau Toba yang kehilangan kejernihannya. Kehadiran gereja di jalanan adalah simbol bahwa keadilan tidak bisa lagi hanya dikhotbahkan, ia harus diperjuangkan.
Kini saatnya gereja di Tanah Batak, dan di seluruh Indonesia, menyadari bahwa penderitaan umat adalah panggilan pelayanan. Ketika umat menangis, gereja harus ada di sana. Ketika tanah merintih, gereja harus bersuara. Ketika lingkungan dirusak, gereja harus berdiri di garis depan pembelaan.
Gereja yang sejati tidak membangun jarak dari luka umat. Tapiberjalan bersama, menghadapinya, dan berjuang demi pemulihannya. Sebab dalam penderitaan umat, wajah Kristus sendiri hadir, menunggu gereja untuk menjawab,
Apakah engkau ada di sisiku? (Red/*)



