Manganjab merupakan salah satu ritual menghormati alam, terutama dalam kaitan pertanian di Nagori Sihaporas Simalungun |
Manganjab, Ritual Menghormati Alam Marga Ambarita di Simalungun
Editor : Hery B Manalu
By : Thompson Hs
Kopi-times.com – Salah satu kegiatan Celender of event Lake Toba “Manganjab”.
Manganjab merupakan salah satu ritual menghormati alam, terutama dalam kaitan pertanian di Nagori Sihaporas Simalungun.
Ritual manganjab dilakukan sebagai amanah dari Ompu Mamontang Laut, perintis perkampungan awal Sihaporas Bolon kepada keturunannya.
Ompu Mamontang Laut bermarga Ambarita dan generasi kedelapan dari garis Siraja Batak. Dua desa di Sihaporas secara konsiten masih melakukan ritual itu, yakni Lumban Ambarita Sihaporas (33 keluarga) dan Sihaporas Aek Batu (40 keluarga).
Tujuan ritual itu agar hasil pertanian bagus dan jauh dari gangguan roh melalui hewan-hewan seperti monyet, babi hutan, dan lain-lain. Saat ini penduduk kedua desa menggunakan lahan kering untuk berbagai tanaman, termasuk padi, jagung, jahe, dan cabe.
Pelaksanaan ritual ini ditentukan berdasarkan kalender Batak di hari sihori purasa dan disesuaikan pada bulan Mei dalam kalender Masehi.
Persiapan ritual dan pembagian kerja dimulai pada pukul 06.00 pagi di dua tempat; di samping rumah induk (parsantian) dan areal tempat ritual di Dolok Saidoan. Sebelum pukul 11.00 semua persiapan hingga prosesi ke area tempat ritual harus terlaksana bersamaan dengan doa-doa (tonggotonggo) yang segera dipanjatkan.
Dalam prosesi seekor kambing kurban digiring dengan bawaan beberapa persembahan lainnya. Rangkaian ritual dilaksanakan sampai pukul 15.00. Kurban dan persembahan itu akan ditujukan kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan Pencipta Langit dan Bumi), Raja Uti dan Sisingamangaraja, Naga-naga ni Sombaon dari empat penjuru desa dan delapan penjuru angin, kepada Mamontang laut, dan ruh penggembala semua jenis tumbuhan dan tanaman.
Setelah kurban dan persembahan diarahkan ke masing-masing tujuan, di area terbuka itu dilakukan makan bersama sitompion dan itak (tepung beras tumbuk dengan campurannya) serta nasi. Baru diakhiri dengan pembagian bungkusan sitompion ke masing-masing penggarap tanah untuk dipersembahkan ke lahan pertanian masing-masing dengan materi-materi lainnya yang tercampur sebagai tawar.
Tawar ini menjadi “ruma tondi” untuk semua tanaman yang akan berhasil untuk dipanen kemudian. Ritual dilengkapi dengan masa pause (robu) seminggu sebelum dan sesudah hari pelaksanaannya.
Pusaka warisan Ompu Mamontang Laut seperti piso tumbuk lada dan pinggan pasu digunakan dalam kaitan ritual. Satu bentuk makanan mentah yang disebut bogar dihamparkan di sebuah tampi yang terletak dekat meja ritual (langgatan) yang dihiasi dengan janur kuning (maremare).
Kurban kambing setelah ritual dibagikan kepada induk marga Isumbaon. Sebaliknya suatu saat kalau garis Isumbaon melakukan ritual yang serupa, kurban dibagikan kepada induk marga marga Ilontungon. Prinsip itu dikenal dengan sebutan sitariparon (yang diseberangkan).***
Thompson Hs, Penulis dan Sutradara, Aktif dan menghidupkan kembali Opera Batak, Direktur Artistik PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)