Gambar Ilustrasi
Foto : Hery B Manalu/Kopi-times.com
Editor : Hery B Manalu
Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Kopi-times.com-Bercermin dari gelombang unjuk rasa (Unras) atau demonstrasi marak terjadi pasca reformasi, khususnya tiga (3) tahun belakangan sungguh amat sangat memprihatinkan, mengecewakan, dan menjengkelkan serta memuakkan bagi masyarakat berpikiran cerdas dan berhati jernih.
Hal itu, berkaitan erat dengan berbagai tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan, baik terhadap pengunjuk rasa atau demonstran maupun terhadap Aparat Kepolisian RI, TNI.
Bila terjadi tindakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa atau demonstran anarhis, barbar, dajjal dan biadab semua berteriak keras dan lantang menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap tindakan aparat keamanan.
Tetapi jika tindakan kekerasan dilakukan pengunjuk rasa atau demonstran anarhis, barbar, dajjal dan biadab ditujukan terhadap pihak aparat keamanan (Kepolisian RI-TNI) tidak ada pembelaan publik sekalipun telah merenggut nyawa aparat keamanan.
Yang menjadi pertanyaan ialah Apakah Aparat Keamanan (Kepolisian RI-TNI) memiliki hak asasi manusia (HAM). Apakah pengunjuk rasa atau demonstran anarhis, barbar, dajjal dan biadab tidak boleh ditindak tegas atas alasan hak asasi manusia (HAM) sekalipun telah menghilangkan nyawa Aparat Keamanan.
Pertanyaan ini merupakan potret nyata berbagai statemen penggiat hak asasi manusia (HAM) serta berbagai pakar yang terkesan subyektif tendensius memberi komentar dan penilaian terhadap penanganan dan pengendalian unjuk rasa atau demonstrasi yang melanggar hukum akhir-akhir ini.
Konsideran Menimbang huruf c Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dengan tegas dikatakan, “Selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Demikian juga konsideran Menimbang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, selengkapnya berbunyi; a. bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia; b. bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; c. bahwa untuk membangun negara demokratis yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib, dan damai; d. bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e…..dst.
Kekeliruan besar dan sesat pikir tentang hak asasi manusia (HAM) ialah penonjolan hak di satu sisi, menafikan kewajiban di sisi lain. Padahal hak tanpa kewajiban adalah liar dan biadab serta pelanggaran akut dan fatal terhadap hak asasi manusia (HAM) itu sendiri.
Menuntut hak mengingkari dan mengabaikan kewajiban adalah tindakan tak bertanggungjawab, melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fenomena penonjolan hak mengingkari dan mengabaikan kewajiban diera reformasi menjadikan segala tindakan menuntut hak melalui gerakan unjuk rasa atau demonstrasi memaksakan kehendak termasuk melakukan tindakan anarhis, barbarian, dajjal serta tindakan biadab lainnya sepertinya dilegalkan dengan alasan hak asasi manusia merampas hak asasi manusia lainnya.
Ketika pengertian, pemahaman keliru dan menyesatkan ini mendapat dukungan dan pembelaan dari penggiat hak asasi manusia serta pakar-pakar intelektual lainnya, maka unjuk rasa atau demonstrasi anarhis, barbarian, dajjal dan biadab seolah-oleh mendapat justifikasi bagi para perusuh bertindak biadab.
Hak asasi manusia tak terbatas adalah sebuah tindakan kejahatan kemanusiaan yang menonjolkan naluri kebinatangan berbuat biadab. Hak asasi manusia seseorang tidak terlepas dari kewajibannya terhadap hak asasi manusia lainnya.
Karena itu, hak asasi manusia sesungguhnya bersifat limitatif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik diatur tujuan pada pasal 3, Hak dan Kewajiban diatur pada pasal 4 s/d 16, dan informasi dikecualikan pada pasal 17 s/d 20. Undang-undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers diatur hak dan kewajiban jelas, terang-benderang agar tidak liar dan bebas tak terbatas.
Semua peraturan perundang-undangan mengatur hak dan kewajiban. Tapi yang lebih ditonjolkan selalu tentang hak. Sementara kewajiban selaludikesampingkan, bahkan diingkari dan diabaikan. Padahal, hak tanpa kewajiban adalah hak asasi manusia melanggar hak asasi manusia yang lain.
Inilah salah satu yang perlu disadari setiap orang terhadap hak asasi manusia agar dalam menuntut haknya tidak melanggar hak asasi manusia yang lain. Ingat Kepolisian RI dan TNI serta aparat penegak hukum lainnya juga mempunyai hak asasi manusia (HAM). Bukan hanya pengunjuk rasa atau demonstran, apakah itu mahasiswa, pelajar, tokoh agama, buruh, atau apapun namanya. Siapapun melanggar hukum harus ditindak tegas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (***)
Medan, 3 Oktober 2019.
Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Penasehat Dewan Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPC ISRI) Kota Medan.