spot_img
BerandaOpiniHari Ibu dan Pertiwi yang Dihianati

Hari Ibu dan Pertiwi yang Dihianati

Oleh : Hery Buha Manalu

Setiap Hari Ibu (22 Desember), kita sibuk merayakan kasih dan pengorbanan. Kita menulis puisi, memasang poster, dan mengucap terima kasih. Namun ada satu ibu yang selalu luput dari perayaan itu, Ibu Pertiwi. Ia tidak pernah kita beri bunga. Justru tubuhnya kita lukai, tanahnya kita gali, hutannya kita habisi, dan airnya kita cemari. Semua dilakukan atas nama pembangunan.

Ibu Pertiwi hari ini bukan sekadar metafora. Ia hadir nyata dalam banjir yang menenggelamkan kota, longsor yang merenggut nyawa, kekeringan yang memukul petani, dan krisis pangan yang kian mengintai. Ini bukan bencana alam. Ini akibat kebijakan dan keserakahan manusia. Alam tidak tiba-tiba rusak. Ia dirusak.

Hari Ibu, Ibu Pertiwi yang Dihianati
Hari Ibu, Ibu Pertiwi yang Dihianati, Negara dan korporasi gemar menyebut perusakan ini sebagai risiko pembangunan/foto : ist

Negara dan korporasi gemar menyebut perusakan ini sebagai risiko pembangunan. Padahal, yang terjadi adalah pembiaran sistematis. Hutan dibuka tanpa kendali, tambang dilegalkan di kawasan rentan, sungai dijadikan tempat buangan. Ketika bencana datang, rakyat disuruh “bersabar”. Ibu Pertiwi diperkosa, lalu disalahkan karena menjerit.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Hari Ibu seharusnya menjadi momen bercermin. Jika ibu adalah simbol kehidupan, mengapa kita membiarkan kehidupan dirusak? Mengapa tanah diperlakukan seperti aset mati, bukan ruang hidup? Mengapa ekologi selalu kalah oleh logika investasi? Pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul dalam pidato perayaan. Terlalu politis, katanya. Padahal justru di situlah intinya.

Pembangunan yang memusuhi ekologi adalah pembangunan tanpa nurani. Ia menguntungkan segelintir orang, tetapi mewariskan bencana bagi generasi berikutnya. Anak-anak hari ini akan tumbuh di tengah krisis air, pangan, dan iklim. Mereka akan menanggung biaya dari keputusan yang tidak mereka buat. Inilah bentuk ketidakadilan antargenerasi.

Kearifan lokal Nusantara sejak lama mengajarkan batas. Tanah tidak boleh diperas sampai mati. Hutan tidak boleh dihabisi sekaligus. Alam diperlakukan sebagai ibu, dihormati, bukan ditaklukkan. Sayangnya, nilai ini kalah oleh tafsir kemajuan yang sempit, selama ada keuntungan, kerusakan bisa dinegosiasikan.

Merayakan Hari Ibu tanpa keberpihakan pada ekologi hanyalah kemunafikan kolektif. Kita memuliakan ibu di rumah, tetapi membiarkan ibu bersama dihancurkan di luar sana. Kita menangis atas penderitaan ibu, tetapi menutup mata pada penderitaan bumi. Ini ironi yang terlalu lama dibiarkan.

Ibu Pertiwi bukan properti. Ia bukan komoditas, bukan angka dalam laporan ekonomi. Ia adalah dasar kehidupan. Jika ia runtuh, tidak ada pembangunan yang bisa berdiri. Negara, gereja, dan masyarakat sipil seharusnya berdiri di barisan yang samasama, menghentikan perusakan, memulihkan ekologi, dan menata ulang arah pembangunan.

Hari Ibu mestinya menjadi hari keberanian. Keberanian mengatakan cukup pada keserakahan. Keberanian menolak proyek yang merusak ruang hidup. Keberanian berpihak pada kehidupan, bukan keuntungan jangka pendek. Jika tidak, perayaan Hari Ibu hanya akan menjadi upacara kosong sementara Ibu Pertiwi dihianati terus berdarah dalam diam. (Red/*)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini