Setiap tanggal 5 Juni, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, sebuah momentum reflektif yang seharusnya bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan panggilan mendesak untuk bertindak bersama demi bumi yang kian menderita.
Tahun 2025 ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Republik Indonesia mengajak kita semua terlibat dalam gerakan nasional “Apel Bersama dan Aksi Bersih Sampah Plastik.” Ini bukan sekadar ajakan bersih-bersih, tapi sebuah gerakan kolektif untuk menyelamatkan lingkungan dari krisis yang nyata, polusi plastik.
Tema global tahun ini, “Ending Plastic Pollution” atau “Hentikan Polusi Plastik”, bukanlah jargon kosong. Tema ini adalah seruan moral dan ekologis atas kenyataan pahit yang kita hadapi, bumi kita perlahan tenggelam dalam lautan sampah plastik yang tak terurai.
Plastik, benda yang kita anggap remeh karena murah dan praktis, justru menjadi racun laten bagi kehidupan. Ia mengotori sungai, mencemari laut, menyumbat selokan, membunuh satwa, merusak tanah, bahkan menyusup ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Krisis ini sudah sedemikian parah, dan jika kita tetap pasif, bukan hanya lingkungan yang akan musnah, kita pun ikut binasa.
Dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan sendiri betapa parahnya kerusakan yang ditimbulkan oleh sampah plastik. Dari gunungan sampah di kaki gunung hingga limbah plastik yang mengambang di sungai-sungai besar, semuanya menunjukkan satu hal, gaya hidup dan sistem produksi kita telah gagal menciptakan keseimbangan dengan alam.
Ironisnya, plastik adalah bahan yang diciptakan untuk mempermudah hidup manusia. Namun kenyataannya, plastik justru menciptakan krisis kemanusiaan dan ekologis baru. Menurut data UN Environment, setiap tahun lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi secara global.
Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 9% yang berhasil didaur ulang. Sisanya? Mengotori bumi selama ratusan tahun. Sementara Indonesia disebut sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar ke laut. Ini adalah fakta yang seharusnya menggugah rasa malu dan tanggung jawab kita bersama.
Oleh karena itu, gerakan Aksi Bersih Sampah Plastik bukanlah sekadar simbolik. Ini adalah langkah awal yang penting. Ketika kita membersihkan pantai, menyisir sungai, atau menyapu halaman sekolah dan pasar dari tumpukan plastik, kita sedang menunjukkan bahwa kita peduli, bahwa kita bertindak. Bahkan ketika kita membersihkan rumah ibadah, kita sedang menjalankan ibadah ekologis dan merawat bumi sebagai rumah bersama umat manusia.
Namun, lebih dari sekadar bersih-bersih, kita perlu membangun kesadaran ekologis yang berkelanjutan. Polusi plastik bukan sekadar soal sampah yang berserakan, melainkan tentang pola hidup, budaya konsumsi, dan sistem ekonomi yang eksploitatif. Kita perlu merefleksikan ulang cara kita memproduksi, mengonsumsi, dan membuang. Harus ada pergeseran paradigma dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular, yang menempatkan daur ulang, penggunaan ulang, dan pengurangan sebagai prinsip utama.
Kita pun harus mulai dari diri sendiri. Menolak kantong plastik sekali pakai, membawa botol minum sendiri, mengurangi konsumsi produk berkemasan plastik, serta memilah sampah di rumah, semua itu adalah bentuk perlawanan kecil yang berdampak besar bila dilakukan secara massal. Di sinilah pentingnya membangun kesadaran kolektif. Karena krisis lingkungan adalah tanggung jawab bersama, maka solusinya pun harus dilahirkan secara bersama.
Pemerintah perlu memperkuat regulasi, industri harus bertanggung jawab atas limbahnya, dan masyarakat sipil, seperti kita, harus menjadi penjaga suara alam. Gerakan komunitas, kelompok pencinta alam, pelajar, tokoh agama, seniman, hingga jurnalis lingkungan memiliki peran besar untuk terus menyuarakan isu ini di ruang-ruang publik, sekolah, media sosial, dan ruang ibadah.
Setiap tindakan kecil kita adalah benih harapan bagi masa depan bumi. Menanam pohon, membersihkan sampah, menyuarakan keadilan lingkungan, semuanya adalah bentuk cinta kepada generasi yang akan datang. Jangan sampai mereka mewarisi dunia yang lebih rusak dari yang kita tinggali hari ini.
Maka mari, pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini, kita tidak hanya hadir dalam apel dan bersih-bersih. Lebih dari itu, mari kita hadir sebagai manusia yang sadar bahwa bumi ini bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan dari anak cucu. Sudah waktunya kita berhenti menjadi bagian dari masalah, dan mulai menjadi bagian dari solusi.(Red/*)