spot_img
BerandaOpiniHarmoni dalam Keberagaman, Potret Toleransi di Sumatera Utara

Harmoni dalam Keberagaman, Potret Toleransi di Sumatera Utara

Oleh : Hery Buha Manalu

Sumatera Utara, sebuah provinsi yang kaya akan pesona alam dan budaya, adalah potret nyata dari toleransi dan pluralitas yang harmonis. Di tanah ini, berbagai suku, agama, dan adat istiadat hidup berdampingan, merajut tapestry kehidupan yang indah dan penuh warna. Dari dataran tinggi Karo yang sejuk hingga pesisir timur yang hangat, semangat persaudaraan senantiasa terpancar, membuktikan bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan pemisah.

Mozaik Suku Bangsa yang Berdampingan

Salah satu kekayaan utama Sumatera Utara adalah keberagaman etnisnya. Masyarakat Batak dengan sub-sukunya seperti Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak, hidup berdampingan dengan suku Melayu, Nias, Aceh, Jawa, Tionghoa, India, dan banyak lagi. Masing-masing membawa tradisi, bahasa, dan kearifan lokalnya sendiri.

Bayangkan sebuah pasar tradisional di Medan. Anda akan mendengar logat Batak yang khas bersahutan dengan bahasa Melayu, diselingi percakapan dalam bahasa Indonesia, dan mungkin juga aksen Tionghoa atau India. Pedagang dari berbagai latar belakang suku menjajakan dagangan mereka, berbagi senyum dan tawa. Ini bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan juga pertukaran budaya yang terjadi setiap hari.

Simfoni Agama yang Berdampingan

Di Sumatera Utara, masjid berdiri megah di samping gereja, dan kuil berdekatan dengan vihara. Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan berbagai kepercayaan lokal lainnya tumbuh subur. Perayaan hari besar keagamaan dirayakan dengan penuh suka cita, dan seringkali, pemeluk agama yang berbeda turut serta dalam memeriahkannya.

Contoh paling jelas terlihat saat perayaan Imlek di Medan. Vihara-vihara dipenuhi umat Buddha dan Konghucu yang bersembahyang, namun tak jarang warga dari agama lain ikut menyaksikan dan merasakan kemeriahannya. Demikian pula saat Hari Raya Idul Fitri atau Natal, tak sedikit warga yang berbeda keyakinan turut bersilaturahmi, mengunjungi tetangga atau sahabat mereka. Ini adalah bukti nyata bahwa keyakinan spiritual, alih-alih memecah belah, justru memperkaya interaksi sosial. Meski berlainan suku, bahasa, dan cara berdoa yang berbeda-beda, ini tidak menggerus nilai-nilai dari toleransi dan kerukunan umat beragama. Semua memiliki tujuan yang sama:

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background
Seminar Kebangsaan
Meski berlainan suku, bahasa, dan cara berdoa yang berbeda-beda, ini tidak menggerus nilai-nilai dari toleransi dan kerukunan umat beragama/foto : ist/kopitimes

Memupuk Jiwa Nasionalisme dan Toleransi

Sayangnya, praktik-praktik kerukunan dan kedamaian dalam bertoleransi seringkali tergerus oleh aksi-aksi intoleransi yang terjadi belakangan ini, seperti peristiwa persekusi dan penghalangan umat beragama untuk menjalankan ibadahnya masing-masing.

Di Sumatera Utara, semangat toleransi dan kebersamaan ini terus dipupuk. Terinspirasi dari keprihatinan akan fenomena intoleransi, sebuah komunitas bernama Solidaritas Kebangsaan RI didirikan. Komunitas ini tercetus pada 1 Juni 2022 di Bogor oleh sekelompok pemuka agama seperti Ust. Maulana Idris, Ust. Martono, Ust. Nasrun, dan Dody Lukas, S.Th., M.M., bersama beberapa pemuda lain. Mereka menyepakati satu tujuan penting: harus memperjuangkan NKRI dari aksi-aksi intoleransi dan persekusi umat beragama. Meskipun komunitas ini baru berdiri beberapa tahun lalu, semangat mereka untuk menjaga keutuhan bangsa dan kerukunan umat beragama di Sumatera Utara sangatlah kuat.

Kearifan Lokal sebagai Perekat

Banyak kearifan lokal di Sumatera Utara yang menjadi perekat toleransi. Misalnya, dalam masyarakat Batak, filosofi “Dalihan Na Tolu” (tiga tungku) menekankan pentingnya saling menghormati antara hula-hula (pihak pemberi gadis), dongan tubu (sesama marga), dan boru (pihak penerima gadis). Meskipun ini adalah sistem kekerabatan, nilai-nilai dasar seperti penghormatan dan kerja sama melampaui batas suku, menjadi landasan bagi interaksi antar-etnis.

Tradisi gotong royong juga masih sangat kental. Saat ada musibah atau acara besar, tanpa memandang suku atau agama, masyarakat akan bahu-membahu memberikan bantuan. Kebersamaan dalam kerja sama ini menciptakan ikatan emosional yang kuat, melampaui sekat-sekat identitas.

Tentu saja, seperti halnya di tempat lain, Sumatera Utara juga tidak luput dari tantangan. Gesekan kecil terkadang muncul, namun semangat toleransi dan persaudaraan selalu lebih dominan. Para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah senantiasa bekerja sama untuk merawat kerukunan, mengedepankan dialog, dan menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin. Keberadaan komunitas seperti Solidaritas Kebangsaan RI juga menjadi angin segar dalam upaya menjaga dan meningkatkan kerukunan di wilayah ini.

Sumatera Utara adalah pengingat bahwa pluralitas bukanlah ancaman, melainkan anugerah. Dengan terus memupuk rasa saling menghargai, memahami perbedaan, dan merayakan keberagaman, Sumatera Utara akan terus menjadi mercusuar toleransi dan harmoni di Indonesia, bahkan dunia. Ia adalah bukti bahwa di tengah perbedaan, kita bisa menemukan kekuatan untuk tumbuh bersama, menciptakan masa depan yang lebih baik untuk semua.(Red/*)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini