Kopi Times – iklim, semakin meresahkan, dunia yang semakin panas, bukan hanya secara suhu, tapi juga secara politik dan sosial, Indonesia mulai mengambil posisi yang tidak bisa lagi dianggap enteng, pembela iklim. Dalam forum internasional Indonesia Net Zero Summit 2025 yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Djakarta XXI Theater, dunia menyaksikan Indonesia tampil bukan sekadar sebagai peserta, tetapi sebagai pemimpin global dalam diplomasi dan aksi iklim.
Indonesia Tanpa Emisi
Di panel yang bertajuk tajam “Can Indonesia Raise the Game?”, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, menyuarakan arah baru Indonesia, bukan hanya menjadi penonton dalam panggung perubahan iklim, tapi aktor aktif yang menginisiasi kebijakan nyata. Menurut Diaz, Perjanjian Paris bukan sekadar deklarasi, tetapi menjadi pengunci moral agar pembangunan Indonesia selalu sejalan dengan target pengurangan emisi. Ini bukan sekadar pernyataan normatif, ini adalah sinyal bahwa Indonesia mengambil tanggung jawab ekologisnya secara serius.
Tak berhenti pada level wacana, Indonesia juga mengambil peran penting di forum BRICS, membuka peluang besar untuk pendanaan perubahan iklim melalui New Development Bank. Di sini, Indonesia membela iklim, mendorong agar negara-negara BRICS memperbesar kontribusinya pada dana adaptasi dan kolaborasi riset lintas negara. Sebuah langkah strategis yang menandai pergeseran diplomasi Indonesia dari defensif ke proaktif.
Langkah ini mendapat sambutan positif dari dunia internasional. Simon Stiell, Executive Secretary UNFCCC, bahkan menyebut arah kebijakan iklim Presiden Prabowo Subianto sebagai “pesan kuat kepada dunia”. Pesan bahwa masa depan tak bisa dibangun dengan cara lama, tetapi dengan pendekatan baru yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Simon juga menyoroti target ambisius Indonesia: 100% energi terbarukan dalam satu dekade ke depan. Bila tercapai, ini akan menjadikan Indonesia dan Brasil sebagai contoh hidup bagi negara berkembang lainnya, dua middle power dengan emisi besar, tapi dengan tekad besar pula. Artinya, Indonesia bukan hanya bicara, tetapi bersiap membela iklim menjadi bukti nyata bahwa transisi energi adalah mungkin, bahkan menjanjikan.
Namun, komitmen ini tidak berdiri sendiri. Transisi energi, menurut banyak pihak, bukan sekadar proyek teknokratis. Ini adalah perjuangan identitas nasional, untuk kedaulatan energi, kedaulatan pangan, dan masa depan ekonomi yang tak lagi menggantungkan diri pada batu bara atau minyak bumi.
Di bawah kepemimpinan Prabowo, kebijakan iklim dilihat bukan sebagai beban, tetapi sebagai peluang. Sebagai jalan baru menuju ekonomi yang tangguh, berkeadilan, dan adaptif terhadap tantangan global.
Dalam konteks ini, generasi muda juga diundang untuk ikut serta, bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai motor penggerak. Kolaborasi lintas sektor, antara pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, komunitas adat, hingga organisasi akar rumput, menjadi kunci. Inilah saatnya menghapus batas sektoral dan membangun gerakan iklim yang masif, otentik, dan mengakar dari bawah.
Lebih jauh, peran para tokoh lintas bidang, baik dari sektor publik, swasta, maupun komunitas lokal, bukanlah hiasan simbolik. Ini adalah refleksi dari kesadaran kolektif bahwa Indonesia punya posisi strategis dalam percaturan global, bukan hanya karena luas hutannya atau kaya biodiversitasnya, tapi karena kemauan politik dan diplomasi yang mulai matang.
Namun, perjalanan menuju Net Zero 2060 (atau lebih cepat) tentu tidak mudah. Dunia sedang mengalami disrupsi besar: perang, krisis pangan, ketegangan geopolitik. Tapi Indonesia memilih untuk tidak diam. Dengan penuh risiko dan keberanian, kita memutuskan untuk bergerak lebih awal. Untuk tidak sekadar menyesuaikan diri, tapi memimpin perubahan.
Perjuangan iklim adalah perjuangan eksistensial. Ini bukan soal suhu global semata, tapi soal air yang kita minum, udara yang kita hirup, tanah tempat kita menanam makanan, dan masa depan anak-anak kita. Indonesia sudah mengambil langkah pertama. Kini, dunia mulai memperhatikan. Dan ini adalah saatnya kita, sebagai bangsa, memperkuat langkah itu.
Karena krisis iklim bukan sekadar isu luar negeri. Ini tentang hidup kita hari ini. Tentang apakah sawah kita akan tetap hijau. Tentang apakah musim bisa diprediksi. Tentang apakah anak-cucu kita masih bisa melihat langit biru.
Indonesia telah memilih: menjadi pendekar dalam perjuangan global melawan krisis iklim. Kini, saatnya seluruh lapisan masyarakat bergerak bersama. Karena masa depan tak bisa ditunda. Dan perubahan tak akan datang jika kita hanya menunggu. (Hery Buha Manalu)