Sumber Gambar Ilustrasi Int 
Editor : Hery B Manalu
By : Linceria Panjaitan
Kopi Times – Dalihan Na Tolu adalah Filosofis atau wawasan sosial kultural,  yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak Toba.
Dalam hal ini Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kekerabatan darah dalam hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok marga dengan marga yang lain dalam adat Batak Toba.
Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan Fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga dasar bersama. Dalihan Na Tolu artinya tiga tungku.
Latar belakang pemakaian istilah Dalihan Na Tolu (Tiga Tungku) menjadi kerangka yang meliputi hubungan kerabat darah dan dalam hubungan perkawinan yang menghubungkan satu kelompok marga dengan marga lain maka dalam hal ini. 
Dalihan Na Tolu  menentukan tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga dasar menjadi keputusan bersama antara lain:
Hula-hula (sebagai suhut pemilik hajatan). Ada yang nafsirkan pemahaan ini pemahaman ini menjadi menyembah hula-hula, itu tidak tepat. Somba tekanannya pada Som = berarti menyembah, akan tetapi somba dalam pengertian ini ditujukan pada hula-hula disini tekanannya adalah pada Ba = berarti kata sifat dan hormat pada hula-hula.
Hula-hula adalah kelompok marga istri (istri sendiri), kelompok marga ibu (Istri Bapak) kelompok marga istri Ompung (beberapa generasi) ada kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu.

Kelompok marga istri saudara atau dongan tubu. Hula-hula ditenggarai sebagai sumber berkat, “hagabeon / keturunan, hamoraon / kekayaan, hasangapon / kehormatan”.
Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula, tanpa Hula-hula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan. Itu sebabnya somba Marhula-hula dilakukan dengan tujuan mendapatkan hal yang dibutuhkan sebagaimana tersebut di atas.

Elek Marboru artinya berlaku lemah lembut terhadap boru/anak perempuan. Boru adalah anak perempuan (dari keluarga sendiri), boru juga termasuk kelompok marga yang menikahi Putri.

Sikap lemah-lembut terhadap boru sangat perlu karena, dulu yang diharapkan membantu mengerjakan sawah dan ladang sangat diharapkan bantuan boru. Selain itu tanpa kehadiran boru pada suatu pesta, pesta tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik.

Manat Mardongan Tubu/dongan sabutuhan Manat adalah suatu sikap berhati-hati terhadap teman semarga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat ada pepatah orang batak mengatakan “Hau na jonok do masiogosan” yang berarti kayu yang terdekatlah dapat bergesekan.

Menggambarkan bahwa: begitu dekat dan sering hubungan terjadi dimungkinkan menjadi konflik, konflik kepentingan, konflik kedudukan dalam adat dsb.

Inti ajaran Dalihan Na Tolu adalah; kaidah moral  berisi ajaran saling menghormati dan saling menolong maka dalam Dalihan Na Tolu menjadi media yang memuat asas hukum yang objektif.

Lembaga Adat Dalihan Na Tolu
Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 Tahun 1990 tentang lembaga dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikut sertakan para penatua-penatua yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat-istiadat lingkungannya (Pasal 5 dan 8 No. 10 Tahun 1990).

Lembaga ini memiliki tugas melaksanakan berbagai usaha atau kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan budaya daerah termasuk didalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk membangun dan yang bersikap konsultatif  terhadap pemerintah.

Pada Perda Dalihan Na Tolu tersebut ditempatkan di desa, Kelurahan, kecamatan di tingkat  kabupaten. Keanggotaan dan kepengurusan berazaskan Pancasila dan UUD 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Unsur Dalihan Na Tolu 
Unsur  Dalihan Na Tolu tertuang dalam bahasa Batak Toba dengan: “Sisoli-soli do uhum siadapari do gogo”, artinya hadiri dan laksanakanlah kewajibanmu pada acara adat orang lain sesuai dengan posisi masing-masing, agar orang lain juga dapat melaksanakan kewajibannya pada acara adat yang kita lakukan.

Dengan demikian adat Dalihan Na Tolu akan berjalan dengan baik bila didukung oleh pelaku adat yang lengkap, hula-hula, boru/bere , dongan tubu.

Pada pelaksanaan unsur Dalihan Na Tolu hampir disetiap line acara terdapat unsur sisoli-soli do uhum, siadapari do gogo, terlaksana dengan berputar sesuai dengan ritma yang tidak diatur atau tidak disengaja.

Kedudukan ketiganya akan silih berganti, contoh pada pesta si A Si B menjadi Hula-hula, sementara pada pesta si B, si A menjadi boru, atau pada pesta si C, Si A berubah posisi menjadi dongan tubu demikian sebaliknya.

Maka orang Batak Toba  harus menjadi Hula-hula, menjadi boru/bere, menjadi dongan tubu, sehingga kedudukan selalu duduk sama rendah berdiri sama tinggi antara satu dengan yang lain terjadi pada tiap marga.

Oleh sebab itu mengandung  orientasi adat perkawinan adalah : “marsipasangapan”. Bandingkan pekerja Sosial yang mau menyusun rencana pembangunan tempat-tempat tinggal tambahan bagi tunawisma dan orang-orang yang terbuang dari masyarakat dapat injil yang sama, menunjukkan Yesus sebagai gembel yang tidak punya tempat tinggal, Luk 9:57-58. Dalam injil juga terdapat orientasi Marsipasangapan dalam Mzm 35:15, Mat 7:12, Luk 6:21. Ib 7:7.

Fenomena Sosial dalam pelaksanaan Upacara  Perkawinan Adat Dalihan Na Tolu 
Arti sebenarnya perkawinan adat disebut Mangan Juhut Ni Boru sebagai ritual budaya untuk memberitahkan Boru muli sudah menjadi marga lain (marga suami) dari marga asalnya.

Proses aslinya sangat sederhana dengan  melaksanakan upaca tersebut di rumah dan di desa tempat keluarga si boru muli, dan biasanya memakai halaman rumah sendiri sebagai arena uapaca.

Sebab peranan rumah sangat berperan penting sebagai jabu sibaganding tua sigomgom pangisina. Peranan rumah itu saat ini telah beralih fungsi ke pada sebuah balai pertemuan umum (BPU), dan balai/ sopo/ wisma = tersebar diberbagai sudut kota.

Penyebab terjadinya pergeseran upacara adat Dalihan Na Tolu. Pergeseran terjadinya berpedoman kepada ruhut-ruhut ni paradaton Dalihan Na Tolu  dapat diterima, karena berbagai perkembangan konstruktif.

Ajaran Adat Dalihan Na Tolu  bukan benda mati / statis. Sebagai perkembagan yang bersifat konstruktif dapat diterima karena ajaran ini ompungta sijolo-jolo tubu mengajarkan dalam pepatah Batak Toba, asing rura asing duhutna (Tm. Sihombing : Jambar hata 1989, mengatakan : Silingkit sinalenggan tapilit ma nadumenggan.

Efektifitas upacara perkawinan adat Dalihan Na Tolu 
Efektifitas : adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian terjadinya suatu efek atau akibat atau hasil guna yang dikehendaki.

Dengan pengertian tersebut dihubungkan terhadap karakteristik, ajaran adat Dalihan Na Tolu maka hasil guna efek yang dirindukan warga Batak Toba Melalui perkawinan:

Hatuaon atau berkat kebahagiaan lahir batin bagi pengantin dan seluruh keluarga pelaksanan adat tersebut.

Lasniroha (Kesukacitaan) untuk menjadi saluran berkat

Efesiensi pengetahuannya lebih  berkaitan dengan tiga pengertian :

Rasional lebih membuat sepadan antara perbuatan dan tujuan 
Penghematan : suatu acara dapat mengurai pengeluaran 
Efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu upacara adat perkawinan.

Dari ketiga point diatas ; kriteria pelaksanaan upacara adat Dalihan Na Tolu haruslah efekfif  dan efesien karena kesulitan hidup ekonomi dikebanyakan warga Batak Toba di tano perserahan perlu dicermati agar perkawinan adat Dalihan Na Tolu tidak hanya milik atau monopoli warga ekonomi mampu.

Penutup
Setiap orang  Batak dalam melaksanakan sebuah pesta /acara  adat pasti akan berposisi diantara salah satunya menjadi hula-hula, boru dan dongan tubu.

Itulah sebabnya disebut sebagai sebuah roda yang berputar atau sebagai tungku yang berkaki tiga dengan adat yang sangat kompleks. Itulah sebabnya orang batak di  sebut sebagai sebuah bangsa karena memiliki dan menjunjung adat Dalihan Na Tolu yang terkenal hingga ke  Luar Negeri. Batak Toba disebut sebagai Bangsa.
Kepustakaan
Theologia Crucis di Asia Dr. A.A Yewangeo
Wajah Yesus Di Asia, R.S Sugirtharajah
Perkawinan Adat Dalihan Na Tolu

Penulis adalah mahasiswa Program Pasca Sarjana di Sekolah Tinggi Paulus Medan, Jurusan Teologia Materi ini adalah pengembangan dan Diskusi bersama Dr. Hery Buha Manalu dari materi kuliah Hubungan Teologi dan Budaya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here