Kopi Times | Medan :
Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU) yang terdiri dari beberapa jaringan NGO : BAKUMSU, BITRA Indonesia, KSPPM, PETRASA, YAPIDI, YAK, YDPK menolak dengan tegas rencana Revisi UU Desa yang saat ini sedang digodok oleh DPR RI. Berkaca dari pengalaman dan riset yang dilakukan, JAMSU melihat tidak ada urgensi dari revisi UU Desa. Kecenderungan yang muncul adalah bahwa revisi ini politis karena dilakukan mendekati pemilu 2024, demikian disampaikan melalui rilisnya kepada media Jumat (10/8/2023) di Medan.
JAMSU sebagai jaringan NGO yang konsen dalam isu desa dan demokrasi mendukung UU Desa yang mengakui hak dan kewenangan desa sebagai subjek mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa. JAMSU juga menilai UU Desa sebagai perwuju dan dari perubahan paradigma tentang desa yang tidak lagi menjadi sub-pemerintahan kabupaten, melainkan menjadi pemerintahan yang mandiri mengelola sumber daya dan keuangan desa secara otonom.
Berkaca dari sini kemudian JAMSU melihat bahwa bila dilakukan revisi akan menghambat desa menuju sejahtera dan demokratis. Sebagai contoh wacana revisi masa jabatan kepala desa, JAMSU menilai revisi ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi karena DPR RI mengasumsikan daya rusak kekeluargaan yang diakibatkan oleh sisa konflik pilkades bisa reda jika pemerintahan dilakukan 9 tahun. Dalam hal ini DPR RI menganggap waktu 6 tahun dirasa belum cukup untuk mereduksi sisa konflik. Hal ini kemudian menjadi syarat yang digunakan oleh DPR RI untuk mempertimbangkan kuantitas masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
JAMSU melihat soal utamanya bukan disana,melainkan kedewasaan demokrasi harus dibawa pada jalurnya yang ideal dan waktu yang akan mengujinya. Sehingga untuk meminimalisir konflik dibutuhkan tools yang konkrit ketimbang mengubah masa jabatan. Disisi lain, bila harus merevisi masa jabatan maka revisi harus sesuai dengan masa jabatan pemerintahan demokratis pada umumnya yaitu 5 tahun maksimal 2 periode, bukan 9 tahun 2 periode, kemudian revisi tidak dilakukan mendadak menjelang tahun politik,dan harus memperlihatkan naskah akademik yang dapat diterima akal.
Persoalan yang dihadapi desa dewasa ini bukan pada kebutuhan atas Revisi UU melainkan pada tantangan dan hambatan dalam pelaksanaannya. Desa mengalami tantangan dari berbagai kepentingan supra desa yang mencoba mengintervensi dan mengkooptasi desa melalui regulasi turunan, “titipan” proyek-proyek dan eksploitasi sumber daya alam.
Kepentingan-kepentinganini muncul dari berbagai pihak seperti kementerian, pemerintah daerah, partai politik, korporasidan sebagainya. Dalam hal regulasi turunan dimaksud adalah bahwa ada banyak regulasi turunandari supra desa yang hendak menguasai desa seperti dari Pemerintah melalui Menteri DesaPembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan dan terbaru juga melalui UU Cipta Kerja (sekarang Perppu Cipta Kerja).
JAMSU dengan ini menilai bahwa revisi Undang-undang Desa tidak mendesak dilakukan sekarang. Adapun hal yang mendesak dilakukan adalah mengimplementasikan UU Desa dengan menghentikan kooptasi supra desa terhadap desa.
Oleh karena itu JAMSU menuntut supaya, DPR RI dan pemerintah supaya membatalkan pembahasan revisi UU Desa karena: revisi UU Desa pada dasarnya tidak mendesak dan cenderung politis menjelang pemilu 2024. Alasan dari sikap ini adalah kemunculan isu revisi masa jabatan meningkat 6 bulan terakhir melalui demonstrasi yang dilakukan sekelompok kepala desa di Jakarta, revisi perpanjangan masa jabatan kepala desa sangat tidak relevan dengan demokrasi.
Materi perubahan yang diusulkan dalam revisi sangat teknokratis dan birokratis yang padadasarnya justru berpotensi mencederai semangat kemandirian dan partisipasi yang diusung oleh undang-undang tersebut (lihat pasal-pasal perubahan dalam revisi di linktertaut);
JAMSU juga meminta Pemerintah (Menteri Desa PDTT, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan) supaya melakukan koreksi terhadap tumpang tindih peraturan turunan UU Desa dan tumpang tindih kewenangan yang menghambat substansi dan tujuan UU desa. Menurut JAMSU, Penyebab disharmoni desa adalah tumpang tindih regulasi yang dibuat oleh lembaga-lembaga tersebut yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang desa sebagai lex specialis pengaturan desa dan menyebabkan ruang gerak desa menuju mandiri semakin sempit. Sebab kepentingan rakyat lebih utama dari sekadar mempertontonkan dagelan politik di gedung DPRRI.JAMSU menolak Revisi UU Desa . “yang terutama adalah mengimplementasikan UU Desa dan menghentikan kooptasi supra Desa”, sebut Juni dari Bakumsu (Rel/*Hery Buha Manalu)