Jumat, Januari 17, 2025
spot_img

Jangan Samakan UU HIP Seperti Pemberlakuan Azas Tunggal Masa Orba

Gambar : Ist

Oleh : S Indro Tjahjono, Eksponen / Gerakan Mahasiswa 77/78

Kopitimes – Undang-undang HIP (Haluan Ideologi Pancasila) telah dipergunjingkan secara serampangan oleh banyak pihak. Gunjingan-gunjingan itu sulit dirunut logika dan epistimologinya. Yang menolak umumnya pakai bahasa-bahasa retorik yang emotif alias ingin membakar emosi masyarakat.

Semua kecaman tidak pernah menyentuh substansi, cuma melakukan jabjab di permukaan kulit. Misalnya konsiderannya tidak mengutip TAP MPR tentang larangan ideologi komunis. Kedua, bisa membangkitkan konflik ideologi yang meluas. Ketiga, pembahasannya tidak tepat karena dilakukan saat terjadi pandemi Covid 19.

Yang paling aneh, mengkambinghitamkan Megawati sebagai dalang di balik inisiatif UU HIP. Dan diplesetkan pula UU HIP akan membangkitkan komunisme. Sehingga sebenarnya bisa disimpulkan substansi UU HIP diterima, jika prejudice dan masalah protokoler yang dituntut para oposan bisa dijawab.


Apalagi semakin ke sini kritikan terhadap UU HIP makin tidak masuk akal. Dan tidak ada kritik substansial terhadap UU HIP, kecuali waktu pembahasan yang sebaiknya dilakukan setelah pandemi Covid 19 berakhir. Dari sini terkesan adanya kekhawatiran jika kebijakan pemerintah dan aktivitas kehidupan masyarakat diberi muatan atau nilai (ideologis) tertentu yang dalam hal ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.


Ini tentu aneh karena UU HIP tidak bicara di level propaganda seperti Era Suharto mempopulerkan asas tunggal Pancasila. Dalam UU itu diatur bagaimana (nilai-nilai) Pancasila bisa dirujuk ke dalam ilmu dan kebijakan. Tidak ada penafsiran baru di sini, melainkan melakukan pengamalan Pancasila lebih sistemik dan metodologis.

Hal di atas pernah berlangsung ketika paradigma ilmu bebas nilai (value free) dikecam habis. Ilmu atau setiap kebijakan harus dipermasalahkan siapa yang diuntungkan oleh kebijakan tersebut atau berpihak ke mana. Oleh karena ilmu atau kebijakan sebaiknya tidak boleh bebas nilai dan harus tidak bebas nilai (value bond) seperti dikatakan Jurgen Habermas.

Pada tahun 2016, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyetujui diberlakukannya GBHN atau “ideologi pembangunan”. ” Kita perlu berpikir untuk menghidupkan kembali GBHN. Dasarnya adalah agar hasil-hasil proses pembangunan merupakan perwujudan dari kehendak dan dinikmati oleh masyarakat,” papar Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini. Maksudnya agar pembangunan memiliki pemihakan dengan menganut nilai pemerataan. Tidak diberlakukannya GBHN membuat pembangunan ekonomi di Indonesia setelah era Orde Baru belum merata dan hanya sebagian pihak yang menikmatinya.

Mayoritas kelompok masyarakat di Indonesia sendiri setuju dengan hal itu bahkan anti sekulerisme. Bahwa ilmu harus diikat oleh nilai-nilai moral, ideologi, dan agama. UU HIP arahnya ingin agar semua kebijakan didasari oleh nilai-nilai moral Pancasila. Karena kalau tidak diikat oleh nilai-nilai Pancasila yang tercantum dalam UUD’45, maka kebijakan akan ditunggangi kepentingan kelompok dan ideologi lain.

Jadi tidak ada alasan dari segi epistimologi untuk menolak UU HIP. Apalagi oleh kelompok agama yang menginginkan moral agama menjadi sumber dari setiap kebijakan. Karena itu penolakan ini terkesan dilandasi sentimen dan bernuansa politik.

Masalahnya adalah bagaimana menyepakati UU HIP yang di dalamnya banyak mengandung kontroversi. Dan meluruskan pernyataan-pernyataan plintiran bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” akan diganti dengan “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Padahal yang dimaksudkan adanya relasi yang reprosikal antara Agama dan Kebudayaan atau Peradaban.

Di mana-mana orang menilai bahwa keberhasilan agama adalah jika hubungan antara agama dan kebudayaan semakin dekat. Penerimaan agama semakin meningkat jika kita bisa memilah antara mana nilai Islam yang hakiki dan mana Budaya Arab serta menyesuaikan agama tersebut dengan budaya lokal.

Tentang apakah UU HIP memprovokasi komunisme atau PKI ini sangat berlebihan, karena dalam batang tubuh tidak ada bab, pasal, dan ayat yang menyatakan menerima komunisme. Adanya sila pertama dalam Pancasila tentang Ketuhanan Yang Maha Esa telah menggugurkan hal itu. Sedangkan UU HIP inisiatif DPR itu memang masih dalam pembahasan, antara lain untuk menguji kerangka dan legal draftnya.

Kealpaan mencantumkan Tap MPR dalam konsiderans UU HIP harusnya diingatkan bukan menjadi bahan bakar politik apalagi untuk menjatuhkan presiden. Mengingat undang-undang tersebut bukan inisiatif Pemerintah. Karena rancangan, anggota DPR bahkan dapat mengubah substansi bukan hanya melengkapi konsideransnya.

Seperti saat meributkan UU Perkawinan ,toh semua pihak akhirnya menerima setelah adanya demo besar-besaran. Karena para pendemo memang mencermati substansinya bukan menjadikan UU Perkawinan sebagai peluang menjatuhkan rejim. Semua akhirnya menyadari bahwa perkawinan pun harus diatur oleh undang-undang untuk mencegah tradisi atau budaya mengawinkan anak di bawah umur.

UU HIP dari segi substansi bukan tidak ada kekurangan sama sekali, karena memang namanya masih rancangan undang-undang. Warganegara harus ikut mencermati, bahkan kalau perlu membatalkan RUU HIP jika dirasakan tidak sesuai aspirasi. Namun kita perlu serius bagaimana Pancasila diamalkan dalam arti bisa mewarnai setiap kebijakan pemerintah atau Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Tetapi membatalkan RUU HIP tidak berarti membatalkan mandat presiden, karena undang-undang tersebut bukan inisiatif presiden. Bahkan dengan kewenangannya Presiden telah menyatakan penundaan pembahasannya. Justru yang harus kita lakukan adalah mendukung Presiden dalam menunda pembahasan RUU HIP.(***)
Sbr : Opiniindonesia.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles