Manganjab merupakan salah satu ritual menghormati alam, terutama dalam kaitan pertanian di Nagori Sihaporas Simalungun.
18/5/2019
foto :  Arjuna Bakara

Editor : Hery B Manalu
By : Thompson Hs

 Ritual Manganjab di Sihaporas menjadi salah satu program yang dilaksanakan pada 18 Mei 2019 untuk memicu kegiatan pariwisata yang bersumber dari peristiwa kebudayaan
Foto : Arjuna Bakara

Berbaur dengan Agama, Tapi Tradisi Jangan Ditinggalkan

Kopi-times.com-Kalender Event BPOBT 2019 Tentang Ritual Manganjab, Manganjab merupakan salah satu ritual menghormati alam, terutama dalam kaitan pertanian di Nagori Sihaporas Simalungun. Sudah menjadi perhatian Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) sejak pendokumentasian “Ritual Adat Patarias Debata di Sihaporas” pada Oktober 2018 lalu.

“Sihaporas”, nama sejenis ikan, terkait dengan sifat kukuh kebatakan.

Untuk tahun 2019 ini Ritual Manganjab di Sihaporas menjadi salah satu program yang akan dilaksanakan pada 18 Mei 2019 untuk memicu kegiatan pariwisata yang bersumber dari peristiwa kebudayaan.

Program ini memerlukan sistem kuratorial dengan tahap pencatatan informasi penting dari dua keturunan Ompu Mamontang Laut.Keduanya Ompu Morris Ambarita, (lahir tahun 1956) dan Ompu Bintang Ambarita (lahir 1952).

Informan kedua juga berperan sebagai “Sipartonggo” (pelantun doa ritual). Sedangkan adiknya Ompu Morris juga pemberi keterangan soal “Ritual Patarias Debata” dan “Ragaraga Nabolon” dengan kurban dan persembahan
terkait semua ritual yang mereka lakukan dalam level marga perintis kampung Sihaporas.

Kangen Ritual Kuno yang Menghormati Alam
Manganjab merupakan salah satu ritual menghormati alam, terutama dalam kaitan pertanian di Nagori Sihaporas Simalungun. Ritual manganjab dilakukan sebagai amanah dari Ompu Mamontang Laut, perintis perkampungan awal Sihaporas Bolon kepada keturunannya.

Ompu Mamontang Laut bermarga Ambarita dan generasi kedelapan dari garis Siraja Batak. Dua desa di Sihaporas secara konsiten masih melakukan ritual itu, yakni Lumban Ambarita Sihaporas (33 keluarga) dan Sihaporas Aek Batu (40 keluarga).

Tujuan ritual itu agar hasil pertanian bagus dan jauh dari gangguan roh melalui hewan-hewan seperti monyet, babi hutan, dan lain-lain. Saat ini penduduk kedua desa
menggunakan lahan kering untuk berbagai tanaman, termasuk padi, jagung, jahe, dan cabe.

Pelaksanaan ritual ini ditentukan berdasarkan kalender Batak di hari sihori purasa dan disesuaikan pada bulan Mei dalam kalender Masehi. Persiapan ritual dan pembagian kerja dimulai pada pukul 06.00 pagi di dua tempat; di samping rumah induk (parsantian) dan areal tempat ritual di Dolok Saidoan.

Sebelum pukul 11.00 semua persiapan hingga prosesi ke area tempat ritual harus terlaksana bersamaan dengan doa-doa (tonggotonggo) yang segera dipanjatkan. Dalam prosesi, seekor kambing kurban digiring dengan bawaan beberapa persembahan lainnya.

Rangkaian ritual dilaksanakan sampai pukul 15.00. Kurban dan persembahan itu akan ditujukan kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan Pencipta Langit dan Bumi), Raja Uti dan Sisingamangaraja, Naga-naga ni Sombaon dari empat penjuru desa dan delapan penjuru angin, kepada Mamontang laut, dan ruh penggembala semua jenis tumbuhan dan tanaman.

Setelah kurban dan persembahan diarahkan ke masing-masing tujuan, di area terbuka itu dilakukan makan bersama sitompion dan itak (tepung beras tumbuk dengan campurannya) serta nasi.

Kemudian diakhiri dengan pembagian bungkusan sitompion ke masing-masing penggarap tanah untuk dipersembahkan ke lahan pertanian masing-masing dengan materi-materi lainnya yang tercampur sebagai tawar. Tawar ini menjadi “ruma tondi” untuk semua tanaman yang akan berhasil untuk dipanen kemudian.

Ritual dilengkapi dengan masa pause (robu) seminggu sebelum dan sesudah hari pelaksanaannya. Pusaka warisan Ompu Mamontang Laut seperti piso tumbuk lada dan pinggan pasu digunakan dalam kaitan ritual.

Satu bentuk makanan mentah yang disebut bogar dihamparkan di sebuh tampi yang terletak dekat meja ritual (langgatan) yang
dihiasi dengan janur kuning (maremare).

Kurban kambing setelah ritual dibagikan kepada induk marga Isumbaon. Sebaliknya suatu saat kalau garis Isumbaon melakukan ritual yang serupa, kurban dibagikan kepada induk marga marga Ilontungon. Prinsip itu dikenal dengan sebutan sitariparon yang mempunyai pengertian diseberangkan.


Di kampung ini juga beberapa waktu lalu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak pernah melakukan pendampingan kepada masyarakat Sihaporas atas tanah ulayat mereka mencapai 2.000 Ha. Konsesi Hutan Tanaman Industri untuk Toba Pulp Lestari merampas tanah ulayat masyarakat Sihaporas mencapai 1.500 Ha.

Acara ritual Manganjab dilakukan kerja sama, berkoordinasi yang memberdayakan masyarakat : Raja Panungkunan (Humas), konsumsi dan Akomodasi (terutama untuk tamu), Lapangan (petunjuk parkir di lapangan volley, toilet umum, ketertiban suara dan berbicara), Peralatan (teratak dan tempat duduk tambahan), Kebersihan Desa (sehari sebelum ritual), Anak-anak Sihaporas (pewaris nilai intangible ritual), semua ini melibatkan warga desa sebagai tanggung jawab dan kebersamaan kepada para tamu atau pengunjung.

Tempat ini diakses, dari Danau Toba ke simpang Jepang Aek Nauli (antara Siantar dan Parapat) menuju Lumban Ambarita Sihaporas lebih-kurang 6 Km dengan waktu tempuh lebih kurang 50 menit dengan kondisi jalan proyek Toba Pulp Lestari yang masih berbatu-batu lebih kurang 1 Km. Dari Sipolha ke Sihaporas 8 Km. ***

Thompson Hs, Penulis dan Sutradara, Aktif dan menghidupkan kembali Opera Batak, Direktur Artistik PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here