spot_img
BerandaAkademikaKebangkitan Kristus dan Kebangkitan Martabat Perempuan

Kebangkitan Kristus dan Kebangkitan Martabat Perempuan

Oleh : Hery Buha Manalu

Ketika kita berbicara tentang Paskah, kita tidak sedang membicarakan peristiwa masa lalu yang berjarak dari kehidupan kita hari ini. Paskah adalah pusat iman Kristen, saat di mana kematian ditaklukkan dan harapan baru dilahirkan. Namun, jika kita menyelami kisah Paskah dari perspektif perempuan, maka kita akan menemukan narasi yang begitu kuat tentang kebangkitan perempuan, bukan hanya secara rohani, tapi juga secara sosial dan eksistensial.

Perhatikan siapa saksi pertama kebangkitan Yesus. Bukan Petrus, bukan Yohanes, bukan tokoh besar dari dua belas murid. Tetapi Maria Magdalena, seorang perempuan yang dulu distereotipkan, dipandang hina, namun justru dipilih menjadi pembawa kabar pertama bahwa “Tuhan telah bangkit.” Kisah ini tidak boleh dipandang biasa. Dalam budaya Yahudi saat itu, kesaksian perempuan tidak dianggap sah dalam pengadilan. Namun justru Tuhan Yesus, dalam kebangkitan-Nya, mempercayakan berita paling penting dalam sejarah umat manusia kepada seorang perempuan.

Ini adalah peristiwa yang sangat revolusioner. Tuhan yang bangkit tidak hanya menaklukkan kuasa maut, tetapi juga menumbangkan batas-batas sosial yang membungkam perempuan. Kebangkitan Kristus adalah juga kebangkitan martabat perempuan. Ia menjadi simbol bahwa suara perempuan bukan hanya layak didengar, tetapi justru menjadi saluran pewahyuan Allah.

Bayangkan, jika Maria Magdalena tidak berani berbicara. Jika ia memilih diam karena takut dianggap tidak kredibel. Maka berita kebangkitan mungkin tidak akan tersebar seperti yang terjadi. Ini menunjukkan bahwa keberanian perempuan untuk bersuara adalah bagian tak terpisahkan dari misi Allah di dunia ini. Dengan kata lain, Paskah bukan hanya berbicara tentang pengampunan dan hidup baru, tetapi juga tentang restu ilahi atas keberanian perempuan untuk bersaksi.

Dalam konteks gereja dan masyarakat Indonesia hari ini, kita masih melihat banyak “kubur” yang membungkam suara perempuan. Kubur itu bisa berupa sistem budaya yang patriarkis, institusi agama yang belum ramah perempuan, atau ketidaksetaraan sosial yang diwariskan secara turun-temurun. Namun Paskah memberi pesan yang jelas, “Jangan cari Yesus di tempat kematian. Ia hidup! Dan hidup itu nyata dalam mereka yang berani keluar dari kubur pembungkaman dan bersaksi.”

Perempuan Kristen hari ini dipanggil bukan hanya untuk menjadi penerima berita, tetapi menjadi penyampai berita. Dipanggil bukan hanya untuk mengisi kursi ibadah, tetapi untuk menafsirkan firman, memimpin pelayanan, bahkan membentuk arah teologis gereja dan bangsa. Seperti Maria Magdalena, perempuan dipanggil untuk menyampaikan pesan kehidupan, bahkan ketika masyarakat meragukan kapasitasnya.

Di sinilah relevansi antara Kartini dan Paskah menjadi semakin terang. Keduanya berbicara tentang “kebangkitan” dari struktur yang menindas. Kartini bangkit dari kurungan budaya kolonial dan patriarki, sementara Maria Magdalena bangkit dari stigma sosial untuk menjadi rasul pertama kebangkitan. Keduanya menjadi teladan perempuan yang setia, berani, dan penuh harapan. Keduanya menjadi simbol bahwa kasih dan pembebasan Allah tidak pernah memandang jenis kelamin sebagai penghalang untuk panggilan ilahi.

Bagi gereja-gereja di Indonesia, terutama di lingkungan sekolah tinggi teologia, ini adalah panggilan untuk serius merefleksikan spiritualitas Paskah dalam wajah perempuan. Kita tidak bisa lagi bicara tentang kebangkitan Kristus tanpa mengakui peran perempuan dalam karya keselamatan itu. Kita tidak bisa lagi berbicara tentang Injil jika kita masih enggan memberikan ruang penuh bagi perempuan untuk bersuara dan memimpin.

Sudah saatnya kita memiliki teologi Paskah yang memerdekakan perempuan. Bukan karena perempuan lebih baik dari laki-laki, tetapi karena Allah sendiri dalam Paskah memilih bekerja melalui kesetiaan dan keberanian perempuan. Jika gereja adalah tubuh Kristus yang bangkit, maka perempuan adalah bagian vital dari tubuh itu, bukan pelengkap, tetapi mitra utuh dalam misi Allah.

Kita perlu bertanya pada diri kita hari ini,
Apakah gereja dan lembaga teologi kita menjadi ruang hidup atau ruang mati bagi perempuan? Apakah kita menjadi perpanjangan lidah kebangkitan, atau justru menjadi perpanjangan tangan struktur lama yang membungkam?

Kebangkitan Kristus menandai awal dari peradaban baru, sebuah dunia di mana semua orang, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, kaya dan miskin, diundang untuk mengalami hidup yang utuh. Dan dalam peradaban baru ini, perempuan tidak lagi diam. Mereka berbicara, bersaksi, mengajar, menggembalakan, dan membentuk masa depan bersama Kristus yang hidup.

Mari kita sambut Paskah ini dengan semangat yang menyala, seperti nyala cinta Kartini yang tidak pernah padam, dan seperti semangat Maria Magdalena yang melintasi fajar untuk menyampaikan berita bahwa “Tuhan hidup!”.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini