Oleh : Hery Buha Manalu
Budaya Berdiskusi, Jiwa Dunia Akademik yang Mulai Pudar
Dunia akademik bukan sekadar tempat menuntut ilmu, tetapi juga ruang bagi mahasiswa untuk mengasah pemikiran kritis dan mempertajam analisis. Diskusi adalah jantung dari proses ini dan sebuah ruang di mana ide dipertemukan, argumen diuji, dan wawasan diperluas. Sejarah mencatat bahwa banyak gagasan besar lahir dari diskusi, seperti filsafat Yunani yang berkembang dari dialog di agora hingga menjadi pilar peradaban Barat. Sayangnya, budaya ini semakin terpinggirkan.
Di masa lalu, diskusi merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Forum-forum kecil di kantin, sudut perpustakaan, atau ruang-ruang terbuka menjadi arena dialektika, tempat mahasiswa berani mengemukakan gagasan dan mengasah argumentasi.
Namun, kini budaya ini semakin langka. Seminar dan kuliah umum memang tetap ada, tetapi mereka lebih bersifat satu arah, membatasi mahasiswa dalam posisi pasif sebagai pendengar.
Minimnya ruang diskusi ini berdampak besar, mahasiswa menjadi kurang percaya diri dalam menyampaikan pendapat, tidak terbiasa menguji argumen, dan akhirnya cenderung menerima informasi secara mentah tanpa proses berpikir kritis.
Perpustakaan, Dari Gudang Buku Menjadi Pusat Dialektika
Salah satu solusi untuk menghidupkan kembali budaya diskusi adalah dengan mengembalikan peran perpustakaan sebagai ruang intelektual yang aktif. Perpustakaan seharusnya bukan hanya tempat menyimpan buku, melainkan menjadi pusat dialektika dan ruang bagi mahasiswa untuk membaca, berpikir, dan berdiskusi.
Banyak perpustakaan kampus yang kini lebih mirip museum sunyi daripada pusat kehidupan intelektual. Mahasiswa datang hanya untuk membaca sekilas, mengerjakan tugas, atau sekadar mencari tempat nyaman untuk berselancar di internet.
Padahal, perpustakaan bisa menjadi tempat ideal untuk mengembangkan forum diskusi. Ruang-ruang kecil dapat difungsikan sebagai tempat pertemuan intelektual, klub baca, atau kelompok diskusi lintas disiplin. Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya membaca tetapi juga menguji pemahamannya dalam perdebatan yang sehat dan berbasis literasi yang kuat.
Digitalisasi dan Kemunduran Literasi Kritis
Era digital membawa tantangan baru bagi budaya literasi dan diskusi. Informasi kini berlimpah dan mudah diakses, tetapi ironisnya, mahasiswa semakin jarang membaca dengan mendalam. Pola konsumsi informasi serba instan membuat banyak orang lebih suka membaca ringkasan daripada memahami teks secara utuh. Ini berbahaya, karena tanpa pemahaman yang baik, diskusi akan kehilangan substansinya dan hanya menjadi debat kosong tanpa dasar yang kuat.
Oleh karena itu, kampus harus menyesuaikan perpustakaan dengan era digital tanpa menghilangkan esensi literasi kritis. Integrasi teknologi dengan forum diskusi bisa menjadi solusi. Misalnya, menyediakan ruang diskusi berbasis digital, mengadakan webinar yang interaktif, atau menciptakan platform diskusi online berbasis literatur. Dengan begitu, mahasiswa tetap memiliki akses luas terhadap pengetahuan, tetapi tetap terlibat dalam proses berpikir kritis yang mendalam.
Revitalisasi Ruang Diskusi untuk Masa Depan Bangsa
Menghidupkan kembali budaya diskusi bukan hanya tanggung jawab mahasiswa, tetapi juga tugas akademisi dan institusi pendidikan. Kampus harus memberikan ruang dan dukungan bagi mahasiswa untuk berdialektika. Perpustakaan harus menjadi lebih dari sekadar tempat menyimpan buku, namun juga harus menjadi pusat kehidupan intelektual yang dinamis.
Jika ruang diskusi dihidupkan kembali, maka kita akan melihat generasi mahasiswa yang lebih kritis, analitis, dan berani menyuarakan ide mereka dengan argumentasi yang kuat. Ini bukan hanya tentang akademik, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih cerdas, toleran, dan demokratis.
Saatnya kita kembalikan ruang diskusi dan hidupkan budaya literasi. Karena tanpa diskusi, intelektualitas akan tumpul. Tanpa literasi, diskusi hanya akan menjadi debat kosong tanpa makna. Mari berdiskusi, mari membaca, mari berpikir! (Red/*)