Oleh : Faogosokhi Nduru
Kopi Times, Dalam kelas diskusi kami mata kuliah teologi dan budaya kemiskinan menjadi topik yang dibahas. Bahkan di berbagai forum nasional maupun internasional, walaupun kemiskinan itu sendiri telah muncul ratusan tahun yang lalu. Fakta menunjukkan pembangunan yang telah dilakukan belum mampu meredam meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia, khususnya negara-negara berkembang.
Diperkirakan ada yang kurang tepat dalam perumusan dan implementasi kebijakan untuk memberantas kemiskinan dan memberdayakan penduduk miskin. Selama ini kemiskinan lebih sering dikaitkan dengan dimensi ekonomi karena dimensi inilah yang paling mudah diamati, diukur, dan diperbandingkan.
Padahal kemiskinan berkaitan juga dengan berbagai dimensi antara lain dimensi sosial, budaya, sosial politik, lingkungan (alam dan geografis), kesehatan, pendidikan, agama, dan budi pekerti. Menelaah kemiskinan secara multidimensional sangat diperlukan untuk perumuskan kebijakan pengentasan kemiskinan.
Pengertian Kemiskinan
Dalam arti proper kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multi face atau multidimensional.
Kemiskinan dapat di bagi dalam empat bentuk yaitu: Kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Beberapa Dimensi Kemiskinan
Dalam dimensi rkonomi, Dimensi ekonomi dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang, baik secara finansial maupun semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dikategorikan miskin bilamana seseorang atau keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok minimnya, seperti: sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Dimensi ekonomi dapat diukur dengan nilai rupiah meskipun harganya selalu berubahubah setiap tahunnya tergantung pada tingkat inflasi rupiah.7 Kemelaratan dan batas ini ditentukan oleh kebutuhan hidup yang minimal perlu dipenuhi bagi kehidupan yang sederhana.
Dalam Dimensi Kesehatan
Banyak data dan hasil penelitian yang membuktikan bahwa kemiskinan sangat berhubungan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian.
Tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan dan rendahnya kesempatan memperoleh berbagai fasilitas kesejahteraan sosial akan mempersulit terpenuhinya berbagai keperluan pangan bergizi atau kemampuan untuk menangkis penyakit, sehingga tidak mengherankan apabila di lingkungan mereka tingkat kematian bayi tinggi.
Berbagai macam penyakit mengancam mereka, seperti: malaria, tuberkulosis, penyakit mata, kwasioskor, dan lainnya sebagai akibat lemahnya daya resistensi. Hal ini menyebabkan usia harapan hidup mereka pendek dan tingkat kematian mereka tinggi.
Dalam Dimensi Sosial dan Budaya
Dimensi sosial dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
Kekurangan jaringan tersebut disebabkan oleh dua faktor penghambat yaitu dari diri seseorang atau kelompok (misalnya karena tingkat pendidikan atau hambatan budaya), dan hambatan dari luar kemampuan seseorang (misalnya karena birokrasi atau peraturan resmi yang dapat mencegah mereka memanfaatkan kesempatan yang ada).
Pada masyarakat di negara maju, proses peralihan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern berhasil dilakukan. Tetapi pada masyarakat di negara sedang berkembang (dunia ketiga), ketika menuju modernitas mereka menghadapi hambatan sosial budaya berupa nilainilai tradisional yang sangat kuat dalam segala aspek kehidupan.
Hal tersebut menyebabkan mereka hidup dalam keterbelakangan, tidak maju, dan miskin. Kuatnya nilai-nilai budaya tradisional menyebabkan kondisi kehidupan masyarakat menjadi statis, belum mengalami deferensiasi struktural sehingga perkembangan politik, sosial, ekonomi, dan budaya tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Pada masyarakat tradisional ditandai dengan struktur keluarga yang rumit dan tidak teratur, terdiri dari berbagai generasi, dan jumlah anggota keluarga sangat banyak. Keluarga bertanggung jawab pada kelangsungan keturunan, ekonomi rumah tangga, pendidikan, dan kesejahteraan.
Pada keluarga modern biasanya dicirikan dengan anggota keluarga sedikit dan lebih produktif karena lembaga masyarakat yang ada telah berperan pada penyelenggaraan fungsi-fungsi dalam keluarga, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, ekonomi, dan keagamaan.
Mc. Cleland2 dalam studinya menyimpulkan bahwa nilai-nilai budaya tradisional turut membentuk sikap mental masyarakat di negara sedang berkembang. Nilai budaya tradisonal tersebut adalah mentalitas masyarakat yang belum siap membangun (tidak memiliki sikap mental need for achievement) dalam segala aspek.
Kemiskinan muncul sebagai akibat nilai budaya yang dianut kaum miskin itu sendiri, yang berakar dari kondisi lingkungan yang serba miskin dan diturunkan dari generasi ke generasi (cultural of poverty). Kaum miskin telah memasyarakatkan nilai dan perilaku kemiskinan secara turun-temurun.
Akibatnya, perilaku tersebut melanggengkan kemiskinan mereka, sehingga masyarakat yang hidup dalam kebudayaan kemiskinannya sulit untuk membebaskan diri dari kemiskinan.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa aspek budaya dan etnik juga berpengaruh memelihara kemiskinan. Pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, adat istiadat yang konsumtif juga banyak mewarnai masyarakat pedesaan seperti berbagai pesta rakyat atau upacara perkawinan, kelahiran, dan bahkan kematian yang dibiayai di luar kemampuan karena prestise dan keharusan budaya.
Hal ini seringkali mengakibatkan suatu keluarga terlibat rentenir atau menjual harta bendanya untuk mendapatkan dana penyelenggaraan pesta.
Dalam Dimensi Agama
Pendidikan agama dan budi pekerti sangat penting untuk penanaman nilai-nilai agamawi dan budi pekerti terutama bagi anak-anak dan pemuda. Strategi pengentasan kemiskinan seharusnya tidak terpaku pada aspek ekonomi dan fisik saja, tetapi aspek nonfisik (rohaniah) juga perlu mendapatkan porsi yang cukup dalam kebijakan ini.
Menurut Alkitab
Alkitab memberikan perhatian secara khusus untuk kaum miskin, dimana Tuhan memperhatikan dan mengasihi orang miskin. Firman Tuhan dalam Mazmur 140:13 mengatakan “aku tahu, bahwa Tuhan akan memberi keadilan kepada orang tertindas, dan membela perkara orang miskin.” Sedangkan dalam kitab Amsal 19:17 Firman Tuhan mengatakan “siapa menaruh belas kasihan kepada orang lemah (B.Inggris : the poor), memiutangi Tuhan, yang akan membalas perbuatanya itu”
Kemiskinan seharusnya tidak terpaku pada aspek ekonomi dan fisik saja. (Red/***Hery Buha Manalu)
Penulis (Faogosokhi Ndruru) adalah mahasiswa Program Pasca Sarjana (PPS) Sekolah Tinggi Teologi (STT) Paulus Medan, tulisan ini sebagian dari diskusi kelas bersama Dosen Pengampu, Dr. Hery Buha Manalu.,S.Sos,.M.Mis. Pengampu Mata Kuliah Teologi dan Budaya, PAK Berbasis Budaya di PPS STT Paulus Medan.