spot_img
BerandaOpiniKesetaraan Gender yang Terlupakan

Kesetaraan Gender yang Terlupakan

Milka Br Barus, Mahasiswa STT Paulus Medan Prodi Teologi

Kesetaraan gender?, Bayangkan sebuah dunia di mana setiap manusia, laki-laki atau perempuan, dianggap sama berharganya, seperti kepingan puzzle yang saling melengkapi tanpa ada yang lebih dominan. Bayangkan jika kesetaraan gender bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang diinspirasi oleh kata-kata kuno dari kitab suci.

Di tengah memuat hangat tentang gender di era digital ini, mari kita kembali ke akarnya, Kejadian 1:27. Ayat ini bukan sekadar teks keagamaan, ia adalah panggilan untuk membuka pikiran kita tentang martabat manusia yang sejati. Apakah Anda siap untuk melihatnya dari sudut pandang baru?

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background

Apa yang Dikatakan Kejadian 1:27?

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah menciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan menciptakan-Nya mereka. Kata-kata ini, dari kitab Kejadian, adalah fondasi yang kuat. Bayangkan: manusia diciptakan dalam “gambar Allah”, bukan hanya laki-laki, bukan hanya perempuan, melainkan keduanya bersama-sama. Ini bukan tentang biologi semata, melainkan tentang nilai intrinsik.

Dalam budaya kuno, perempuan sering kali dipandang sebagai “pembantu” atau inferior, seperti dalam mitos Yunani atau tradisi Mesopotamia. Tapi ayat ini menantang itu. Ia menyatakan bahwa perbedaan gender tidak membuat satu lebih unggul dari yang lain; Keduanya sama-sama mencerminkan sifat-sifat ilahi seperti kasih, keadilan, dan kreativitas.

Refleksi ini membuka pikiran, mengapa selama berabad-abad, interpretasi ayat ini sering kali disalahgunakan untuk membenarkan ketidaksetaraan? Jika kita benar-benar percaya pada gambaran Allah, maka diskriminasi gender adalah pelanggaran terhadap martabat manusia itu sendiri. Kejadian 1:27 menegaskan kesetaraan dari awal penciptaan, menolak pandangan bahwa perempuan lebih rendah atau lemah.

Pengembangan, Kesetaraan Gender di Dunia Nyata

Sekarang, mari kita bawa ayat ini ke kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, di mana indeks kesetaraan gender masih rendah (menurut UNDP, skor 0.675 pada tahun 2021), kita melihat kesenjangan nyata: perempuan mendapat upah lebih rendah, kurang terwakili di parlemen, dan sering menjadi korban kekerasan. Tapi Kejadian 1:27 menawarkan solusi. Ia mendorong kita untuk memandang perempuan bukan sebagai “yang lemah”, melainkan sebagai mitra yang setara dalam membangun masyarakat.

Pengaruh Adat Istiadat terhadap Kesetaraan Gender

Di Indonesia, kesetaraan gender tidak hanya mengancam tantangan modern seperti ekonomi dan politik, tetapi juga oleh adat istiadat yang telah mendarah daging di berbagai daerah. Misalnya, di Minangkabau (Sumatera Barat), sistem matrilineal seharusnya memberdayakan perempuan, tetapi praktiknya sering kali masih patriarki: perempuan diharapkan mengalah dalam keputusan keluarga, seperti menikah sesuai pilihan orang tua atau mengurus rumah tangga tanpa suara.

Di Bali, adat seperti “nyentana” (pembagian warisan) sering kali menguntungkan laki-laki, membuat perempuan harus mengikuti norma yang menempatkan mereka sebagai “pengikut” daripada pemimpin. Bahkan di Jawa, konsep “kepatuhan perempuan” dalam budaya feodal masih kuat, di mana perempuan dianggap harus selalu mengalah demi keharmonisan keluarga, meskipun itu berarti menelan diskriminasi.

Berbeda dengan di Sumatera Utara, suku Karo dan Batak Toba juga menunjukkan bagaimana adat istiadat memperkuat ketidaksetaraan. Dalam adat suku Karo, perempuan sering diharapkan mengikuti norma “kepatuhan” yang ketat, seperti dalam proses pernikahan atau pembagian warisan, di mana keputusan utama diambil oleh laki-laki sebagai kepala keluarga.

Hal ini membuat perempuan harus mengalah dan menyesuaikan diri dengan adat yang menempatkan mereka sebagai bawahan, meskipun secara budaya mereka dihormati dalam peran sosial tertentu.

Sementara itu, suku Batak Toba dengan sistem marga yang kuat menekankan dominasi laki-laki dalam urusan keluarga dan komunitas; perempuan sering kali harus mengikuti adat istiadat seperti “marsiurupan” (pembagian harta) yang lebih menguntungkan laki-laki, atau norma pernikahan yang mengharuskan perempuan tunduk pada keputusan marga.

Adat-adat ini, yang sering dikemas sebagai “tradisi luhur,” sebenarnya memperkuat stereotip bahwa perempuan lemah dan harus tunduk, dibandingkan dengan Kejadian 1:27 yang menegaskan kesetaraan intrinsik. Jika kita ingin menerapkan ayat ini, kita perlu mereformasi adat ini, bukan menghapusnya, melainkan menafsirkannya ulang agar mendukung martabat perempuan sebagai mitra sejajar, bukan objek yang harus mengalah.

Pengalaman Nyata, Ketidaksetaraan di Lingkungan Kita

Dalam lingkungan sekitar kehidupan banyak orang, saya sering melihat betapa perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu sangat signifikan. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah perempuan seperti barang yang bisa digunakan sesuka hati, dilakukan sebagai objek, bukan sebagai manusia dengan martabat yang sama.

Padahal, jika kita belajar tentang Alkitab, seperti yang diajarkan dalam Kejadian 1:27, ini tidak sama sekali. Ayat ini menegaskan bahwa perempuan bukanlah “barang”, melainkan ciptaan Allah yang sama berharganya dengan laki-laki. Dengan merefleksikan ini, kita bisa mengubah pandangan di lingkungan kita sendiri, mulai dari keluarga, sekolah, hingga komunitas, untuk menghormati kesetaraan, bukan mengeksploitasi perbedaan.

Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga

Saya juga ingin menambahkan pendapat pribadi tentang bagaimana kekerasan yang dialami perempuan dari laki-laki, apalagi di waktu ketika sudah berumah tangga, sering kali terjadi karena menganggap wanita itu lemah dan menganggap sepele.

Ini adalah tragedi yang menyakitkan, di mana pandangan inferior terhadap perempuan membenarkan tindakan kekerasan fisik, emosional, atau psikologis. Dalam rumah tangga, yang seharusnya menjadi tempat aman, perempuan sering kali menjadi korban karena stereotip bahwa mereka “lemah” dan tidak layak diperlakukan setara.

Tapi Kejadian 1:27 menentang ini dengan tegas: jika kedua gender diciptakan dalam gambar Allah, maka kekerasan seperti ini adalah pelanggaran terhadap martabat ilahi. Kita memerlukan pendidikan dan hukum yang lebih kuat untuk melindungi perempuan, sekaligus mengubah pola pikir bahwa perempuan bukanlah objek yang bisa dianggap sepele, melainkan mitra sejajar.

Bayangkan dampaknya, di dunia pendidikan, anak perempuan terdorong untuk mengejar STEM tanpa stereotip bahwa itu “bidang laki-laki.” Di tempat kerja, kuota perempuan di posisi kepemimpinan bukan lagi kontroversi, melainkan kebutuhan. Dalam keluarga, keputusan dibuat bersama, bukan berdasarkan dominasi. Ayat ini bahkan relevan dengan isu LGBT, meskipun fokusnya pada laki-laki dan perempuan, prinsip kesetaraan martabat manusia bisa setara untuk menolak diskriminasi apa pun.

Tentu saja, ada tantangan dalam menerapkan ayat ini di masyarakat yang masih dipengaruhi norma lama. Opini ini, prioritaslah pada Kejadian 1:27 sebagai prinsip universal. Jika kita mengabaikannya, kita bukan hanya menampilkan teks suci, tapi juga potensi manusia yang luar biasa.

Panggilan untuk Membuka Pikiran

Kejadian 1:27 bukanlah ayat kuno yang usang; ia adalah api yang bisa membakar ketidaksetaraan gender. Dengan merefleksikannya, kita dapat membangun dunia di mana laki-laki dan perempuan sama-sama berkontribusi, tanpa batasan. Ini bukan tentang politik, melainkan tentang kemanusiaan. Mari kita terbitkan opini ini, bagikan, dan mulai dialog. Siapkah Anda melihat dunia melalui lensa kesetaraan? Jika ya, ayat ini adalah awal yang sempurna.

Catatan Penutup, Opini ini didasarkan pada interpretasi teologis, data global, dan pengalaman pribadi. Milka Br Barus Milkabarus02@gmail.com

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini