spot_img
BerandaAkademikaKetika Ekologi Terabaikan, Kisah Sunyi dari Ruang Kelas Teologi

Ketika Ekologi Terabaikan, Kisah Sunyi dari Ruang Kelas Teologi

Oleh : Hery Buha Manalu

Ketika Ekologi terabaikan, aksi damai ribuan masyarakat bersama pendeta, pastor, rohaniawan, dan masyarakat adat yang memenuhi halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara beberapa waktu lalu bukan hanya sebuah peristiwa sosial, itu adalah cermin jernih yang menyingkapkan wajah gereja dan dunia pendidikan teologi kita.

Para rohaniawan datang membawa ulos, doa, dan suara profetis untuk memperjuangkan tanah leluhur, hutan yang digunduli, serta Danau Toba yang perlahan kehilangan marwahnya.

Namun, di balik suara lantang itu, ada ironi besar yang jarang dibicarakan, banyak dari mereka berdiri di jalanan bukan karena dibentuk oleh pendidikan teologi yang kuat dalam isu ekologis, tetapi karena terdesak oleh realitas yang semakin tak tertanggungkan.

Coffee banner ads with 3d illustratin latte and woodcut style decorations on kraft paper background
Ketika Ekologi Terabaikan, Kisah Sunyi dari Ruang Kelas Teologi
Ketika Ekologi Terabaikan, Kisah Sunyi dari Ruang Kelas Teologi, Ketua Sekretariat Bersama Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis di Sumatera Utara, Pastor Walden Sitanggang OFM Cap, didampingi Sekertaris, Pdt. Dr. JP. Robinsar Siregar, M.Th,. dan bendahara
Statement yang menyayangkan minimnya Ekologi Teologi pada dunia pendidikan/foto:kopitimes.id

Ketua Sekretariat Bersama Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis di Sumatera Utara, Pastor Walden Sitanggang OFM Cap, didampingi Sekertaris, Pdt. Dr. JP. Robinsar Siregar, M.Th,. dan bendahara
Statement yang menyayangkan minimnya Ekologi Teologi pada dunia pendidikan, sependapat dan menyayangkan minimnya pendidikan ekologi teologi diruang kelas. Pendidikan teologi seolah lupa bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi, kita harus merawat alam ini dengan iman. Bumi ini sakral dan harus dirawat.

Di sinilah paradoks itu tampak jelas. Gereja berani turun ke jalan, tetapi sekolah teologi, tempat para pemimpin itu dibentuk, masih tertinggal jauh dalam hal ekoteologi. Seakan-akan bumi, hutan, dan air bukan bagian dari percakapan akademik tentang Allah.

Padahal Alkitab berkali-kali menyatakan bahwa bumi adalah milik Tuhan, dan manusia diberi mandat untuk mengusahakan serta memeliharanya (Kejadian 2:15). Mandat itu tidak pernah dirancang hanya sebagai wacana spiritual, melainkan sebagai tindakan nyata untuk memastikan ciptaan tetap utuh dan hidup.

Namun, apa yang terjadi di banyak ruang kelas teologi? Mata kuliah ekoteologi tidak ada. Isu lingkungan dianggap tambahan, bukan inti. Teologi bergerak di langit doktrin, tetapi lupa menjejak tanah yang retak.

Mahasiswa diajarkan tentang dosa, keselamatan, dan pelayanan pastoral, tetapi tidak diajarkan bagaimana memandang kerusakan hutan sebagai dosa struktural atau bagaimana pencemaran air menjadi bentuk ketidakadilan terhadap sesama ciptaan. Pendidikan teologi seolah lupa bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi, bukan hanya jiwa manusia.

Narasi ini terasa kian memilukan ketika dikaitkan dengan konteks Batak. Bagi orang Batak, tano bukan sekadar tanah, ia adalah identitas, ruang hidup, hubungan dengan leluhur, dan simbol keberlanjutan generasi. Jika tanah rusak, bukan hanya lingkungan yang hancur, tetapi martabat budaya ikut tergerus.

Maka ketika masyarakat adat menjerit, ketika air dan hutan berduka, itu sesungguhnya adalah jeritan teologis, jeritan yang seharusnya tidak asing bagi dunia pendidikan teologi.

Namun kenyataannya, banyak calon pendeta dan guru agama lahir dari ruang pendidikan yang tidak pernah diajak berbicara tentang ekologi, apalagi memahami budaya sebagai sumber kebijaksanaan ekologis.

Mereka tidak dibekali kemampuan membaca krisis lingkungan sebagai bagian dari penderitaan umat. Maka tak heran, banyak gereja baru tersentak ketika realitas ekologis sudah meledak menjadi konflik sosial dan kerusakan budaya.

Aksi damai di Sumatera Utara itu sebenarnya menjadi teguran halus namun dalam kepada dunia pendidikan teologi: Di mana kalian selama ini?

Bagaimana mungkin lembaga yang tugasnya membentuk penjaga moral dan spiritual komunitas mengabaikan salah satu isu moral terbesar zaman ini?

Bagaimana bisa sekolah teologi tidak memasukkan ekoteologi ke dalam kurikulum, padahal kehancuran lingkungan secara langsung menghancurkan kehidupan umat yang mereka layani?

Sementara itu, masyarakat adat telah lama memahami apa yang tidak diajarkan di kampus-kampus teologi: bahwa menjaga tanah berarti menjaga kehidupan. Mereka memahami bahwa merusak hutan berarti merusak hubungan dengan generasi yang akan datang. Gereja seharusnya belajar dari kearifan lokal ini, bukan malah menempatkannya di pinggiran.

Pendidikan Agama Kristen sesungguhnya dapat menjadi jalan tengah yang kuat. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya Batak, yang menghormati tanah dan alam, ke dalam kurikulum, mahasiswa teologi dapat melihat bahwa keutuhan ciptaan bukan hanya wacana ekologis, tetapi bagian dari spiritualitas yang dalam. Mereka belajar bahwa berbicara tentang iman berarti berbicara tentang bumi, berbicara tentang budaya, berbicara tentang keadilan ekologis.

Karena itu, dunia pendidikan teologi perlu berani melakukan reformasi. Ekoteologi harus menjadi mata kuliah wajib, bukan pilihan. Mahasiswa perlu diajak ke lapangan, bukan hanya ke perpustakaan. Mereka harus belajar membaca kerusakan lingkungan dengan mata iman dan mata budaya. Mereka perlu dilatih untuk menjadi pembela keutuhan ciptaan, bukan sekadar pengajar doktrin.

Aksi damai para rohaniawan telah menunjukkan arah, gereja yang peduli pada bumi adalah gereja yang relevan dan profetis. Tetapi jika pendidikan teologi tetap sunyi, tetap acuh, tetap sibuk pada doktrin tanpa tanah, maka gereja akan terus kehilangan denyut kehidupan umat.

Pada akhirnya, pertobatan ekologis tidak hanya terjadi di jalanan atau mimbar. Pertobatan sejati harus dimulai dari ruang kelas, dari cara kita mengajar, membentuk, dan mempersiapkan para pemimpin gereja.

Sebab bumi yang rusak bukan hanya menanti tindakan, tetapi juga membutuhkan pemimpin yang memahami bahwa memelihara ciptaan adalah ibadah, dan menjaga tanah adalah bagian dari memuliakan Tuhan.

Dan mungkin, inilah saatnya lembaga teologi menjawab panggilan zaman, berhenti mengabaikan ekologi, dan mulai mengajarkan teologi yang menyentuh tanah. (Red/*)

Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini