Kopi Times – Perusakan rumah doa yang terjadi di Sumatera Barat belum lama ini kembali membuka luka lama dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia. Sebuah bangunan yang semestinya menjadi tempat teduh untuk bersekutu dan menyembah Tuhan, justru menjadi sasaran amuk massa. Terlepas dari perbedaan keyakinan atau kecurigaan sosial tertentu, kekerasan terhadap tempat ibadah adalah tamparan keras bagi kehidupan beragama dan konstitusi kita.
Kejadian ini bukan sekadar pelanggaran terhadap kebebasan beragama, tetapi sebuah peringatan bagi umat Kristen dan para teolog di Indonesia untuk menegaskan kembali posisi tempat ibadah ini dalam kehidupan spiritual umat, serta pentingnya model pelayanan yang kontekstual namun bijaksana. Tragedi di Sumatera Barat itu menjadi cermin, bahwa pelayanan rohani tidak boleh dilepaskan dari kepekaan sosial dan kebijaksanaan dialog lintas iman.
Ruang Doa, Tempat Kudus, Bukan Ancaman
Rumah doa, baik yang berdiri atas nama gereja lokal, komunitas kecil, maupun yayasan, pada dasarnya adalah ruang kudus di mana manusia bertemu dengan Allah. Di sana, air mata ditumpahkan, pertobatan diungkapkan, dan pembaruan hidup dimulai. Namun di sejumlah wilayah Indonesia, rumah doa kerap dipersepsikan sebagai ancaman sosial, apalagi jika dibangun di tengah komunitas mayoritas yang berbeda iman.
Ironisnya, kekerasan terhadap tempat ibadah ini, justru terjadi di negeri yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama. Rumah doa yang seharusnya menjadi jantung pembaruan moral dan spiritual, malah dianggap sebagai “simpul perusak ketertiban”. Di sinilah kita melihat konflik bukan hanya antar kelompok, tetapi juga konflik pemahaman tentang makna kehadiran iman di ruang publik.
Dalam konteks ini, kita bisa belajar dan menekankan pelayanan rohani yang transformatif dan kontekstual. Tempat ini tidak hanya menyampaikan khotbah, tetapi juga mengadakan diskusi terbuka, kunjungan sosial, pelayanan eksorsisme, hingga pendampingan umat yang terpinggirkan.
Namun, menyoroti titik rawan pelayanan semacam ini: ketika tidak ada struktur teologis yang kuat, pelayanan bisa dianggap “aneh” oleh masyarakat sekitar, bahkan oleh sesama umat Kristen. Inilah yang mungkin menjadi pemicu konflik: ketidaktahuan, kecurigaan, dan kesenjangan komunikasi antar komunitas iman.
Perusakan rumah doa harus ditanggapi bukan hanya dengan kemarahan, tetapi dengan refleksi teologis yang kritis dan solutif. Pertanyaannya:
Apakah gereja-gereja telah cukup hadir secara sosial dan dialogis di tengah masyarakat?
Apakah pelayanan rumah doa telah berjalan sesuai panggilan spiritual, namun juga peka terhadap konteks budaya dan religius lokal?
Di mana peran teolog, dosen, dan peneliti dalam mendampingi komunitas-komunitas doa kecil yang rentan?
Teologi kontekstual Indonesia perlu bergerak lebih progresif. Kita tidak cukup hanya membahas doktrin di ruang kuliah, tetapi harus turun ke komunitas, menemani, mendampingi, membimbing, dan menjembatani. Rumah doa tidak bisa dibiarkan sendiri, terisolasi dari tubuh Kristus yang lebih besar.
Panggilan untuk Berdiri dan Melayani dengan Bijaksana
Perusakan, seperti yang terjadi di Sumatera Barat, adalah panggilan moral dan spiritual bagi kita semua. Pemerintah harus bertindak tegas, tapi umat Kristen juga harus membangun pelayanan yang terbuka, bertanggung jawab, dan berdialog. Rumah doa bukan untuk menutup diri, tetapi menjadi terang dan garam di tengah masyarakat majemuk.
Sudah waktunya gereja, akademisi teologi, dan pemimpin umat menyusun strategi bersama:
Melindungi rumah doa sebagai ruang suci.
Mendorong literasi iman lintas denominasi dan lintas agama.
Memastikan pelayanan rohani yang sesuai dengan nilai Alkitab namun relevan dengan masyarakat Indonesia.
Apa yang terjadi di Sumatera Barat adalah luka bersama. Tapi dari reruntuhan rumah doa, kita diajak untuk membangun sesuatu yang lebih kuat, bukan hanya bangunan fisik, tetapi fondasi iman yang berdiri atas kasih, keadilan, dan perdamaian.