Selasa, Januari 21, 2025
spot_img

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Desa Membangun, : “Undang-Undang Desa Belum Menyentuh Pembangunan”

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Desa Membangun
Foto : Ist

Kopi-times.com | Jakarta :
Manambus dari Bakumsu bersama lembaga lainnya : Kalyanamita, IDRAP, CD Bethesda, GT Kondoran, BAKUMSU, KSPPM, BITRA, PETRASA, YPDK, YAK, YAPIDI, JKLPK Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Desa Membangun, menyebutkan bahwa Undang-Undang Desa belum menyentuh pembangunan,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memasuki tahun kelima sejak disahkan.

Masyarakat belum mengetahui secara utuh substansasi UU No. 6/2014 karena minimnya sosialisasi yang dilakukan secara regular. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) banyak yang copy paste dan minimnya sosialisasi karena belum ada dana yang dialokasikan di APBDesa serta tidak adanya petunjuk dari pemerintah kabupaten.

Hal ini diutarakan Manambus Pasaribu, dari Bakumsu kepada wartawan melalui pesan elekroniknya, Kamis (25/7/2019) di  Medan. “Perencanaan pembangunan desa belum memiliki perspektif pengarusutamaan gender, padahal di UU Desa Pasal tiga menyatakan asas dari pelaksanaan UU Desa adalah partisipasi, kesetaraan, dan pemberdayaan”, tegasnya.

Alokasi perencanaan dan penggunaan anggaran pembangunan di desa masih didominasi pembangunan fisik. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan warga, pemerintah desa, dan tim penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).

Menurutnya pungutan liar juga dilakukan oleh oknum yudisial.
“Adanya “predator desa” berkedok oknum wartawan, LSM, organisasi kemasyarakatan yang memalak aparat desa. Modus yang sering digunakan adalah mereka menawarkan jasa pendampingan struktural kepada kepala desa. Selain itu, pungutan liar juga dilakukan oleh oknum yudisial dengan menawarkan program bimbingan teknis atau bimtek”, tegasnya.

Kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Desa Membangun berdasarkan riset yang kami lakukan disejumlah daerah menemukan banyak kendala di lapangan dalam implementasi undang-undang desa.

Perencanaan pembangunan desa belum memiliki perspektif pengarusutamaan gender, padahal di UU Desa Pasal tiga menyatakan asas dari pelaksanaan UU Desa adalah partisipasi, kesetaraan, dan pemberdayaan.

Selain itu juga disebutkan, seharusnya perempuan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan akses pembangunan, turut berpartisipasi, melakukan kontrol implementasi pembangunan dan mendapatkan manfaat dari pembangunan desa.

“Tetapi, pada kenyataannya partisipasi perempuan hanya untuk pemenuhan formalitas seperti kuota jumlah perempuan dalam rapat tanpa mengakomodir ide dan kebutuhan mereka dalam pembangunan desa”, sebutnya.

Adanya disharmonisasi peraturan di tingkat teknis, misalnya, antara Permendesa PDTT No. 16/2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019 yang berfokus pada pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dengan Permendagri No. 20/2018 tentang Pengelolaan Dana Desa yang memasukkan program pembangunan fisik dalam bidang pemberdayaan masyarakat.

Selain itu, lampiran Permendagri No. 20/2018 tentang Kode Rekening Kegiatan telah membatasi ide-ide kreatif desa karena program yang dihasilkan dalam musyawarah desa tidak bisa dieksekusi akibat tidak tercantum dalam Kode Rekening Kegiatan.

Temuan lainnya adalah banyaknya RPJM Desa yang copy paste, proyek titipan pengusaha melalui pengambil kebijakan di tingkat kabupaten, dan pergantian perangkat desa setelah pemilihan kepala desa (pilkades).

“Berdasarkan temuan-temuan di atas, kami telah melakukan audiensi ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan tujuan meminta pemerintah dan jajarannya untuk segera menindaklanjuti hasil riset ini”, tutup Manambus Pasaribu. (Rel)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles