Foto : Ist |
Kopi Times| Medan :
Ketua Komite Pengusul Nobel Ekonomi Untuk Jokowi (KPNEJ), Yonge Sihombing mengatakan bahwa posisi Hutang Luar Negeri Indonesia (HLNI) saat ini masih dalam kondisi aman, terjaga, produktif, dan diperlukan.
Dari data Bank Indonesia, memperlihatkan bahwa HLNI per April 2020 mencapai US$400,2 miliar atau sekitar 5.651,9 triliun (dengan kurs Rp 14.155,72 per dolar AS). Utang luar negeri ini terdiri atas utang sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar US$ 192,4 miliar atau sekitar Rp 2.723,6 triliun dan dan utang sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 207,8 miliar atau sekitar Rp 2.944,7 triliun.
“Kalau melihat posisi HLNI saat ini sebesar Rp 5.651,9 triliun, maka posisi HLNI saat ini masih aman, karena baru sekitar 29 persen dari produk domestik bruto (PDB)”, kata Yonge kepada Pers, di Medan, Rabu, 17 Juni 2020.
Kepada Kopi-times, Yonge juga memaparkan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 12
ayat 3 mengatakan bahwa jumlah pinjaman luar negeri Indonesia dibatasi maksimal 60% dari produk domestik bruto.
“Artinya, kalau melihat batas rasio utang yang diizinkan UU ialah sebesar 60 persen dari produk domestik bruto (PDB), di mana posisi Indonesia saat ini baru sekitar 29 persen. Rasio utang asing 29 persen masih bagus. Karena threshold-nya 60 persen,” kata Yonge.
HLNI masih tetap terjaga, kata Yonge, karena pengelolaan HLNI dilakukan secara hati-hati, sehingga tetap mampu menjaga kesehatan APBN.
Selanjutnya Yonge mengatakan bahwa HLNI saat ini masih produktif, karena HLNI telah digunakan untuk mendorong pembangunan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan PDB, peningkatan pendapatan, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan pembangunan.
“HLNI digunakan untuk membangun infrastruktur, menolong jutaan anak melalui program pemerintah dengan pemberian dana yang terus meningkat,” kata Yonge.
Dari sisi Pemerataan pembangunan, HLNI digunakan untuk membiayai transfer ke daerah yang hingga saat ini sudah mencapai Rp 800 triliun. “15 tahun yang lalu, itu transfer ke daerah masih Rp100-150 triliun”, kata Yonge.
Dunia internasional lanjut Yonge, memberikan kepercayaan yang semakin kuat terhadap APBN dan perekonomian Indonesia. Hal ini dikonfirmasi oleh peringkat investasi dari lima lembaga pemeringkat dunia (S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I).
Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya sehingga masuk dalam kategori negara layak investasi atau Investment Grade.
Investment Grade adalah sebuah peringkat (rating) yang menunjukkan apakah utang pemerintah atau perusahaan memiliki risiko yang relatif rendah dari peluang default atau gagal bayar, sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Sekarang seluruh lembaga rating terkemuka telah menyatakan bahwa Indonesia adalah negara layak Investasi.
Belum lama ini laporan dari US News (media internasional) menyebutkan bahwa Indonesia kini berada pada peringkat 2 sebagai negara terbaik untuk investasi di dunia.
Indikator lainnya adalah Global Competitiveness Index yaitu ukuran seberapa produktif kemampuan sebuah negara menggunakan sumber daya yang tersedia untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya.
Menurut World Economic Forum, Global Competitiveness Index Indonesia naik dari posisi 41 menjadi 36 di tahun 2017 diatas Rusia (38), Polandia (39), India (40) dan Italia (43). Kenaikan peringkat ini dikarenakan adanya perbaikan di sektor Infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan dasar serta teknologi. Ini merupakan bukti bahwa belanja produktif pemerintah memiliki hasil nyata dan diakui oleh lembaga internasional seperti World Economic Forum.
Terkait dengan kritik HLNI yang muncul akhir-akhir, Yonge menanggapinya secara positif, karena kritik HLNI pada umumnya didasari oleh perbedaan teori yang digunakan untuk mencermati, mengamati, dan menyimpulkan pikiran tentang HLN.
Hal itu juga diaminkan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan usai berdiskusi dengan pengkritik HLNI. “Jika ada perdebatan di dalam teori itu hal yang lumrah. Saya senang sekali bisa berdiskusi dan beradu argumentasi secara ilmiah seperti ini, bukan debat kusir yang tidak jelas titik temunya dimana,” tulis Luhut menuturkan pertemuannya dengan Djamester.
Yang penting kata Yonge, kritik HLNI disampaikan secara jujur, objektif, dan bertanggungjawab, sehingga memberi manfaat kepada masyarakat, bangsa, dan negara. “Bukan kritik pembohongan dan pembodohan”, tegas Yonge. (Red)