Senin, Desember 9, 2024
spot_img

Label Halal Pariwisata Danau Toba dan Pengalihan Isu

Pdt. JP. Robinsar Siregar M.Th
Foto : Ist

Editor : Hery Buha Manalu

By : Pdt. JP. Robinsar Siregar M.Th

Kopi-times.com – Dalam Undang-undang No.10 tahun 2009 menyebutkan bahwa kegiatan pariwisata di Indonesia bertujuan untuk: 1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi, 2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat, 3. Menghapus kemiskinan, 4. Mengatasi pengangguran, 5. Melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, 6. Memajukan kebudayaan, 7. Menggangkat citra bangsa, 8. Memupuk rasa cinta tanah air, 9. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, 10. Mempererat persahabatan antar bangsa.

Dalam Undang-undang tersebut mengarahkan pariwisata yang berkelanjutan untuk mengintegrasikan pembangunan pariwisata secara sosial dan ramah lingkungan. Pariwisata berkelanjutan mengintegrasikan tiga komponen utama: keadilan sosial, pengembangan ekonomi dan integritas lingkungan hidup.

Viralnya wisata halal atau wisata bersyariah yang dipopulerkan oleh Gubsu Edy Rahmayadi menimbulkan berbagai respon dimasyarakat. Baik bernada keras, setengah keras, lembut, setengah lembut dan lainnya. Secara khusus mengenai BABI yang tidak terpisahkan dari budaya Batak dengan adanya wisata halal membangkitkan respon yang luar biasa hebatnya. Ada ungkapan bahwa banyak orang Batak yang sukses karena BABI maksudnya beternak BABI dan lain sebagainya.

BABI memang tidak terpisahkan dari Budaya Batak karena banyak kegiatan yang menggunakan hewan peliharaan ini. Saya tidak akan banyak membahas mengenai BABI yang kembali viral karena wisata halalnya pak Gubsu tersebut. Saya ingin menyoroti bahwa wisata Danau Toba yang mendapat perhatian luar biasa dari President Joko Widodo sebagai destinasi pariwisata internasional merupakan TOPIK UTAMANYA.

Pembahasan mengenai bagaimana masa depan Danau Toba secara khusus dampak pencemarannya telah lama diperbincangkan. Dalam peningkatan pariwisata dampak krisis lingkungan merupakan sorotan utama karena berakibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup nir-etik. Artinya bahwa dalam pengelolaan kepariwisataan manusia melakukan pengolahan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika.

Menteri Lingkungan Hidup Dr. Sonny Keraf pernah menuliskan: “Bangsa Indonesia sekarang hancur karena etika dan moralitasnya telah rusak. Cita-cita pendiri republik untuk membangun watak dan moral bangsa ternyata telah dilupakan dalam segala hiruk-pikuk pembangunan. Dan itu tidak terkecuali di bidang lingkungan hidup.

Menurut saya, permasalahan lingkungan terjadi, bukan karena bangsa kita tidak menguasai ilmu dan teknologi, melainkan karena mengabaikan etika dan moralitas. Hutan rusak, udara kotor, sungai dicemari limbah, dan sederet masalah lingkungan lainnya. Sekali lagi, ini semua terjadi bukan karena bangsa Indonesia tidak pandai dalam ilmu ekonomi dan teknologi, tetapi karena kita sebagai manusia sedemikian tidak bermoral, rakus dan tamak, serta hanya memikirkan kepentingan sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain dan generasi mendatang.

Jadi, dalam kaitan ini, yang kita butuhkan bagi pembangunan lingkungan hidup bukan hanya teknologi dan profesionalisme, tetapi juga etika dan moralitas; bukan hanya otak, melainkan juga hati.” Demikian juga pendapat Dr A.A. Sitompul (Mantan Pengurus Bidang Kebudayaan YPPDT): “Kita harus mengembangkan sebuah kesadaran baru bahwa kita sesungguhnya sudah dihidupi dengan limpah oleh bumi Tuhan, dan karenanya kita sepatutnya membalasnya dengan cinta, kepedulian dan kasih sayang pada Bumi.

Artinya, kita harus bersahabat dengan alam. Kitab suci Al Qur’an mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi Allah, yang bermakna manusia adalah pengelola alam yang harus bertanggung jawab. Alkitab juga mengajarkan bahwa manusia adalah penatalayan di bumi Tuhan. Maka warga Kawasan Danau Toba (KDT) perlu disadarkan supaya menerima panggilan menjadi penatalayan bumi, khususnya Danau Toba, bagi kebajikan peradaban kita dan rahmat bagi semesta alam.

Persoalan inti Danau Toba adalah masalah lingkungan dan hilangnya kemampuan masyarakat, gereja serta pemerintah daerah di kawasan Danau Toba mencintai Anugrah dari Sang Khalik sebagai CiptaanNya.

Label Halal dan shariah itu hal biasa saja jika kita menyikapinya dengan bijaksana dan menyadari APA YANG SEHARUSNYA TANGGUNGJAWAB KITA DIKAWASAN DANAU TOBA SEBAGAI ANUGRAH !

Menarik misalnya ada ide mengadakan festival BABI yang di gagasan oleh Togu Simorangkir bersama teamnya yang mendapat respon positif sebagai salah satu cara yang bijak.

Kebudayaan Batak Toba sudah terbentuk pola hubungan antar manusia dengan Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya. Sehubungan dengan pesan Siboru Deak Parujar Kepada Keturunannya untuk “memelihara” bumi dengan segala isinya, terdapat pengertian untuk “memanfaatkan” bumi dengan segala isinya dengan arif dan bijaksana.

Penganugerahan ini sekaligus pemaknaan pemberian warisan sebagai ugasan bagi Si raja Ihat Manisia dan keturunannya. Manusia dan keturunannya diperkenalkan bahwa siapapun yang mencoba merusak bumi dan segala isinya akan dihukum Mulajadi Nabolon. Nagapadohaniaji yang semula merusak akhirnya melalui pengampunan berjanji akan menjaga.

Itu pula yang didasari dengan hadirnya Boru Saniangnaga untuk memelihara kejernihan air yang dulunya menggoda hatinya dari dunia para dewata. Orang Batak selalu menghormati kedua penguasa itu setiap kali hendak memanfaatkan potensi air dan bumi untuk kegiatan kehidupan.

Pemahaman ugasan bagi manusia atas segala isi bumi masih dimaknai dengan penghormatan kepada pelestariaanya sekaitan dengan para dewa pada awalnya telah berjanji untuk melakukan pelestarian bumi dan air “ciptaan” yang dimohonkan Si Boru Deakparujar itu.

Setiap pemanfaatan air untuk kegiatan khusus misalnya pengobatan harus melewati pemahaman khusus, yaitu 1). Penghormatan kepada dewi Boru Saniangnaga yang menjaga kelestarian air yang akan dijadikan Pangurason dan 2). Pemahaman siklus kehidupan dengan peran air yang disebut Humuasal.

Hal kedua di atas yang jarang dibicarakan karena pada umumnya dilakukan sebagai ritual oleh ahli pengobatan untuk mendekatkan spritualitasnya terhadap lingkungan dan kehidupan. Setiap penyakit diyakini ada penyebabnya dan selalu ada obatnya.

Kerusakan pengelolaan tubuh merupakan penyebab penyakit dan perusakan lingkungan menjadi sumber penyakit. Keduanya berkaitan dan tak dapat diabaikan dalam kehidupan nyata Humuasal ada beberapa versi, disini diuraikan dua versi yang berdekatan.

Aek jumadi ombun, ombun jumadi udan, udan jumadi hau. Air menjadi embun, embun menjadi air, air menjadi kayu. Pengertian luasnya adalah air menguap (evaporasi) menjadi embun, embun menjadi hujan, hujan menjadi air mengalir di atas permukaan tanah, pelembaban tanah dan siraman hujan memecah kecambah sehingga memekarkan tumbuhan.

Ada hidup (harmonisasi). Timus jumadi ombun, ombun jumadi udan, udan jumadi hau, hau jumadi api, api jumadi ombun. Asap menjadi embun, embun menjadi hujan (air), air menjadi kayu, kayu menjadi api, api menjadi embun. Pengertian kedua ini menyatakan; asap dan uap menjadi embun, embun menjadi air, air memecah kecambah dan menghidupkan tanaman, tanaman menjadi api (panas), panas menjadikan penguapan sehingga menjadi embun.

Dari kedua pengertian Humuasal di atas dimengerti tingkat kajian leluhur akan pemahaman asal usul sebab dan akibat yang dirangkai dalam pemahaman siklus hidrologi. Menurut ilmu pengobatan masyarakat Batak Toba, keseimbangan adalah kelestarian, dan kelestarian adalah keabadian.

Setiap terjadi kerusakan dalam keseimbangan itu wajib dilakukan perbaikan. Berdasarkan itu pula setiap orang mencari solusi kesehatannya selalu diarahkan apa yang tertinggal dan terabaikan dalam kehidupannya.

Dalam setiap praktek pengobatan, air selalu pemeran utama yang dirangkai dengan bahan pendukung lainnya dari tanaman yang konon dimengerti terjadi dan hidup karena air. Rangkaian kalimat itu dipadukan dengan doa harapan pemulilan organ dan system yang rusak dalam tubuh, dengan kata harapan agar ramuan yang tersedia dapat membantu pemulihan dan dukungan Tuhan Yang maha Esa.

Kembali kepada tujuan pariwisata dan alpanya tanggungjawab terhadap lingkungan dalam industri pariwisata. Saya ingin mengatakan bahwa isu halal jangan MENJADI PENGALIHAN ISU: Pengalihan isu oleh siapa? 1. Oleh masyarakat dikawasan Danau Toba. 2. Oleh GEREJA dikawasan Danau Toba, 3. oleh Pemerintah Daerah di kawasan Danau Toba, Provinsi SU dan Pemerintah Pusat, 4. Oleh Wisatawan, 5. oleh Perantau.

Isu halal dihembuskan agar ISU MASALAH KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN TANGGUNJAWAB TERHADAP LINGKUNGAN MENJADI SEMAKIN DIABAIKAN. Saya kira jangan karena ISU HALAL dan SYARIAH persoalan-persoalan UTAMA luput dari perhatian. Undang-undang No. 10 tahun 2009 diatas saya kira sangat penting untuk diketahui oleh kita semua yang merasa mencintai Danau Toba.

Saya kira wisata halal yang asumsi kita hanya pada salah satu unsur budaya berupa makanan tradisional/adat yaitu BABI menimbulkan reaksi yang luar biasa. Tentu isu-isu lain juga mendapat REAKSI yang menyatukan AKSI NYATA juga kiranya.

Sehingga sebagai warga masyarakat dan organisasi masyarakat seperti gereja, perantau dan elemen lainnya kita dapat menjadi SUBYEK bukan OBYEK dari pariwisata itu sendiri.

Saya merasa bahwa peran Gubsu Edy disatu sisi berdampak positif karena semakin banyak yang membicarakan mengenai Danau Toba, terimakasih Pak Gubernur dalam hal ini.

Namun banyak memang Bapak harus belajar mengenai konteks budaya di kawasan Danau Toba khusunya Budaya Batak dan UU No. 10 tahun 2009 mengenai tujuan pariwisata agar isu yang bapak usulkan itu tidak menimbulkan masalah yang berdampak negatif di masyarakat.

Dalam Budaya Batak peran Danau Toba sebagai sumber AIR dalam kebutuhan hidup sangatlah penting. diatas saya telah menyinggung bagaimana air mendapat perhatian dalam budaya Batak.

Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra putri para Dewata. Tubuh yang menjadi manusia lahir wajib diperkenalkan dengan jenis asal mereka “air”. Martutuaek artinya menuju ke sumber air.

Memperkenalkan manusia lahir itu dengan air yang merupakan keutamaan sumber hidup sebelum mengenali semua yang ada di bumi. Untuk pertama sekali dia mengambil air dari sumbernya untuk dibuat persembahan kepada Mulajadi Nabolon.

Untuk itu, marilah dengan bijak kita menyikapi isu mengenai PARIWISATA DANAU TOBA SEHINGGA TIDAK ALPA/TIDAK PEDULI DAN MENJADI ALASAN MENGABAIKAN TANGGUNJAWAB MERAWAT DAN MENJAGA KEUTUHAN CIPTAAN SEBAGAI ANUGRAH SANG PENCIPTA. SALAM

Pdt. JP. Robinsar Siregar M.Th, Pemerhati Lingkungan dan Danau Toba, Pasca Sarjana STT Paulus Medan,  Melayani di GKPI

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest Articles