|
Gambar Ilustrasi : Sumber Int |
Editor : Hery Buha Manalu
By : Pdt. Nehemia Gurusinga
Kopi Times – Tentunya sebagai seorang rohaniawan, penulis memandang, LGBT adalah sebuah penyimpangan/kelainan yang tidak wajar terjadi diantara manusia yang merupakan ciptaan Tuhan yang paling mulia.
Pada dasarnya manusia diciptakan berpasangan Laki-laki dan Perempuan (Kej.1:27). Pasangan yang sepadan dan memang begitulah kehendak Allah atas manusia, tidak direncanakan Tuhan manusia itu kawin sejenis sehingga ketika dosa yang terjadi di Sodom dan Gomora membuat Tuhan murka dan menghanguskan Sodom dan Gomora dengan api dari Sorga (Kej. 9:1-29), demikian murkanya Allah melihat kejahatan yang dilakukan manusia yang berhubungan dengan kekejian / kenajisan yang berhubungan dengan penyimpangan sexual ini.
Dalam perkembangan jaman tidak dapat kita pungkiri bahwa memang pengenapan Firman Tuhan harus digenapi. Sehingga orang-orang percaya seharusnya dengan fenomena-fenomena ini semakin kuat dalam iman dan pengharapan akan penggenapan Firman Tuhan.
Manusia akan bertambah jahat di bumi, yang baik bertambah baik, namun yang jahat semakin jahat.
Bukan hanya mengenai penggenapan Firman Tuhan, namun juga penyimpangan ini juga tentunya meresahkan masyarakat pada umumnya, sekalipun memang banyak pihak pihak yang mengaggap LGBT merupakan sebuah pilihan orientasi sex, bahkan ada dari pihak rohaniawan Kristen yang menganggap LGBT sebuah komunitas yang harusnya diterima di gereja, bukan dikucilkan.
Posisi Dilematis
Pada satu sisi memang gereja wajib menjadi pembawa perubahan terhadap prilaku yang menyimpang ini. Gereja bukannya tidak mau menerima orang-orang yang terlibat dalam LGBT, manusianya wajib diterima di gereja, namun dosanya tidak bisa ditolelir dalam gereja, apalagi melegalkan pernikahan Laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan.
Dalam kesempatan ini, penulis juga mengaitkan fenomena ini kedalam pemahaman pengetahuan Dasar Budaya yang merupakan suatu disiplin ilmu yang tentunya sangat perlu dalam semua bidang ilmu pendidikan, karena Pemahaman manusia itu adalah sebagai mahluk berbudaya.
Manusia yang hidup dalam peradaban dan budaya tentunya menjunjung nilai-nilai etika moral.
Budaya dasar merupakan suatu ilmu yang mempelajari dasar dasar dan pengertian tentang konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah budaya, berbicara budaya tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan.
Istilah Basic Humanities yang berasal dari bahasa Latin: Humanus, yang bisa diartikan sebagai manusiawi. Makin berkembangnya dan bertambahnya para “pengikut” komunitas LGBT mempengaruhi cara pandang terhadap orientasi atau pergeseran nilai-nilai, normal dalam sebuah peradaban.
Pamahaman kemanusiaan yang harus tetap disandarkan pada alasan atau dasar-dasar yang benar dan utuh. Berbicara tentang manusia tidak terlepas dari nilai budaya.
Dalam hal ini sangat perlu untuk ditanggulangi dengan serius oleh gereja secara khusus. Penulis melihat masalah dis-orientasi sex ini membuat banyak para pelaku menjadi nyaman karena beberapa negara, organisasi, gereja, menjadikan komunitas ini legal dan menjadi sebuah hal yang “wajar” karena bagi mereka manusia memiliki hak untuk memilih orientasi sex mereka sendiri, mau berjenis kelamin apa itu terserah kepada manusianya itu sendiri, dan HAM kembali menjadi momok yang membuat mereka merasa terlindungi.
Penulis melihat hal ini ke dalam beberapa poin. Kurangnya edukasi orientasi sex sejak dini. Pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak-anaknya. Kekerasan sexual terhadap anak.
Maraknya Pihak yang Melegalkan LGBT
Beberapa negara melegalkan LGBT, manusia tidak takut akan Tuhan.
Dalam tulisan ini tentunya saya ingin memecahkan masalah yang berhubungan dengan pernyimpangan orientasi sex (LGBT), sehingga dalam tulisan ini akan ditemukan cara dan apa yang harus segera dilakukan untuk memperkecil ruang gerak LGBT, didunia, di Indonesia khususnya.
LGBT, Sikap Gereja (dihindari atau dilayani)
LGBT atau GLBT adalah akronim dari Lesbian (sesama wanita), Gay (Laki-laki menyukai laki-laki), Bisexual (menyukai laki-laki dan perempuan), dan Trans Gender (merubah jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan dan sebaliknya). Istilah ini sudah digunakan sejak tahun 1990-an, dan menggantikan frasa komunitas gay.
Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman budaya yang berdasarkan identitas sexualitas dan gender, kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heterosexual, bukan hanya homo sexual, bisexual, atau transgender.
Istilah LGBT banyak digunakan untuk penunjuk diri. Istilah ini juga digunakan mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas sexualitas dan gender di Amerika serikat dan beberapa negara berbahasa Inggris lainnya.
Perspektif Kekristenan secara umum tentunya mengecam LGBT, karena sudah jelas-jelas melanggar kodrat Ilahi. Jumlah LGBT Menurut salah satu sumber informasi, berdasarkan estimasi Kemenkes pada 2012 saja terdapat
1.095.970 baik yang tampak maupun tidak, lebih dari 5% nya
(66.180) mengidap HIV.
Sementara badan PBB mempresiksi jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada 2011. Pada hal pada 2009 populasi gay hanya sekitar 800 ribu jiwa, mereka berlindung dibalik ratusan organisasi masyarakat yang mendukung kecendrungan untuk berhubungan seks sesama jenis.
Sampai akhir 2013 terdapat dua jaringan nasional LGBT yang menaungi 119 organisasi di 28 provisi. Pertama yakni jaringan Gay, waria, laki-laki yang berhubungan sex dengan laki-laki lain Indonesia (GWLINA) didirikan pada Februari 2007.
Jaringan kedua yaitu forum LGBTIQ Indonesia, didirikan pada 2008.
Jaringan ini tentu bertujuan memajukan hak-hak sexual yang lebih luas dan memperluas jaringan agar mencakup organisasi-organisasi lesbian, wanita bisexual, dan pria trasngender.
Ada beberapa tanggapan gereja mengenai LGBT, yang pertama datang dari seorang dosen STT Jakarta, Stephen Suleeman, mengatakan bahwa menyikapi LGBT menurut Alkitab adalah hubungan sejenis, dan yang kita hadapi sekarang berbeda dengan apa yang dituliskan dalam Alkitab.
Dicontohkan Sodom dan Gomora, membahas hubungan sejenis dalam konteks kekerasan dan penaklukan, dalam perikop Imamat, Roma dan 1Korintus berbicara tentang hubungan sejenis dalam konteks penyembahan berhala di kuil-kuil.
Yudas menyinggung masalah Sodom dalam cara yang tidak dikenal oleh Perjanjian Lama (Yer.23:14 dan Yeh. 16:48-50). Namun apa yang digambarkan dalam Alkitab itu, tidak seperti yang kita temukan dimasa kini. “LGBT yang kita kenal sekarang ini tampaknya sangat berbeda dengan apa yang ditemukan dalam Alkitab.
LGBT bukan sekedar masalah hubungan sexual, tetapi ketertarikan, komitmen dan identitas. Dan dilanjutkan Stephen tidak semua LGBT punya komitmen untuk tinggal dalam pernikahan begitu juga dengan pasangan heterosexual.
Hal ini dihubungkan dengan komitmen yang dilontarkan Rut kepada Naomi. Dengan demikian sebagai keluarga Kristen harus berhati-hati dalam menyikapi LGBT dengan tidak jatuh di dalam sikap yang menghakimi sesama.
Pandangan lainnya yang bisa kita jadikan sebagai bahan pertimbangan, menurut ketua PGIS Depok Pdt. Alexius Letiora.
“LGBT bukan penyakit, baik fisik maupun
psikis. Pendampingan berupa konseling pastoral dan psikologis bisa menolong para homosexual untuk menerima dirinya, namun bukan untuk mengubah jati dirinya.
LGBT hadir agar dapat diterima secara terbuka, meskipun masih menjadi pergumulan gereja” ujar Alexius.
Dalam sebuah acara talkshow ditutup dengan sebuah konklusi bahwa, sangat naif apabila ada pendeta yang berkata bahwa orang homosexual harus bertobat menjadi orang heterosexual, karena sama naifnya seperti berkata bahwa orang kulit hitam harus menjadi kulit putih.
Karakter ‘Berbeda-beda’ dan Gambar Rupa Allah
Setiap orang diciptakan dengan karakteristik yang berbeda-beda, tetapi tiap orang itu adalah gambar dan rupa Allah.”
Dengan demikian banyaklah pandangan-pandangan mengenai LGBT yang marak berkembang sekarang tidak hanya di Indonesia tetapi juga didunia luar.
Sedangkan dari kalangan para Rohaniawan sendiri banyak yang memandang bahwa LGBT bukan penyimpangan, sedangkan sudah nyata nyata itu merupakan pelanggaran kodrat yang sudah Tuhan buat dalam kehidupan manusia.
Penulis memandang LGBT merupakan penyimpangan orintasi sexual yang dimulai dengan rasa “tidak puas” dengan diri sendiri, sehingga banyak orang yang mencari kepuasan, tentunya yang dimaksud disini adalah kepuasan secara sexual.
Dengan mencari sensasi diluar yang seharusnya, seperti layaknya orang yang menggunakan narkoba, dan akhirnya mereka terikat dan sepertinya menikmati itu dikarenakan yang wajar diganti dengan yang tak wajar (Rm. 1:26), semua ini karena pemaksaan manusia itu sendiri.
Sehingga dengan tegas penulis berpendapat gereja harus punya sikap. Justru gereja/orang percaya harus memiliki sikap yang tak akan digoyahkan dengan pandangan-pandangan yang mengatasnamakan kodrat, karakteristik dan bahkan mengatakan tuhan yang membuat demikian, miris.
Refleksi
Menyikapi fenomena LGBT tidak harus anti, maksudnya sebagai orang percaya kita wajib memberikan perhatian terhadap orang-orang yang memiliki disorientasi sexual, yang tentunya menyimpang dari apa yang Tuhan rancangkan terhadap manusia.
Kita sebagai orang Kristen harus tetap mengasihi orang-orang ini (LGBT), namun bukan melegalkan apa yang mereka lakukan.
Justru kita memberikan perhatian supaya mereka kembali kepada kodrat Ilahi.
Jika sebagai wanita jadilah wanita seutuhnya, jika sebagai laki-laki maka jadilah laki-laki seutuhnya, orangnya jangan dibenci, namun bencilah dosanya.
Dan masyarakat pada umumnya mau memahami betul bagaimana LGBT ini bermula.
Sedapat mungkin segera diatasi. Dengan mengedukasi orientasi sex sejak dini kepada anak-anak remaja/pemuda maka akan mereka mengenal siapa diri mereka/jati diri mereka. Jangan menganggap tabu jika pelajaran tentang sex diajarkan sejak dini, sebab sangat penting kita mempagari generasi kita dari serangan LGBT ini. (Red/Hery Buha Manalu)
Penulis adalah Mahasiswa STT Paulus Medan, tulisan ini merupakan hasil diskusi dan pengembangan dari mata kuliah Kelas Pengetahuan Budaya (Basic Humanity), saat ini sebagai Gembala GPdI El-Shadai Sukatendi Sumatera Utara. Pernah belajar di Sekolah Alkitab Palembang.