![]() |
Ilustrasi Gambar Sumber : Tripelaketoba |
Editor : Hery Buha Manalu
By: Linceria Panjaitan
Kopi-times.com – Ulos adalah salah satu sarana Adat Dalihan Na Tolu yang cukup potensial. Sebab apabila ada acara yang adat Dalihan Na Tolu, Ulos /mangulosi turut dalam acara adat Dalihan Na Tolu, yang dilaksanakan. Secara harafiah ulos berarti selimut atau kain yang dapat diselimutkan untuk menghangatkan badan.
Kehangatan bagi warga Batak dalam Dalihan Na Tolu, terutama dahulu di Bona Pasogit adalah hal yang penting, kehangatan yang dirasakan seseorang diyakini dapat memberi kehangatan dan juga jiwa.
Sebagaimana padi yang dijemur hingga mengeras kemudian digiling dipenggilingan hingga menjadi beras yang keras.
Keras dalam bahasa Batak Toba disebut Pir. Kurang lebih dengan pemikiran seperti itulah, maka kehangatan menerima ulos diharapkan dapat membuat kehangatan jiwa dan menjadi keras yaitu : membuat daya tahan tubuh lebih bertahan lama (tidak melempem).
Secara singkat makna ulos menghangatkan sehingga berdaya tahan hidup lebih lama.
Mangulosi / memberikan Ulos pada perkawinan Dalihan Na Tolu.
Selain tiga cita-cita tertinggi ” Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon, pengaruh positif Kristianitas yang mereka terima secara terbuka hingga menjadi bagian dari mengimani bahwa : cinta Allah “holong ni Debata” jauh lebih penting dari pada Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon.
Orang Batak Toba pada akhirnya meyakini bahwa Ulos yang diberikan oleh Hula-hula dalam ritus perkembangan adat itu akan lusuh dan rusak. Tetapi “Ulos” dari Tuhan tidak pernah Lusuh dan rusak, dan akan tetap abadi.
Ulos dari Tuhan Allah maksudnya ialah : “Ulos Haluaon” (ulos keselamatan). Orang Batak Toba menyadari bahwa hanya dengan ” ulos Haluaon ” itulah manusia diselamatkan dari berbagai bencana, kelaparan, kematian dan dari dosa.
Lebih jauh lagi memperoleh kehidupan abadi yang dijanjikan. Pemberian ulos yang disertai Nasihat (mangulosi badan dohot tondi. Ulos Haluaon dianggap jauh lebih penting artinya.
Pemberian ulos yang disertai Nasihat (mangulosi badan dohot tondi). Ulos Haluaon dianggap jauh lebih penting artinya. Sikap kerendahan hari dalam menerima “Ulos Haluaon” oleh pihak parboru kepada pihak paranak dibalas dengan sambutan umpasa atau perumpamaan.
Selain itu sebagaimana diungkapkan oleh Anicetus Sinaga : bahwa ulos dalam ritus perkawinan Dalihan Na Tolu : adalah lambang kesuburan hidup. Ulos merupakan lambang Banua Ginjang atau “ Tanah surgawi” (Ulos jan) yang diperebutkan oleh para dewa ; symbol penangkap setan, penyembuh rasa sakit, dan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan.
Sebagaimana ulos tidak terlepas dari acara adat orang batak : baik itu mencakup Dalihan Na Tolu, maupun acara sederhana pada keluarga ulos berperan penting.
Karena itulah dari dahulu sampai sekarang ulos banyak macam / ragamnya yang dipergunakan sesuai fungsi acara tersebut dilaksanakan.
Jenis-jenis ulos batak dan fungsi
Ulos antak-antak,
Ulos antak-antak dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang meninggal, dipakai sebagai kain dan biasa dililit / dihohop waktu acara manortor.
Ulos bintang maratur
Ulos ini merupakan ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara keluarga, yakni kepada anak yang memasuki rumah baru oleh orang tua anak / putra. Kepada boru yang mengadakan acara selamatan hamil 7 bulan oleh orang tua.
Ulos ini juga diberikan kepada cucu yang baru lahir oleh oppungnya: kakeknya. Pemberian ulos kepada pahompu/cucu di maknai sebagai mangiring : menyusul anak berikut. Ketika anak /pahompu dibabtis juga dipakai sebagai selendang.
Ulos Bolean
Ulos bolean dipakai sebagai selendang pada acara kedukaan
Ulos Mangiring
Ulos Mangiring dipakai sebagai selendang, tali-tali, ulos ini juga diberikan kepada anak cucu yang baru lahir: terutama anak pertama. Yang dimaksud sebagai simbol keinginan, agar si anak diiringi anak seterusnya.
Ulos ini dapat dipakai sebagai parompa/ kain gendong.
Ulos Padang Ursa
Ulos padang ursa dipakai sebagai tali-tali dan selendang
Ulos Pinan lobu-lobu
Ulos pinan lobu-lobu dipakai sebagai selendang
Ulos Pinuncan
Ulos Pinuncan sebenarnya terdiri dari 5 bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu ulos yang gunanya atau dipakai pada acara dukacita atau sukacita.
Dalam acara adat ulos ini dipakai oleh raja-raja adat maupun oleh rakyat biasa dengan aturan tertentu seperti: Pada acara perkawinan maka tuan rumah atau suhut sihabolonan.
Pada acara besar lainnya marpaniaran. Ulos ini juga dipakai / dililitkan sebagai hohop-hohop oleh keluarga hasuhutan, juga sebagai ulos passamot pada acara perkawinan.
Ulos Ragi Hotang
Ulos ragihotang diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut dengan ulos hela
Ulos Ragi Huting
Ulos Ragi Huting sudah jarang dipakai, ketika Indonesia belum merdeka anak perempuan memakai pakaian ulos ragi huting sebagai pakaian sehari-hari dengan melilitkan di dada (hoba-hoba), dan kemudian pakaian orang tua apabila bepergian.
Ulos Sibolang Rasta Pamontari,
Ulos Sibolang Rasta Pamontari dipakai untuk keperluan dukacita dan sukacita, tapi sekarang ulos tersebut hanya dipakai sebagai Ulos saput. Ulos saput dikenakan kepada orang tua yang meninggal sebelum punya cucu.
Ulos Sibolang Rasta Pamontari juga dipakai sebagai Tujung saat isteri atau suami meninggal sebelum punya cucu.
Ulos Sibunga Umbasang dan Ulos Simpar,
Ulos Sibunga Umbasang dan Ulos Simpar, dipakai sebagai selendang.
Ulos Sitolu ulos
Ulos si tolu ulos ini dipakai sebagai ikat kepala atau selendang perempuan.
Ulos Suri Ganjang
Ulos Suri Ganjang dipakai hande-hande hula-hula untuk manggabei boruna. Ulos suri ganjang juga disebut : Ulos Gabe-gabe.
Ulos Simarinjam Sisi
Ulos Simarinjam Sisi dipakai sebagai kain (sarung) yang dilengkapi dengan Ulos Pinuncang Sandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai panjoloani atau orang paling depan pada barisan tor-tor.
Ulos Ragi Pokko
Ulos ragi pakko dipakai sebagai selimut pada zaman dahulu, oleh putri orang yang tergolong orang kaya membawa ulos ini dua lembar untuk dipergunakan sehari-hari, ke rumah mempelai laki-laki.
Kemudian hari saat, meninggal ulos yang dibawa dahulu akan dipakaikan ketika meninggal dunia sebagai disaput Ragi Hotang ditambah ragi pokko. Ulos Ragi pokko berwarna hitam.
Ulos Ragi Harangan
Ulos Ragi Harangan pemakaiannya sama dengan dengan Ragi Pakko
Ulos Tumtuman
Ulos Tumtuman ini, biasa dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai oleh anak pertama (yang sulung) dari hasuhuton dalam acara adat pemberangkatan orangtua.
Ulos Tutur-tutur
Ulos tutur-tutur dipakai sebagai tali-tali dan hande-hande yang sering diberikan oleh orang tua sebagai pamompa (kain gendong) kepada cucunya.
Boras Sipir Ni Tondi
Dalam tradisi akan adat Dalihan Na Tolu, selain mangulosi, tak terlepas juga dari tradisi boras sipir ni tondi.
Sudah ada dari dahulu sampai sekarang. Penyampaikan boras sipir ni tondi digunakan pada acara perkawinan, memasuki rumah baru, acara pembabtisan anak.
Boras sipir ni tondi: arti kata Boras: beras, pir: keras, sipir ni: Kuat, Tondi: Jiwa atau Roh. Jadi, boras sipir ni tondi: beras yang berfungsi untuk menguatkan roh atau jiwa. Boras Sipir Ni Tondi adalah beras sebagai simbol untuk menguatkan roh atau jiwa.
Tradisi penyampaian Boras sipir ni tondi dilakukan pada acara yaitu: memasuki rumah baru, acara adat pernikahan, terjadinya suatu kejadian atau peristiwa, memberkati orang dilakukan oleh orangtua ketika memberangkatkan anaknya pergi merantau, pembabtisan anak tersebut.
Melakukan tradisi Boras sipir ni tondi ini tujuannya, tergantung dari ritual (kegiatan) yang dilakukan tapi mengandung makna yang sama. Tradisi boras sipirni tondi ; harus menggunakan beras sebagai simbol karena beras merupakan makanan pokok.
Beras juga merupakan pertahanan hidup. Dahulu sampai sekarang masih tergantung hidupnya pada makanan pokok ini. Beras yang keras dan kokoh menunjukkan kehidupan harus diawali dengan memperkuat atau memperkokoh jiwa.
Beras juga mengandung manfaat yang sangat banyak. Jadi makna boras Sipir Ni Tondi yang ditaburkan ke atas kepada, jangan dikebaskan pakai tangan atau dijatuhkan biarkan jatuh sendiri.
Sebagaimana kebiasan orang tua/ siapa saja yang menerima taburan beras Sipir Ni Tondi. Penaburan Beras Sipir Ni Tondi di kepala merupakan bagian tubuh manusia yang paling atas dan kepala yang menerima organ tubuh yang lain (karena dikepala terdapat otak).
Pembawa boras sipir ni tondi pada acara perkawinan adat adalah hula-hula, baik, hula-hula paranak (pengantin laki-laki) maupun hula-hula parboru ( Pengantin perempuan).
Boras Sipir Ni Tondi di bawa memakai tandok. Zaman sekarang sudah banyak yang menggantikan beras dalam tandok ; menjadi uang dalam amplop, tapi maknanya tetap sama.
Penutup
Ada tiga sumber kehangatan yang diyakini oleh nenek moyang orang batak Toba yaitu: matahari, api dan ulos.
Matahari terbit dan terbenam setiap saat. Api dapat dinyalakan setiap saat, namun tidak praktis untuk menghangatkan tubuh, karena api harus dijaga supaya tidak mengakibatkan kebakaran.
Sedangkan ulos: sebagai penghangat yang praktis dapat digunakan kapan dan dimana saja.
Itulah sebabnya ulos memiliki nilai yang tinggi ditengah-tengah masyarakat Batak. Maka dibuatlah aturan penggunaan ulos yang dituang dalam atauran adat antara lain: ulos hanya diberikan kepada kerabat yang dibawah tutur, misalnya orang tua memberikan ulos kepada anaknya atau putrinya. Maka ulos sudah menjadi perlambang yang sudah mengakar pada budaya Batak Toba.
Boras Sipir Ni Tondi dapat disimpulkan ; mempunyai tujuan positif, dan orang yang melakukan tradisi ini berharap agar apa yang diucapkan dapat terkabul (horas jala gabe) begitu juga orang yang dilakukan menjadi bagian yang mendapat tujuan baik sesuai diharapkan.
Makna dari tradisi boras Sipir Ni Tondi adalah untuk memperkuat jiwa menghadapi berbagai tantangan sakit, penyakit petaka dan banyak kesulitan lain.
Kepustakaan
Theologia Crucis di Asia Dr. A.A Yewangeo
Wajah Yesus di Asia, R.S Sugirtharajah
Perkawinan Adat Dalihan Na Tolu
Diktat Kuliah Teologi dan Budaya oleh Dr. Hery Buha Manalu S.Sos, M.Mis
Penulis adalah mahasiswa Program Pasca Sarjana di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Paulus Medan, Jurusan Teologia Materi ini adalah pengembangan dari materi kuliah Hubungan Teologi dan Budaya