spot_img
BerandaBudaya"Mangordang", Gotong Royong Berladang Masyarakat Batak

“Mangordang”, Gotong Royong Berladang Masyarakat Batak

Screenshot 20230825 204354
Perladangan di Desa Pakkat Dolok, Humbang Hasundutan, Magordang adalah gotong royong berladang masyarakat Batak dilakukan juga untuk menata tanaman dengan maksud menata jarak garis agar jarak tanaman lebih ideal dan tertata rapi/Foto : Hery Buha Manalu/kopitimes

 

Oleh : Hery Buha Manalu Dosen Pasca Sarjana STT Paulus Medan, Pemerhati Budaya dan Lingkungan

Kopi Times, Masyarakat Batak memiliki tradisi gotong-royong pada saat bertani yang disebut “Mangordang”. Tradisi ini sekarang sudah jarang dilakukan karena tenaga manusia pada masa sekarang sudah lebih sering digantikan oleh mesin-mesin pertanian. Tradisi pertanian “Mangordang” yang sejatinya adalah bernilai kekeluargaan dan kebersamaan tergerus zaman. Perkembangan zaman dan teknologi dikhawatirkan membuat nilai gotong royong petani masyarakat Batak akan terlupakan.

Mangordang adalah proses membuat lubang di tanah sebagai tempat bibit tanaman ditanam. Karena sudah jarang diberlakukan. Tradisi leluhur mangordang bahkan sudah jarang didengar, meski beberapa untuk prakteknya masih ada yang melakukan. Mangordang dilakukan dengan bantuan tongkat kayu yang ujungnya telah diruncingkan yang disebut ordang. Istilah mangordang setidaknya dikenal di dua sub etnik Batak, yakni Angkola dan Batak Toba.

Mangordang adalah gotong royong pada masyarakat Batak pada saat betani. Beberapa daerah mengenal mangordang dengan istilah manugal. Sama dengan mangordang, istilah manugal juga saat ini sudah jarang didengar dan masuk dalam kosakata Batak yang nyaris punah.

Cara melakukan mangordang adalah dengan menancapkan ujung kayu yang telah diruncingi itu ke tanah sehingga membentuk lubang-lubang tanam. Lubang-lubang itulah nantinya tempat bibit padi atau tanaman lain ditanam. Sebelumnya, lahan yang akan diordang diberi patokan dari ujung ke ujung. Setelah sebelumnya ditarik garis lurus. Garis lurus ini biasanya langsung digambar di tanah yang akan diordang.
Tapi tentunya jarak dari satu garis ke garis lainnya disesuaikan dengan jenis tanaman yang akan ditanam.

Demikianlah, magordang adalah kerjasama ini dilakukan untuk menata, dengan maksud jarak garis ini inilah yang juga nantinya menjadi jarak tanam. Jarak tanam padi darat dengan jagung tentu tidak sama, begitu juga dengan tanaman lain. Semua ini berproses dengan sebuah kerjasama. Ada perencanaan dan perhitungan sederhana masyarakat petani komunal orang yang sudah ditradisikan sejak lampu. Hasil kerja sama mangordang akan lebih rapi terarah dan terterukur jarak yang baik.

Mangordang biasanya dilakukan untuk menanam padi darat yang disebut eme darat. Walau demikiam mangordang juga bisa dilakukan untuk tanaman lain sesuai keperluan dan pengalaman sebuah kelompok tani atau masyarakat desa tertentu. Saat mangordang akan ada tukar tambah pengalaman. Dengan semangat gotong royong dan keberhasilan bersama. Suka cita masyarakat desa. Keberhasilan adalah keberhasilan pertanian desa (huta) bersama.

Orang yang mangordang disebut pangordang. Kalau dalam istilah manugal disebut panugal. Panjang kayu biasanya disesuaikan dengan tinggi pangordang. Biasanya tidak lebih panjang dari tinggi badan pangordang, yakni satu setengah meter. Agar proses mangordang berlangsung cepat, masing-masing orang memegang dua tongkat kayu dan menacapkan ujungnya ke tanah mengikuti garis yang sudah dibuat di tanah kiri dan kanan.

Pengaturan-pengaturan sederhana ini sudah ada dalam karakter petani masa lampau. Mangordang sebagai bagian teknis bertanam pada masyarakat Batak saat bertani. Teknisnya, kemudian orang yang mengikut di belakangnya langsung mengisi lubang-lubang itu dengan bibit tanaman dan menutupnya lagi dengan tanah. Kita kagum kerjasaa dalam gotong royong mangordang. Ada kelompok yang melubangi tanah, umumnya kaum pria adapula kelompok yang menanam (memasukkan bibit yang telah dilubangi) umumnya kaum perempuan.

Demikian dulunya dalan bertani tradisi mangordang di masyarakat Batak Toba ini dilakukan secara gotong-royong (marsiadapari). Manajen bertani yang sedergana menkedepankan nilai-nilai kerjasama. Ada kelompok yang melubangi tanah, umumnya kaum pria adapula kelompok yang menanam (memasukkan bibit yang telah dilubangi) umumnya kaum perempuan. Pekerjaan ini dilakukan sejalan tidak membiarkan saudaranya ataupun orang lain kesulitan dalam kegiatan sehari-hari, terlebih dal hal bertani

Bahwa sebenarnya jati diri masyarakat Batak itu adalah komunal dari orang-orang yang tidak tegaan. Tidak sampaihatian masa bodoh terhadap orang lain. Artinya tidak sanggup melihat orang lain bekerja sendiri terhadap sebuah kegiatan yang dirasa perlu untuk dibantu. Saling membantu atau menolong merupakan karakter masyarakat Batak. Bekerjasama adalah kearifan lokal “Marsiadapari” (gotong royong). Demikian halnya masyarakat nusantara yang mendiami Indonesia sejak lampu. Setiap daerah memiliki budaya bekerjasama lokal masing yang kita kenal sebagai gotong royong.

Sebenarnya masyarakat Batak itu
Tradisi gotong royong kerap dilakukan pada masyarakat desa pada saat menanam padi dan panen. Indonesia dikenal sebagai masyarakat agraria dan pertanian. Untuk itu tradisi gotong royong telah mendarah daging sejak lama. Selain sudah mentradisinya gotong royong (marsiadapari) ini nasyarakat Batak khususnya atau masyarkat Sumatera Utara umumnya menjadi sebuah hukum. Masyarakat bahasa Batak, khususnya gotong royong yang disebut marsiadapari berasal dari kata mar-sialap-ari yang berarti: kita berikan dulu tenaga dan bantuan kita kepada orang lain baru kemudian kita minta dia membantu kita. Maknanya yang sangat dalam, tanam dulu baru petik kemudian.

Ada istilah lain dari Marsiadapari yakni Siadapari, marsialapari, marsirimpa, atau marsirumpa, semua ini adalah gotong royong dalam bahasa lokal masyarakat. Marsiadapari adalah gotong royong yang dilakukan beberapa orang secara serentak (rimpa atau rumpa) di ladang masing-masing secara bergiliran, agar pekerjaan yang berat dipikul bersama hingga meringankan beban kumpulan. “Dokdok rap manuhuk, neang rap manea (berat sama dipikul, ringan sama dijingjing,” begitulah salah satu prinsip marsiadapari.

Pelaksanaan marsiadapari berat ringan sebuah kegiatan di ladang selalu dalam kerjasama seperti mangordang ini pun tidak hanya saat bertani (mangula) di ladang (hauma), tetapi juga pada semua bidang kegiatan orang Batak. Seperti mendirikan rumah (pajongjong jabu), kemalangan, pesta dan lain sebagainya. Luar biasanya lagi, marsiadapari ini menebus kelas-kelas ekonomi. Miskin atau kaya (na mora manang na pogos), kuat atau lemah (na gumugo manang na gale) semua saling memberi hati untuk dapat meringankan beban anggota kumpulannya.

“Sisolisoli do uhum, siadapari do gogo,” begitulah hukum dasar marsiadapari. Artinya kau beri maka kau akan diberi. Hal ini berlaku untuk sikap, tenaga dan juga materi. Dengan hukum dasar ini, semua akan dengan senang hati secara bersama-sama memikul beban yang ada pada kumpulannya. “Tampakna do tajomna, rim ni tahi do gogona”. Yang berat terasa ringan, semua senang dan bersemangat memberikan bantuan. Sebab, mereka sadar suatu mereka saat pasti membutuhkan perlakuan seperti itu.

Gotong royong Marsiadapari yang salah satunya dalam paksanaan bertani mangordang ini dilakukan dengan penuh tanggungjawab bahwa pekerjaan itu dianggap sebagai miliknya, sehingga hasilnya akan lebih baik. Sehingga kegiatan marsiadapari menjadi catatan penting untuk diwariskan bagi kaum muda saat ini.

Pelaksanaan marsiadapari itu tidak lagi seperti dulu hampir di setiap bidang kehidupan. Itu semua karena zaman yang berubah. Gotong royong atau marsiadapari dalam pertanian mangordang di ladang sudah sangat berkurang karena adanya traktor atau jetor serta mesin panen rontok padi dan tenaga kerja yang melimpah dengan upah lebih murah. (Red/***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini